Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Kolom

Doktrin Politik Sunni yang ‘Quietist’

Ulil Abshar Abdalla oleh Ulil Abshar Abdalla
19 Mei 2020
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Keadaan politik pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah meninggalkan trauma yang mendalam bagi ulama Sunni.

Meski bukan bagian dari doktrin pokok dalam Islam, ulama Sunni tidak abai pada politik: mereka merumuskan sejumlah doktrin politik berdasarkan pengalaman sejarah yang mereka alami. Pengaruh doktrin ini masih bertahan sampai sekarang, meskipun artikulasinya dalam konteks kehidupan modern bisa mengalami sedikit modifikasi dan variasi.

Secara umum, doktrin politik Sunni bisa dirumuskan dalam istilah sederhana ini: “realisme pragmatis”, bukan “radikal-idealis”. Apa yang saya maksud dengan “realisme pragmatis” adalah sikap yang ditandai, antara lain, dengan kesediaan untuk menerima “status quo” politik, meskipun itu berupa kekuasaan yang otoriter dan lalim.

Memberontak terhadap kekuasaan yang ada (dalam literatur fikih politik disebut: al-sulthan al-mutaghallib, penguasa yang secara de facto menang dan berkuasa), dikecam dengan keras. Tindakan memberontak semacam ini disebut sebagai: al-baghyu, dan pelakunya adalah bughat, para pemberontak.

Sejarah konsolidasi politik kekuasaan pasca-wafatnya Kanjeng Nabi pada abad-abad pertama Hijriyah meninggalkan trauma politik yang mendalam bagi ulama Sunni.

Belajar dari pengalaman sejarah ini, mereka sampai pada kesimpulan yang sudah mantap: sezalim apa pun sebuah kekuasaan, ia lebih baik ketimbang keadaan “vacuum” politik yang menimbulkan “fitnah” atau kekacauan. Ada semacam “unen-unen” (political wisdom) dari para ulama salaf (generasi pertama Islam) bahwa: enam puluh tahun di bawah penguasa yang zalim dan otoriter, lebih baik dari pada satu malam saja tanpa penguasa.

Keadaan yang paling ditakuti oleh ulama Sunni adalah apa yang disebut dengan “fitnah,” yaitu kekacauan politik karena adanya pemberontakan. Konsolidasi kekuasaan di awal-awal sejarah Islam membutuhkan kekuasaan tangan-besi yang berdarah-darah.

Pemberontakan hampir muncul dalam setiap faset sejarah Islam awal, dan setiap kali itu pula puluhan ribu nyawa dikorbankan; darah tumpah sia-sia. Kekuasaan yang brutal bukan monopoli sejarah Islam; ini hampir menjadi ciri khas kekuasaan tradisional di manapun pada masa pra-modern.

Teknik berkuasa dan alat-alat untuk mengontrol kekuasaan belum berkembang dengan canggih pada masa itu. Kekejaman dan kebrutalan dalam menghadapi lawan-lawan politik adalah teknik yang dipakai oleh penguasa tradisional untuk “menanamkan” rasa takut dan teror kepada penduduk agar mereka tidak coba-coba melawan.

Negara modern tidak terlalu membutuhkan kebrutalan dalam skala yang sama yang dipraktekkan penguasa tradisional, karena teknik-teknik kontrol telah berkembang pesat sekarang. Ini, antara lain, difasilitasi oleh perkembangan teknologi komunikasi, surveillance dan penyadapan yang canggih.

Bayangkan keadaan berikut itu: penguasa tradisional mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, sebelum menyadari bahwa pemberontakan terjadi di sebuah kawasan yang jauh sekali dari pusat kerajaannya.

Negara modern hanya membutuhkan waktu sekian detik saja untuk mendeteksi pemberontakan semacam ini. Perbedaan teknik kontrol dalam kekuasaan inilah yang, saya kira, “memaksa” penguasa-penguasa tradisional memakai teknik penyiksaan yang brutal terhadap lawan-lawannya. Hanya dengan begitu mereka bisa menjamin “ketundukan” rakyat.

