KTP yang Diangankan Kaum Rentan: Sebuah Kisah Sulitnya Transpuan Mendapatkan Pengakuan

Ketika transpuan kesulitan mendapat pengakuan, apalagi KTP.

KTP yang Diangankan Kaum Rentan: Sebuah Kisah Sulitnya Transpuan Mendapatkan Pengakuan MOJOK.CO

KTP yang Diangankan Kaum Rentan: Sebuah Kisah Sulitnya Transpuan Mendapatkan Pengakuan MOJOK.CO

MOJOK.COKTP, seharusnya dipahami sebagai sebuah hak kaum rentang seperti transpuan, bukan pemberian penguasa. Negara wajib memberikannya kepada penduduk Indonesia tanpa alasan, tanpa dipersulit.

Saya ingin menceritakan kisah seorang kawan baik. Namanya Julia, seorang transpuan, tinggal di Yogyakarta. Julia adalah satu dari banyak orang di Indonesia yang tidak memiliki KTP.

Sudah hampir 15 tahun lamanya Julia hidup tanpa memiliki KTP. Berkali-kali mengurus namun selalu gagal. Beberapa bulan yang lalu, media santer memberitakan KTP untuk transpuan. Sebuah keberhasilan dari kerja advokasi yang dilakukan oleh jaringan transpuan di Indonesia. Beberapa transpuan di Jakarta sudah berhasil mendapatkan KTP. Muncul secercah harapan baru bagi Julia. Tentu, dia sangat berminat untuk sekali lagi mengurus KTP.

Sebelum memulai kisah ini, Saya ingin menceritakan bagaimana Julia bisa kehilangan identitasnya. Julia berasal dari Kota Bandung. Berada di tengah keluarga yang tidak menerima ekspresi gendernya memaksa Julia meninggalkan rumah. Pada 2004, dia memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta. Sejak saat itu, dia berada di Yogyakarta. Komunikasi dengan keluarga pun terputus.

Pada 2006, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai administrasi kependudukan. Seluruh warga negara diwajibkan untuk memiliki identitas tunggal KTP elektronik. Penduduk di minta melakukan registrasi ulang untuk mendapatkan KTP elektronik.

Julia, yang secara administratif bukan penduduk Yogyakarta, tidak bisa melakukan registrasi ulang. Pilihannya hanya pulang ke Bandung. Namun dia ragu. Selain persoalan ekonomi, Julia enggan bertemu dengan keluarga yang tidak bisa menerima dirinya sebagai transpuan.

Pada saat itu, Julia kehilangan KTP. Sebuah kenyataan yang tidak pernah diduga menimbulkan konsekuensi besar dalam hidupnya.

Lima belas tahun tanpa identitas membuat kehidupan Julia serba terbatas. Dia tidak memiliki akses layanan publik seperti mendapatkan layanan kesehatan di puskesmas, membeli tiket transportasi kereta atau pesawat, dan lain sebagainya.

Jika harus mengakses layanan publik, Julia harus membayar “lebih mahal”. Misalnya karena tidak memiliki KTP, dia tidak bisa membuat BPJS. Oleh sebab itu, setiap kali berobat, dia harus mengeluarkan biaya kesehatan secara penuh.

Julia juga lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Selain karena ekspresi gender, tidak memiliki KTP membuatnya lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Julia terjebak di pekerjaan informal di situasi jalanan.

Pekerjaanya berkutat di antara menjadi pengamen, pemulung, atau pedagang asongan. Walau pekerjaan semacam itu baik, tapi pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk hidup layak. Pekerjaan tersebut juga rentan karena sifat penghasilannya yang harian. Pembatasan wilayah ketika pandemi berdampak pada orang-orang yang bekerja di jalanan. Mereka tidak bisa bekerja secara bebas. Tidak bekerja artinya tidak bisa makan. Julia pun terpaksa harus berutang sewa kos dan makan untuk bertahan hidup di tengah pandemi ini.

Tidak memiliki KTP itu seperti bukan menjadi warga negara Indonesia. Julia tidak bisa berpartisipasi dalam kegiatan politik seperti pemilu. Dia pun tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Mungkin bisa jadi, dia tidak masuk dalam statistik negara ini. Dia menjadi penduduk yang “tidak terlihat” tapi ada.

