MOJOK.CO – Sebuah tawaran yang belakangan muncul dan mungkin relevan dengan bulan puasa, yaitu puasa media sosial (social-media fast).
Bahwa keistimewan puasa terletak pada aspek “menahan diri” tentu setiap muslim telah memahaminya. Bahkan secara sangat filosofis-sufistik Imam Ghazali meranking orang-orang yang berpuasa dalam tiga level berdasarkan kepasitasnya dalam “menahan diri”, yaitu kelompok awam, khawas, dan khawas al-khawas.
Kelompok awam ditandai dengan kemampuannya menahan diri secara fisik, khususnya dari makan, minum dan hubungan seksual. Kelompok khawas istimewa karena mampu menahan seluruh anggota tubuhnya dari melakukan maksiat dan dosa.
Sementara kelompok khawas al khawas paling istimewa karena bahkan mampu menahan hatinya untuk tidak memperhatikan hal lain selain Allah saja.
Dalam praktiknya, mengendalikan diri khas kelompok awam tampak paling mudah dan paling sederhana untuk diukur keberhasilannya.
Sementara untuk level kedua tidak semudah dijelaskan, karena memerlukan keluasan wawasan dan juga kesadaran serta kepekaan untuk mendeteksi sejauh mana diri kita, baik lahir maupun batinnya, telah terkondisikan sebagai tidak melakukan maksiat.
Paling sulit level khawas al-khawas, karena betapa tidak mudah mempersembahkan fokus dan perhatian hanya kepada Allah saja, meskipun sedang puasa, mengingat riuh dan ramainya dunia masa kini dengan aneka hal yang mampu mendistraksi perhatian kita.
Salah satu penghuni dunia masa kini yang sering sekali dituding sebagai “perusuh” kemurnian hati dan “penggoda” jalan lurus menuju Tuhan adalah media sosial. Problem utama dengan media sosial hari ini tentu saja bukan terletak pada kecanggihan teknologinya, namun lebih pada ruang dan waktu yang direbutnya dalam kehidupan kita.
Aneka gawai dengan fasilitas media sosial itu begitu lekat dan tak terpisahkan dari keseharian kita. Bangun tidur yang kita lihat pertama adalah media sosial, dan menjelang tidur pun yang kita lihat terakhir adalah media sosial.
Dalam sehari, tidak tahan kita untuk meletakkannya barang satu-dua jam saja. Bahkan saat isi daya pun kadang dengan setia kita tunggui sambil memainkannya.
Filsuf Perancis, Jean Baudrillard, menyebut kondisi kita hari ini sebagai “ekstase komunikasi”, yang ditandai dengan keterikatan, ketergantungan, kecanduan pada perangkat teknologi informasi, yang mendistraksi sebagian besar perhatian hidup kita kepada keasyikan bermedia sosial.
Sebagai konsekuensinya, banyak ranah lain kehidupan yang tidak kalah pentingnya akhirnya terbengkalai, atau tidak terolah secara optimal.
Sebenarnya sudah banyak kritik dilontarkan terhadap mode baru kehidupan manusia kontemporer yang mengalami kecanduan media sosial ini, baik dari kalangan pemikir sosial-budaya-agama juga filsafat.
Ada yang menuding media sosial sebagai sumber krisis eksistensial manusia, ada yang menganggapnya sebagai “biang kerok” matinya dunia sosial, lenyapnya kedalaman dan keintiman dalam komunikasi, menggilanya hoax dan berita bohong, penyubur konsumerisme, bahkan penyebar ideologi dan gaya hidup sesat.
Namun demikian, mengeliminasi media sosial yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban manusia hari ini dapat dikatakan anti-realitas dan a-historis, untuk tidak mengatakan mustahil. Tidak terbayangkan hari ini kita hidup tanpa gadget dengan segala fasilitas media sosialnya, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp, YouTube, atau Instagram.
Manfaat media sosial pasti ada, bahkan mungkin luar biasa, namun batas pun harus kita kenali, agar yang semula anugerah tidak menjelma jadi musibah.
