MOJOK.CO – Selamat datang di ajang tahunan migrasi terbesar Indonesia: mudik Lebaran.
R. Sastrodisatro yang sudah sepuh tiba-tiba bangkit semangatnya setelah membaca surat bahwa anaknya Sariningrum akan pulang. Telah sepuluh tahun sejak pertengkaran itu anaknya minggat dari rumah. Sejak itu anaknya tidak pernah berkabar sama sekali. Kini ketika anaknya tiba-tiba mengatakan akan pulang, betapa bahagianya ia sehingga “Selama hidup baru kali ini aku melihat ayahku menangis,” demikian kata “aku”, adik Sariningrum yang menjadi narator cerita.
Momentum apakah yang membuat Sari mau pulang? Lebaran. Ya, Lebaran. Sari akan mudik. Akan tetapi, Sari tidak sendiri. Ia datang bersama suaminya Solihin dan anak-anak mereka. Kisah tersebut ada dalam cerpen lawas Mohamad Diponegoro (1928-1982) berjudul “Pulangnya Sebuah Keluarga Besar”.
Mudik adalah kebahagiaan. Seperti cerita di atas, R. Sastrodisastro menjadi bahagia dan terharu karena ia akan bertemu anaknya. Ia sangat menyesal karena dulu, tidak lama setelah istrinya meninggal, dengan tergesa mengutarakan akan menikah lagi. Sari tidak terima dan marah. Ia lalu minggat.
Lewat tradisi mudik, Lebaran di cerpen itu menjadi sarana integrasi. Yang benci disayangkan lagi. Yang keras dilunakkan lagi. Yang patah tersambung lagi. Yang jauh didekatkan lagi. Yang sulit dimudahkan lagi. Semua pihak menjadi bahagia karena itu.
Mudik juga bisa menjadi momen spiritual. Dalam cerpen “Lailatul Qadar”, Danarto (1941-2018) bercerita tentang keluarga Satoto yang mudik bermobil ke kampungnya di Yogya. Ia telah memilih jalur selatan yang menurut orang-orang tidak macet, tetapi ternyata macet juga.
Tiba-tiba Satoto melihat jalan kosong panjang melempang. Ia segera minta sopirnya berbelok ke jalan tersebut. Jalan itu benar-benar sepi dan terang. Mereka bisa lewat dengan tenang dan nyaman. Mereka heran kenapa baru sekarang melihat jalan itu. Mengapa juga tidak ada orang yang lewat jalan itu. Mereka pun sampai ke rumah dengan lancar dan selamat.
Seperti biasa, dengan gaya surealisnya Danarto memasukkan unsur keajaiban dalam cerpen tadi. Namun, merujuk judul cerpennya, keajaiban itu bisa diyakini bukan khayalan. Satoto sekeluarga secara harfiah benar-benar memperoleh anugerah lailatul qadar dengan diberikan Allah jalan yang lempang sehingga sampai rumah tanpa hambatan.
Kita juga bisa memaknai cerpen ini secara simbolik. Mudik itu sendiri merupakan lailatul qadar. Mereka berbahagia dan memperoleh karunia yang besar karena bisa mudik. Dengan demikian, setiap mereka yang bisa mudik sama seperti memperoleh anugerah lailatul qadar. Bersyukurlah kepada Tuhan yang menganugerahi lailatul qadar kepada rakyat Indonesia lewat tradisi mudik ini.
Di lain waktu mudik bisa pula memuat kesedihan. Ia bukan melulu soal kemenangan, di dalamnya juga ada kekalahan. Dalam cerpen “Menjelang Lebaran”, Umar Kayam (1932-2002) bercerita tentang Kamil, istrinya Sri, dan dua anaknya Mas dan Ade yang sudah berencana untuk mudik. Namun, mudik itu terpaksa dibatalkan karena tiba-tiba Kamil di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja. PHK itu, membuat mereka juga terpaksa mem-PHK dan memulangkan Inah, pekerja rumah tangga yang telah bertahun-tahun mengabdi di rumah mereka.
Inah menangis sedih. Namun, kemudian mereka punya jalan keluar. Inah bisa tetap bekerja dan akan mendapat makan minum sebagaimana anggota keluarga. Hanya ia sementara tidak menerima gaji sampai nanti Kamil mendapatkan pekerjaan baru lagi. Inah setuju. Mereka senang dengan jalan keluar ini.
Masalahnya kini, bagaimana menyampaikan kepada anak-anak bahwa mereka tidak jadi mudik? Cerpen ditutup dengan peristiwa mengharukan. Dari sebelah kamar terdengar Mas dan Ade berebut tas yang akan mereka bawa dan tentang siapa yang nanti berhak duduk di samping jendela dalam kereta.