Situasi politik semacam inilah yang, saya kira, mendorong para ulama Sunni dalam fase awal sejarah Islam merumuskan sikap politik yang cenderung “quietist,” diam, patuh, tunduk pada penguasa, baik penguasa yang adil atau zalim. Sebab alternatif lain adalah: memberontak yang justru menimbulkan “fitnah” dan kekacauan yang lebih berbahaya.

Dalam konteks kekuasaan tradisional, bahkan tanda-tanda oposisi yang sederhana sekalipun (bukan pemberontakan!) akan dihadapi dengan penindasan yang kejam.

Iklan

Kemaslahatan agama terganggu saat berlangsung fitnah atau kekacauan politik: orang-orang tidak bisa dengan aman menjalankan ibadah, ngaji, mencari nafkah, dll. Keamanan, dan bukan kebebasan, adalah “komoditi politik” yang amat berharga dalam masyarakat tradisional sebagaimana dihadapi oleh ulama Sunni zaman lampau. Ide kebebasan politik masih terlalu jauh dari “imajinasi politik” ulama di masa itu.

Kita tak bisa menyalahkan ulama Sunni pada zaman itu. Rumusan sikap politik realis-pragmatis adalah sikap yang paling masuk akal dalam situasi politik seperti yang saya gambarkan di atas. Ini sama sekali bukan berarti bahwa ulama Sunni tidak melakukan “opisisi politik”. Resistensi terhadap penguasa yang zalim dilakukan oleh banyak ulama pada zaman itu, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang “aman”.

Inilah yang oleh al-Ghazali dalam disebut sebagai “siyasat al-‘ulama’,” politik para ulama dan kiai. Politik ideal untuk para kiai, dalam pandangan al-Ghazali, adalah al-wa‘dzu wa-l-irshad, memberikan masukan kepada penguasa yang zalim melalui “kritik lisan”: memberi nasehat.

Model politik “radikal-idealis,” dengan cara menentang terang-terangan penguasa, bukanlah jalan yang disukai oleh ulama Sunni. Mereka lebih memilih jalan yang lebih membawa maslahat: menerima kekuasaan yang ada, apapun keadaanya, meskipun dengan “nggrundel”. Itu lebih baik daripada kekacauan yang timbul karena tindakan menentang penguasa.

Apakah sikap politik seperti ini masih relevan sekarang? Ini akan tema pembicaraan saya dalam tulisan berikutnya.


Sepanjang Ramadan, MOJOK.CO akan menampilkan kolom khusus “Wisata Akidah Bersama al-Ghazali” yang diampu oleh Ulil Abshar Abdalla. Tayang setiap pukul 16.00 WIB.

Terakhir diperbarui pada 19 Mei 2020 oleh

Tags: al-ghazaliSunniSyiahWisata Akidah
Ulil Abshar Abdalla

Ulil Abshar Abdalla

Cendikiawan muslim.

Artikel Terkait

Menjadi Radikal Bisa Diawali dari Kebiasaan Membatasi Teman
Pojokan

Harus Diakui, Potensi Jadi Radikal Ada di Setiap Orang

16 Januari 2022
Esai

Pakai GPS, Sering Baca Al-Quran, Literasi Bagus tapi Masih Tersesat

27 September 2021
Yang Terjadi kalau GAM Menang dan Aceh Merdeka sebagai Negara
Esai

Yang Terjadi kalau GAM Menang dan Aceh Merdeka sebagai Negara

16 Agustus 2021
Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?
Esai

Kalau Ada Olimpiade Agama, Bisakah Indonesia Jadi Juara Umumnya?

13 Agustus 2021
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
pendidikan, lulusan sarjana nganggur, sulit kerja.MOJOK.CO

Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada

5 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.