Julia sadar kepemilikan KTP itu penting. Beberapa kali dia mengurus tapi selalu gagal. Ada beberapa hambatan yang membuat Julia tidak berhasil melakukannya.

Pertama, terbatasnya informasi mengenai prosedur pembuatan KTP bagi penduduk rentan seperti transpuan. Kasus Julia juga bukan kasus yang bisa diselesaikan dengan prosedur umum di layanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).

Staf yang Dukcapil kami temui belum lama ini mengatakan bahwa kasus Julia dikategorikan sebagai kasus penduduk rentan. Kasus penduduk rentan diselesaikan dengan cara yang berbeda-beda tergantung kompleksitas kasusnya.

Sebagai orang awam, Julia tidak tahu secara persis bagaimana kasusnya bisa diselesaikan. Keterbatasan informasi tersebut membuat dia tidak memiliki kontrol atas proses yang sedang berjalan. Berdasarkan pengalaman Julia, ketika proses yang dijalankan mengalami kebuntuan. Dia dipaksa mundur.

Batasan kedua adalah penerimaan dari pengurus wilayah seperti RT dan RW. Julia cukup beruntung karena RT tempat dia tinggal mengenalnya dengan baik dan mendukung dirinya untuk mendapatkan KTP. Namun, saya sering mendengar kasus lain bahwa dia tidak mendapatkan restu dari pengurus setempat dengan berbagai alasan. Misalnya karena orang yang bersangkutan hanya ngekos sehingga tidak berhak untuk menggunakan wilayahnya sebagai alamat domisili. Tidak mendapat restu dari pengurus setempat artinya tidak ada peluang bagi penduduk rentan seperti transpuan untuk mendapatkan KTP.

Ketiga, diskriminasi berbasis gender. Julia sangat tegar ketika staf Dukcapil memanggilnya dengan panggilan “Mas”. Julia melakukan banyak negosiasi supaya bisa bertahan di tengah situasi yang tidak ramah dengannya. Menurut saya, panggilan “Mas” yang disematkan kepada dirinya adalah simbol diskriminasi yang juga mewujud dalam perlakukan sebelah mata yang dilakukan oleh staf Dukcapil.

Suatu hari, Pak Dukuh dipanggil oleh Dukcapil dan diprovokasi supaya dia ragu untuk menerima Julia sebagai warga. Pertanyaan-pertanyaan diskriminatif muncul. Misalnya, “Siapa yang akan bertanggung jawab jika KTP yang diberikan malah disalahgunakan?”

Seorang Julia perlu mengatasi ketiga hambatan tersebut hanya untuk punya KTP. Setelah melewati tiga hambatan itu, masih ada satu langkah lagi yang perlu dilalui Julia. Salah satunya, dia harus menunggu panggilan untuk sidang. Sidang identitas berbeda dengan sidang pada umumnya.

Julia perlu menghadirkan dua orang saksi untuk menguatkan dirinya. Sementara itu, Dukcapil akan menghadirkan pengurus desa untuk mendapatkan pandangan lain. Birokrasi rumit seperti ini membuat seseorang menghabiskan waktu berbulan-bulan hanya untuk mengurus KTP.

Puji syukur, pada akhirnya, Julia berhasil mendapatkan KTP. Kisah Julia hanyalah satu di antara 5,38 juta penduduk yang belum memiliki KTP elektronik (Kompas, 2019).

Kasus Julia bisa terjadi kepada siapa saja. Kepada mereka yang bertarung dengan kerasnya jalanan, anak-anak korban kekerasan, pengungsi, lansia, dan siapa saja.

Jika pemerintah “ada”, seharusnya mereka perlu segera membuat terobosan supaya penduduk rentan seperti transpuan bisa segera mendapatkan haknya. KTP, seharusnya dipahami sebagai sebuah hak, bukan pemberian penguasa. Negara wajib memberikannya kepada penduduk Indonesia tanpa alasan, tanpa dipersulit.

BACA JUGA Selama Hidup di Indonesia Masih Harus Fotokopi e-KTP, Teruslah Marah dan tulisan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version