Kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah….
Saat masih SMP, ada tiga cara menikmati waktu pendek antara bangun salat Subuh dan berangkat ke sekolah: 1) mengaji, 2) tidur lagi, 3) mengaji sambil tidur. Saya biasanya memilih yang ketiga. Apa bisa? Tentu saja. Dalam hal ini, saya biasa mengandalkan ceramah Zainuddin MZ.
Ceramah Zainuddin MZ tak terlalu banyak, dikemas dalam kaset-kaset, seperti album seorang penyanyi, mungkin tak sampai lima puluh kaset. Oleh radio-radio, ceramah di kaset itu diputar setiap hari, setiap pagi, biasanya sehabis Subuh, dan tak hanya oleh satu radio. Jadi, jika Anda mendengarkannya setiap pagi, sangat mungkin Anda mendengarkan ceramah yang telah Anda dengarkan puluhan kali sebelumnya. Anda bahkan bisa menghapalnya sebagian isinya.
Hanya sebagian ceramah Zainuddin berisi cerita (kisah para nabi dan sahabat), yang lain, dan itu sebagian besar, adalah nasihat-nasihat agama (Islam) seperti yang disampaikan kebanyakan penceramah. Namun, karena sangat kerap mendengarkannya secara berulang-ulang, semua ceramah, apa pun isinya, tentang apa pun temanya, dari “Kisah Nabi Yusuf” yang menyenangkan itu hingga “Dahsyatnya Siksa Api Neraka” yang mengerikan, semua jadi seperti dongeng pengantar tidur yang menyamankan.
Terpejam satu jam lagi sehabis Subuh, dengan suara Zainuddin MZ mengambang naik turun di ruang antara telinga kiri-kanan kita, sebagian masih kita dengar dalam keadaan sadar, sebagian lagi masuk dalam mimpi pendek yang sulit diingat lagi entah tentang apa, adalah kemewahan yang melimpah-limpah seorang bocah desa yang tak yakin apakah di usia 15 nanti ia akan bisa melanjutkan sekolah atau mesti menyusul bapaknya ke Malaysia.
Betul?
***
Kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah….
Ia mendapat julukan keren yang sebenarnya coba mengecilkan pengaruhnya: “Dai Sejuta Umat”. Sejutaan itu mungkin jumlah penggemarnya yang memilih PBR (Partai Bintang Reformasi), partai yang didirikannya setelah menyempal dari PPP. Tapi jelas, tanpa keraguan, puluhan juta orang, dari nyaris semua golongan dan faksi Islam di Indonesia, mendengar ceramahnya—dan menyukainya.
Sebagian dari jumlah itu menganggap ceramah-ceramah itu sebagai semacam fatwa yang bisa dijadikan pegangan, sebagaimana mereka memegang nasihat agama dari kyai atau guru di kampungnya. Banyak sekali dai dan penceramah populer yang meniru lagak dan gaya Zainuddin, tapi lebih banyak lagi para penceramah biasa, para khatib Jumat atau penceramah-penceramah di bulan puasa yang memakai kalimat-kalimat Zainuddin, bahkan sampai ke diksinya, tanpa menyadarinya. Sampai sekarang.
Dilihat dari banyak sisi, ia adalah sebuah ikon. Bahkan, tanpa bermaksud menjadikannya terlihat profan, saya akan lebih senang menyebutnya sebagai ikon pop. Poster-posternya dijual di pasar-pasar untuk dipajang di dinding-dinding papan ruang tamu rumah orang-orang desa yang mungkin tak bisa membeli kasetnya. Poster itu biasanya akan bersanding dengan poster Rhoma Irama, Rano Karno atau Ikang Fauzi, atau Paramitha Rusadi hingga Meriam Bellina. Ceramah-ceramah terbukanya dihadiri ratusan ribu orang; orang-orang yang berangkat ke lokasi dengan niatan “mencari ilmu sekaligus mencari hiburan”. Wajahnya kerap nampang di sampul majalah dan koran, memberikan pernyataan dan wawancara, mulai dari soal agama, soal politik, juga rumor-rumor seputar kehidupan personalnya. Menjelang akhir dan setelah runtuhnya Orde Baru, Zainuddin MZ adalah orang yang sosok dan suaranya paling banyak ditiru dan dipelesetkan. Mungkin hanya Rhoma Irama dan Presiden Soeharto yang bisa mengunggulinya.
