Ikatlah, Baru Engkau Tawakal

MOJOK.COLalu dia bertanya: “Wahai Nabi, apakah saya meski membiarkan hewan saya itu lepas tanpa diikat dan tawakal saja, atau saya ikat dahulu baru saya tawakal.”

Dalam seri ini, kita masih akan mendiskusikan soal tindakan Tuhan dalam kaitannya dengan tindakan manusia. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan.

Sebagaimana saya tegaskan dalam bagian yang lalu, manusia adalah satu-satunya ciptaan yang memiliki “kemiripan” dengan Tuhan, sebab di dalam dirinya, ada “tiupan Tuhan”, ada unsur ilahiah yang membuatnya secara ontologis berada di atas dan mengungguli seluruh makhluk yang lain.

Dalam cara pandang keimanan, tindakan manusia secara derivatif berasal dari Tindakan Tuhan. Manusia tidak mampu men-generate tindakan secara otonom dari dirinya sendiri, sebagaimana rembulan tak bisa mengeluarkan cahaya dari dirinya. Cahaya bulan secara derivatif berasal dari matahari.

Manusia mampu melakukan “tindakan”, menurut akidah Asy‘ariyyah, karena Tuhan meletakkan “kemampuan” (inilah yang disebut dengan “kasb” atau usaha dari pihak manusia) pada dirinya untuk melakukan sesuatu.

Tanpa adanya kemampuan yang “dipinjamkan” itu, manusia akan lumpuh—sama dengan tumbuhan-tumbuhan atau bebatuan yang tak mampu melakukan tindakan apa pun.

Tuhan, dalam Qur’an, digambarkan secara kontradiktif sebagai Yang Tampak (al-Dzahir) dan Rahasia (al-Bathin). Watak dualistis yang kelihatan kontradiktif ini juga tercermin dalam tindakan-tindakan Tuhan: ada jenis-jenis tindakan ilahiah yang “rationally transparent,” yang secara penalaran sangat tampak; dalam pengertian bisa dipahami.

Hampir semua hukum alam yang bersifat ajeg itu adalah bagian dari tindakan-tindakan Tuhan yang transparan, zahir, karena manusia bisa mengetahui “rationale” atau alasan yang ada di baliknya.

Kenapa sebuah benda yang dilempar akan jatuh ke tanah? Karena ada hukum gravitasi. Sangat jelas, transparan. Dalam kehidupan sosial, ada juga tindakan-tindakan Tuhan yang tampak, transparan.

Contoh sederhana:

Seseorang yang bekerja keras, ia sukses. Kesuksesan itu, dalam cara-pandang keimanan, adalah pemberian dan anugerah Tuhan, selain karena usaha orang tersebut. Seseorang yang beramal saleh, diberikan ganjaran.

Sementara orang yang jahat akan diberikan hukuman. Ini contoh-contoh tindakan Tuhan yang transparan. Saya sebut transparan, karena ada korelasi yang logis antara tindakan moral A dan hasil B.

Tetapi kita tak boleh berhenti di sana. Sebab, ada jenis-jenis tindakan Tuhan yang mengandung misteri, tak jelas alasan-alasan di baliknya.

Ketika sebuah bencana besar menimpa, dan ratusan ribu orang menjadi korban, seperti kasus tsunami di Aceh pada 2004, banyak orang yang terpukul: Kenapa ini terjadi? Kenapa ribuan orang saleh yang taat menjalankan ajaran agama menjadi korban? Apa “rationale” atau alasan di balik tindakan Tuhan semacam ini?

Ini, menurut saya, masuk dalam kategori tindakan Tuhan yang “bathin,” misterius; kita tidak akan pernah tahu alasan-alasannya secara persis. Sesuai dengan ajaran al-Ghazali yang sudah saya ulas sebelumnya, menghadapi “the grand mystery of life,” misteri agung kehidupan seperti ini, seorang beriman hanya dianjurkan untuk menaruh “iman tanpa syarat” (un-conditional faith) kepada keadilan Tuhan.

Apapun yang dilakukan Tuhan, dilihat dari sudut “the grand scheme of things,” gambar besar kehidupan, akan selalu baik. Tuhan tak akan melakukan kezaliman.

Sikap husnuzzann ini, minimal, sedikit meringankan manusia dari beban pertanyaan tak berkeputusan yang justru mengganggu secara kejiwaan dan kerohanian. Sikap ini jelas akan lebih membantu dalam menghadapi situasi-situasi liminal ketika penderitaan begitu besar merundung, di luar kekuasaan seseorang untuk memikulnya.

Ada dua jenis tindakan yang dianjurkan Kanjeng Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan tindakan Tuhan yang misterius ini. Hal ini tergambar dalam hadis terkenal yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik.

Suatu hari, demikian dikisahkan, datang seorang sahabat dengan menunggang hewan kendaraan. Lalu dia bertanya: “Wahai Nabi, apakah saya meski membiarkan hewan saya itu lepas tanpa diikat dan tawakal saja, atau saya ikat dahulu baru saya tawakal.”

Jawaban Kanjeng Nabi pendek: “Ikatlah, baru engkau tawakal” (bal i‘qilha wa-tawakkal).

Kisah ini menunjukkan bahwa ada dua dimensi penting dalam tindakan manusia dalam berhadapan dengan tindakan Tuhan. Pertama: tindakan teknis-strategis; kedua, tindakan spiritual-ontologis.

Tindakan pertama saya sebut “teknis-strategis” karena berorientasi untuk mengatasi masalah secara lahiriah. Jika Anda tidak ingin kehilangan kendaraan, ya solusinya: harus dikunci. Tindakan teknis biasanya bertujuan untuk “problem solving.”

Sementara tindakan kedua saya sebut spiritual-ontologis karena menyangkut sikap batiniah untuk “pasrah” kepada misteri tindakan Tuhan yang tak terduga. Boleh jadi setelah kita mengunci kendaraan, masih saja ada maling yang mencurinya.

Dengan kata lain, tiada jaminan bahwa tindakan teknis-strategis akan sukses. Selalu ada kemungkinan meleset. Di sanalah misteri tindakan Tuhan terletak–tindakan Tuhan yang tak transparan, bathin.

Jadi, ikatlah baru engkau tawakal. Hanya dengan inilah manusia bisa menghadapi secara tepat misteri tindakan Tuhan.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Exit mobile version