Rasa kekalahan ini pula yang kita rasakan ketika menyimak cerpen “Mudik” karya Mustofa W. Hasyim (1954). Joko, istrinya Tinah, serta anak-anaknya yang tinggal di perkampungan kumuh dekat jembatan dan rel kereta api tidak bisa mudik karena ketiadaan uang. Padahal dua anak mereka sangat ingin mudik, ingin melihat sawah, kerbau, sungai, dan kangen kepada kakek nenek.
Seminggu sebelum lebaran, ketika karnaval mudik mulai berjalan, bunyi kereta api dan suara bis jadi terasa begitu menyesakkan hati mereka. Suara itu seperti ejekan. Rindu kampung halaman makin menusuk jiwa dan pikiran.
Cerpen ditutup dengan suasana yang lagi-lagi melankolis. Dua anak mereka, Dodo dan Syahrul, asyik menggambar kakek, nenek, bude, dan bulik mereka, juga sawah, sungai, kerbau. Mudik hanya bisa mereka tumpahkan ke dalam buku gambar.
Di antara sekian cerpen mudik tadi, bagi saya tak ada yang lebih mengharukan dibanding cerpen “Gambar Bertuliskan Kereta Lebaran” karya Gus tf Sakai (1965). Cerpen ini berkisah tentang seorang masinis yang selalu dikejar rasa bersalah. Sebuah kenangan pahit membuatnya selalu tertegun dan meneteskan airmata ketika mengingatnya. Celakanya, ia tak pernah bisa melupakannya, terutama karena kenangan pahit itu seperti selalu harus dilewatinya ketika Lebaran tiba.
Sekian tahun lalu, ketika ia masih seorang asisten masinis, suatu hari dari kejauhan ia melihat seorang anak gadis berpakaian seragam putih merah, menggunakan ransel, mengepit sebuah buku gambar, turun dari badan jalan untuk naik ke bantalan rel. Anak itu begitu tenang dan tanpa waswas, seolah tak ada suatu apa pun di depan. Stoker telah membunyikan peluit, tapi bocah itu tidak bereaksi. Secepat kilat ia menekan rem, tapi sudah terlambat. Anak itu tewas dihajar kereta. Bagian tubuhnya ada terbawa kereta, ada yang berserakan di sungai bersamaan dengan buku-buku dari dalam tas. Ia hanya mendengar teriakan anak itu, “Emakkkkkk!”
Setelah lokomotif masuk depo ia baru menyadari buku gambar anak itu ikut terbawa, entah bagaimana caranya tertelungkup di lantai loko. Ia membukanya. Baru satu halaman, sebuah gambar rangkaian kereta dengan tulisan “Kereta Lebaran” di bawahnya telah membuat ia menggigil. Saat itu memang seminggu sebelum Lebaran tiba.
Beberapa hari kemudian ia berkunjung ke rumah anak itu, sebuah rumah di kawasan kumuh. Dari sana terkuak cerita bahwa si anak memang mengimpikan untuk mudik ke kampung neneknya. Ia merengek-merengek minta mudik, tetapi si ibu selalu bilang, mereka hanya bisa mudik kalau ada uang. Uang untuk mudik itu tak (pernah) ada.
Cerpen mudik ini menarik karena ia berbicara bukan tentang mudik itu sendiri, tapi kenangan pahit yang selalu menempel padanya. Setiap kali si masinis melewati tempat kejadin, peristiwa itu selalu hinggap di kepalanya. Ia selalu ingat lengkingan “Emak” anak itu. Ia selalu ingat wajah ibu anak itu. Pernah ia minta dipindah ke trayek lain agar ia bisa melupakan peristiwa itu, tapi ternyata kenangan itu tetap tidak bisa terhapus di kepalanya. Dan kenangan itu makin menghujam ketika musim mudik tiba.
Usai membaca cerpen ini, saya jadi teringat kecelakaan lalu lintas yang sering merenggut korban jiwa setiap musim mudik tiba. Tidakkah mudik juga akan menjadi kenangan pahit bagi mereka? Orang-orang yang kehilangan teman, istri, suami, ibu, bapak, adik, kakak, dan anggota keluarga lain dalam perjalanan mudik?
Mudik adalah peristiwa kebudayaan. Seperti kesaksian cerpen-cerpen yang saya kutipkan tadi dan banyak cerpen lain dengan tema sejenis, mudik memiliki banyak simbolisasi makna. Ia bukan hanya soal serombongan orang yang seperti karavan bepergian ke suatu tempat pada saat yang bersamaan. Ia bisa bermakna kebahagiaan, kesedihan, kemenangan, kekalahan,kesuksesan, dan kegagalan. Neraca kehidupan ditimbang dari apakah kamu bisa mudik atau tidak? Kalau bisa, pakai angkutan apa? Bawa hadiah Lebaran apa dan seberapa?
Pada akhirnya, mudik bukan lagi soal merayakan hari besar agama, tapi pernyataan diri manusia bahwa ia adalah bagian dari sebuah keluarga.
Baca edisi sebelumnya: Memburu Sang Alkemis dan tulisan di kolom Iqra lainnya.