Betul?
Beberapa tahun lalu, ketika sedang ramai-ramainya fenomena dai muda di televisi, dengan segala tingkah-polahnya, dan terutama kedangkalannya, saya dan seorang teman bersepakat bahwa para dai televisi itu sangat mencolok bedanya dengan Zainuddin setidaknya dalam satu hal: isu-isu struktural.
Zainuddin berbicara tentang kunci-kunci keharmonisan rumah tangga, tapi ia tak pernah melepaskannya dari konteks bahwa itu semua bisa dicapai jika negara-bangsa mencapai taraf adil-makmurnya. Ia mengajak beramal dan bersedekah, tapi ia juga lantang menunjukkan dan menyuarakan ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat. Ia menyeru tentang kemuliaan Al-Quran sama kuatnya dengan menjelaskan dengan lantang tentang konsep Imam al ‘adil, pemimpin yang adil. Dalam sebuah obituari yang terbit di Tempo tak lama setelah kematiannya pada Juli 2011, di situ ditulis secara genealogis dan ideologis Zainuddin tak memiliki keterkaitan dengan para penceramah dari kalangan keturunan Arab di Kwitang dan sekitarnya yang dikenal kritis terhadap pemerintah. Namun, sangat mudah dibayangkan, secara sosiologis, Zainuddin tak mungkin lepas dari latar belakang muslim Betawi-nya, sebuah wilayah yang menjadi zona pembangkangan Islam politik sepanjang masa berdirinya Orde Baru.
Sebelum orang seperti Amien Rais mengemuka dengan isu-isu suksesi dan anti-KKN-nya, yang muncul di kolom-kolomnya di media dan ceramah-ceramah di kampus yang kemudian dibukukan pada awal ‘90-an, yang menandai masa awal dari akhir Orde Baru, suara anti-KKN Zainuddin sudah jauh masuk dan merasuk ke rumah-rumah orang-orang desa. Tentu dalam baluton humor Betawi yang khas.
Meski lebih belakangan masuk gelanggang politik, ceramah Zainuddin sejak awal jelas tak kalis dari nuansa politis. Ia tentu saja tak frontal—siapa yang berani frontal di akhir ‘80-an? Tapi semua orang yang sedikit saja baca koran atau mendengarkan berita di radio jelas tahu ke arah mana kata-katanya ditujukan; ke mana cemooh-cemoohnya diarahkan. Jika kita menyimak kembali ceramahnya tentang sosok Umar Bin Khaththab dan pola kepemimpinannya, misalnya, dengan segera kita akan mendapati serangkaian serangan kepada penguasa saat itu yang cenderung memperkaya diri dan mengistimewakan anak-anak dan keluarganya.
Saya belum pernah membaca kajian mendalam yang membahas, lebih-lebih menempatkan, para “oposan berserak” (jika boleh memodifikasi istilah populer dari Anders Uhlin) dari kalangan muslim, katakanlah seperti Rhoma Irama dan Zainuddin MZ, bagi pasang naiknya hubungan Islam dan Orde Baru di masa-masa akhir rejim itu. Tapi saya membayangkan, jika akan berlebihan menyebutnya sebagai faktor pendorong eksternal, saya merasa yakin bahwa ceramah-ceramah politis Zainuddin adalah simptom paling kuat dari gejala itu. Mungkin bukan ia yang menemukannya, tapi istilah “otak Jerman, hati Mekkah” (yang mengacu kepada B.J. Habibie, ikon paling menonjol dari fenomena ini) menjadi sangat populer di kalangan anak-anak dan orang tua muslim Indonesia terutama karena diulang-ulang oleh Zainuddin dalam ceramahnya.
