MOJOK.CO – Mari kita mulai etape pertama perjalanan kita bersama al-Ghazali dalam masalah “bundelan” atau akidah sepanjang bulan Ramadan ini.
Perkara pertama yang menjadi pembahasan al-Ghazali adalah bagaimana memahami dengan tepat kredo atau syahadat Islam.
Syahadat Islam dirumuskan dalam formula ini: asyhadu an-la ilaha illa-l-Lah, wa asyhadu anna Muhammadan rasulu-l-Lah—saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah. Ada dua elemen penting dalam syahadat ini: kesaksian tentang adanya Tuhan, dan bahwa komunikasi antara Tuhan dan manusia tidak berlangsung secara “direct,” langsung, melainkan diperantarai oleh seorang “utusan”. Utusan itu tidak lain adalah Nabi Muhammad.
Dengan kata lain: kesaksian tentang ketuhanan dan kenabian. Itulah “bundelan” pertama yang penting.
Melalui bundelan ini, seluruh kehidupan seorang Muslim dibangun. Tanpa fondasi ini, dan tanpa pemahaman yang tepat mengenainya, kehidupan seorang beriman akan rapuh. Atau secara umum, tanpa fondasi keimanan atas adanya Tuhan ini (lepas dari nama apapun yang dipakai untuk menyebut-Nya), kehidupan manusia akan mengalami masalah. Fondasi inilah yang membedakan antara seseorang yang beriman, teis, dan yang tak beriman sama, ateis.
Pertanyaanya: Siapa Tuhan yang kita percayai ini?
Dalam hal ini, gagasan penting Ibn ‘Arabi (w. 1240) tentang pembedaan antara dua level ketuhanan, bisa sedikit membantu. Yang pertama adalah apa yang oleh Ibn ‘Arabi dalam karya agung-nya, Fushus al-Hikam, disebut sebagai “al-ilah al-muthlaq,” Tuhan yang Mutlak, yang tidak mungkin ditembus oleh akal dan nalar manusia. Inilah Tuhan yang dalam bahasa Inggris biasa diungkapkan dengan istilah “ineffable,” tak mungkin dirumuskan dalam bahasa manusia. Orang Jawa menyebutnya: tan kinaya ngapa.
Dalam Qur’an, Tuhan yang Maha Mutlak, Tuhan yang “ineffable” ini digambarkan dalam ungkapan berikut: la tudrikuhu-l-abshar (QS 6:103)—tak mungkin “mata manusia” bisa memahami-Nya. Yang dimaksudkan dengan “mata” di sini tentu bukan saja “mata fisik,” melainkan juga mata fikiran. Sebagai dzat Yang Mutlak, Tuhan tidak bisa diringkus atau diindera oleh mata manusia, baik mata lahir atau mata batin.
Tetapi ada level ketuhanan yang kedua, menurut Ibn ‘Arabi, yaitu “ilahu–l-mu‘taqadat,” Tuhan sebagaimana dipahami oleh manusia. Pada level kedua inilah kita mulai berbicara mengenai masalah akidah: yaitu Tuhan yang bisa dikenali melalui nama, sifat, dan tindakan (asma’, shifat, af‘al).
Sebab, jika Tuhan sama sekali tak bisa ditembus, dipahami, lalu apa gunanya manusia bertuhan? Tuhan pun tidak menghendaki diri-Nya tersembunyi dalam kerahasiaan total, “complete otherness,” tanpa bisa diketahui oleh hamba-hamba-Nya.
Dalam sebuah hadis qudsi yang terkenal di kalangan para sufi, diungkapkan: Kuntu kanzan makhfiyyan fa–’aradtu an u’rafa, fa-khalaqtu–l-khalqa. Secara bebas, hadis ini saya terjemahkan demikian: Aku (maksudnya: Tuhan) dulunya adalah perbendaharaan yang Tersembunyi; lalu Aku hendak menjadi “Tuhan” yang bisa diketahui, dan Aku cipta seluruh ciptaan.
Dengan kata lain, ada dua faset ketuhanan: yang pertama adalah Tuhan yang Maha Tersembunyi; inilah Tuhan yang “tan kinaya ngapa”, tak bisa digambarkan dengan ulasan deskriptif apapun. Yang kedua adalah Tuhan sebagaimana “tampak” pada manusia melalui asma’, sifat, af’al.
Konsekuensi dari ajaran ini adalah: Apapun gambaran kita mengenai Tuhan, apapun nama dan sifat yang kita nisbahkan kepada-Nya, semuanya adalah semacam “aproksimasi,” cara pikiran kita mendekati Tuhan. Tetapi Tuhan selalu “munazzah,” bersih dari gambaran apapun dalam pikiran kita. Oleh al-Ghazali, prinsip dinamai sebagai tanzih—menjauhkan Tuhan dari kemiripan apapun dengan makhluk-Nya.
Tuhan memang ada, exist. Tetapi adanya Tuhan tidak sama dengan keber-ada-an kita. Manusia ada di dunia ini melalui dua medium penting; ulama Islam klasik menyebutnya: jauhar dan ‘arad—substansi dan aksiden. Jauhar atau substansi manusia adalah ketubuhan, “awak” (dalam bahasa Jawa).
Manusia ada melalui tubuhnya. Pada tubuh ini bersemayan banyak ‘arad atau aksiden, yakni sifat-sifat yang menempel. Contoh aksiden: tubuh kita tinggi, pendek, sedang, berwarna coklat, putih, hitam, memiliki berat sekian, dsb. Itulah aksiden atau sifat-sifat yang menempel pada tubuh manusia.
Wujud Tuhan tidak melalui medium seperti itu. Dalam Ihya’, al-Ghazali menyatakan demikian: “wa-annahu laisa bi-jismin mushawwarin wa-la jauharin mahdudin”. Tuhan ada tidak melalui “tubuh yang berbentuk”, juga bukan melalui “jauhar” atau substansi yang terbatas.
Akidah penting dalam Islam mengajarkan ini: Apapun yang kita gambarkan tentang Tuhan, Ia selalu melampaui itu. Ajaran ini mestinya mengajarkan kepada kita sikap andap-asor, rendah-hati: jangan merasa sok-sokan paling tahu tentang Tuhan. Sebab Ia melampaui pengetahuan dan penggambaran kita. Karena itu, jangan mudah pula “menghakimi” keyakinan orang lain.
Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.