Kalau terlalu penuh hidup kita dengan kesibukan media sosial, kapan kita memiliki waktu untuk refleksi-kontemplasi demi peningkatan kualitas diri? Kalau terlalu sesak ruang kita dengan aktivitas dunia maya, di mana kita tempatkan spiritualitas dan kemanusiaan?
Kalau habis waktu kita untuk berkomunikasi dalam jaringan, kapan kita jalin keintiman dengan Tuhan Sang Maha Penyayang? Kalau fokus kita hanya asyik berselancar di dunia maya saja, hingga habis waktu, habis tenaga, bagaimana bisa naik peringkat puasa kita?
Menarik sebuah tawaran yang belakangan muncul dan mungkin relevan dengan bulan puasa, yaitu puasa media sosial (social-media fast).
Tentu saja kata puasa di sini akan tepat diartikan sebagai upaya mengurangi, bukan meninggalkan sama sekali.
Mengurangi berarti menggunakannya sejauh dibutuhkan, bukan menggunakannya tanpa peduli waktu dan kepentingan. Mengurangi berarti menyusutkan luas ruang yang dihuni dan memendekkan durasi waktu yang dipakai; sebagaimana puasa biasa yang menyuruh kita untuk “mengurangi” kuantitas makan-minum dalam sehari, bukan meninggalkannya sama sekali.
Berbagai kajian menyebut bahwa puasa media sosial itu setidaknya menghadirkan empat keuntungan:
Pertama, less drain-more energy (berkurang penguras energi, bertambah energi). Tentu saja meskipun sekedar bersosial media, kita pun kehilangan energi, waktu dan bahkan biaya. Dengan puasa sosial media, energi kita dapat dialihkan ke banyak hal yang lebih produktif dan bermanfaat.
Kedua, less distraction-more focus (berkurang pengalih perhatian, bertambah fokus). Tidak dapat dipungkiri bahwa konten media sosial adalah hal-hal yang mudah menarik perhatian kita, sehingga membuat kita melupakan hal yang lain sudah asyik tenggelam dalam sosial-media.
Maka puasa sosial media akan membantu kita lebih fokus pada kewajiban dan keharusan hidup, tanpa bersusah payah mengatasi aneka godaan yang mengalihkan perhatian dari media sosial.
Ketiga, less-annoyance-more peace (berkurang kegalauan, bertambah ketenangan). Pernahkah kita marah-marah atau gelisah karena membaca sebuah posting di Facebook, Instagram, atau Twitter, kemudian kita begitu tidak setuju dan meluap ingin segera mengomentari dan bergegas menyusun tanggapan, lalu lahir “pertikaian-pertikaian maya” beberapa lamanya, kemudian terlewatkanlah beberapa agenda penting yang sudah kita susun sebelumnya?
Maka berpuasa media sosial akan menyelamatkan kita dari kegalauan yang tidak perlu itu.
Keempat, less disappointment–more contentment (berkurang kekecewaan, bertambah kenyamanan).
Beraktivitas sosial media berarti berhubungan dengan orang lain, yang tentu saja memiliki visi, misi, cara hidup dan pandangan berbeda dengan kita, dan sangat mungkin perbedaan itu menghasilkan “benturan” atau “singgungan” yang melahirkan kekecewaan.
Maka semakin berkurang frekuensi kita “bersinggungan” semakin kecil kemungkinan kekecewaan, semakin tenang hidup kita.
Wendy Speake, Seorang artis dan penulis, dalam bukunya The 40-Day Social Media Fast: Exchange Your Online Distractions for Real-Life Devotion menyatakan: “A social media fast is not about keeping technology in its rightful place. Oh, no! This is about keeping God in His rightful place: at the center of our attention and affection.”
(Puasa sosial media bukanlah tentang meletakkan tekhnologi pada tempatnya. Bukan. Ini adalah tentang memposisikan Tuhan pada tempatnya, yaitu sebagai pusat perhatian dan perasaan kita).
____________________________________________
Sepanjang Ramadan, MOJOK menerbitkan KOLOM RAMADAN yang diisi bergiliran oleh Fahruddin Faiz, Muh. Zaid Su’di, dan Husein Ja’far Al-Hadar. Tayang setiap waktu sahur.