Meski begitu, secara lebih personal, bagi saya Zainuddin lebih penting dari sekadar pendidik agama atau mentor politik tingkat pemula; saya sering mengenang suaranya, anekdot-anekdot lucu yang dituturkannya, dongeng-dongeng nabi-nabi yang disampaikannya, istilah-istilah yang dipakainya, yang tepat maupun yang meleset, tak kurang dari cerita-cerita Bapak yang menghilang dari masa-masa krusial pertumbuhan saya, juga sebagai bacaan-bacaan enteng yang tak saya punya.
Cerita-cerita muslim populer seperti Sa’labah yang kikir, kisah Alqamah dan kutukan ibunya, anekdot-anekdot tentang Umar, Ali, juga duo Abu Jahal-Abu Lahab, semua melekat di kepala saya dalam bentuk rekaman suara Zainuddin. Ceramah-ceramah itu jelas bukan pertama kali saya dengar dari ceramah Zainuddin, namun dengan cara Zainuddin-lah, cerita-cerita itu menjadi jauh lebih hidup, dan jauh lebih lama hidup dalam kenangan kita. Ia mungkin tak sepiawai para dalang dalam mengubah suara; Achmad Affandi alias Kaisar Victorio, penyiar Radio Suzana Surabaya, mungkin lebih banyak punya alter ego. Tapi Zainuddin bisa membuat cerita-cerita yang disampaikannya terasa dekat, nyata, dan membumi. Kata ganti ane-ente yang dilekatkan pada tokoh-tokoh yang diceritakannya membuat tokoh seperti Umar terdengar seperti Si Pitung.
Tapi bukan hanya itu. Darinya saya mengenal istilah yang asing seperti the right man on the right job, ketika menjelaskan tentang konsep kepemimpinan Islam. Juga istilah-istilah asing lain yang lebih rumit, semisal “Orientalisme”. Bahkan, darinyalah saya memahami—lengkap dengan seluruh kesalahannya—tentang Efek Rumah Kaca, yang kata Zainuddin “ditimbulkan oleh semakin banyaknya bangunan dari kaca”.
Betul apa betul?
***
Kaum muslimin dan muslimat rahimakumullah….
Saya bayangkan, ketika Zainuddin sedang melontarkan ejekan “Sudah miskin sombong, seneng iblis!” yang terkenal itu, saya mungkin saja sedang tersenyum-senyum sembari pejam. Atau, ketika ia mengulang untuk kesekian kali lelulon “Anak Pak Haji main judi”, sama boleh jadi ngakak sambil sedang mendengkur.
Saya mungkin akan terlena sedikit terlalu dalam, sehingga membutuhkan ibu saya mematikan radio dan membentak saya, mengingatkan bahwa ia akan berangkat berjualan ke pasar dan nanti saya mesti mengantar 30 kilo semangka yang belum terangkat, sekalian ambil sarapan sekaligus minta uang saku sekolah.
Namun, yang lebih sering terjadi, saya segera terbangun begitu suara Zainuddin menghilang, digantikan oleh penyiar RRI Pusat Jakarta yang membacakan berita nasional jam 6 pagi. Itu saat yang tepat untuk menggeser tombol band radio, dari MW (Medium-wave) ke SW (Short-wave), untuk mencari siaran bahasa Indonesia BBC London dan mendengar perkembangan klasemen di Liga Inggris. Saat itu Blackburn Rovers sedang memimpin. Duet Alan Shearer-Chris Sutton sedang menggila. MU kedodoran mempertahankan gelarnya setelah Eric Cantona dihukum menyusul tendangan kungfunya ke seorang pendukung Crystal Palace.
Hmm… seneng Iblis!
BACA JUGA Festival dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.