MOJOK.CO – Mahasiswa Sastra Jepang kok bisa lulus tanpa jago Bahasa Jepang? Emang gimana sih caranya? Mas Iqbal Aji Daryono punya kiat jitunya.
Kemarin, Mas Celenger Haryo Setyo Wibowo menceritakan kasus saya yang lulusan Sastra Jepang tapi tidak bisa bahasa Jepang. Kemudian beberapa kawan lain mempertanyakan sistem perkuliahan di Sastra Jepang UGM: kok bisa lulus kalau nggak bisa bahasa Jepang?
Hm begini, hal tersebut harus diluruskan sedikit.
Bukan, bukan, hal ini saya lakukan bukan semata-mata untuk membela diri, sebab yang saya butuhkan di dunia ini tak lebih dari harta dan tahta, bukan kehormatan. Ini semata membela para dosen saya yang diam-diam pasti juga pada dongkol membaca komentar-komentar ada mahasiswa mereka yang bisa lulus jurusan Sastra Jepang tanpa bisa bahasa Jepang (maaf, eh, gomennasai ya Pak, Bu, jadi merepotkan).
Jadi, sebenarnya pada waktu lulus dulu saya ya bisa lah dikit-dikit bahasa Jepang. Apalagi skripsi saya juga membahas novel Tanizaki Junichiro yang tentu wajib saya akses dari versi asli bahasa Jepang. Tapi, untuk mengaku-ngaku bisa bahasa Jepang, kok rasanya saya terlalu tak tahu diri.
Mari kembali ke pertanyaan awal tadi: gimana caranya bisa lulus Sastra Jepang tanpa bisa bahasa Jepang? Juga buat apa lulus Sastra Jepang kalau bahasa Jepangnya tidak terpakai?
Inilah ilmu tingkat tinggi yang saya paparkan waktu kemarin saya diundang para dosen untuk berbincang-bincang tentang kehidupan nyata yang indah ini bersama adik-adik junior.
“Suka atau pun tidak suka, bisa atau pun tidak bisa, kalian tetap harus lulus. Inilah manifestasi dari kuliah sebagai ajang penempaan diri. Tanpa lulus, kalian sudah membuktikan diri sebagai pribadi yang gagal mempertanggungjawabkan pilihan.”
Jeng jeeng! Wajah-wajah di hadapan saya mulai memucat. Beberapa anak tampak menelan ludah. Mungkin mereka semula ingin datang untuk mencari bekal pembenaran atas ketidaklulusan, sebab toh pekerjaan seniornya ini juga blas tidak berkaitan dengan bahasa Jepang.
Saya pun mengambil jeda untuk membetulkan letak kacamata, agar ekspresi saya kian menyeramkan. Kemudian, saya melanjutkan.
“Meski setelah lulus pun bahasa Jepang kita tidak terpakai, jangan berkecil hati. Anda harus memahami bahwa proses belajar tidak linier seperti itu. Anda baca seratus buku, misalnya, berapa persen yang Anda ingat? Mungkin tidak sampai 20%-nya.
Akan tetapi apakah proses membaca itu sia-sia? Tidak sama sekali. Ia membangun akumulasi kecerdasan kita, tanpa kita sadari. Sama juga, Anda belajar bahasa Jepang mungkin tidak secara langsung berguna. Tapi Anda tidak sadar bahwa proses keras selama belajar di kampus itu membentuk karakter Anda yang tahan banting!”
Semua terkesiap, manggut-manggut, beberapa anak tampak menahan nafas agar tidak sampai menitikkan air mata.
Tampaknya kalimat saya itu memang terlalu ke-mario-mario-an. Namun jangan salah. Di Sastra Jepang UGM, kami memang menjalani proses belajar yang kompleks, tidak sesederhana belajar alat komunikasi bernama bahasa Jepang. Saya ambil contoh sedikit di antaranya.
Pertama, saya dan teman-teman dari level mahasiswa KW 2 belajar menjalani strategi komunikasi efektif. Ini terjadi misalnya saat kami berhubungan dengan seorang dosen dari Jepang, Ishida Noriko Sensei.
Bu Ishida ini sangat paham bahwa bahasa Jepang dan bahasa Jawa memiliki kemiripan dalam hal tingkat tutur. Ada ngoko, kromo, kromo inggil—kira-kira begitu—maka, karena sudah belasan tahun mengajar di Indonesia, Bu Is pun cukup terampil berbahasa Jawa.
Dari situ kami tanggap, bahwa untuk berkomunikasi urusan akademis dengan Bu Ishida, kami tak harus menggunakan bahasa Jepang. Kawan saya Gorgom misalnya, menyadari bahasa Jepangnya lumayan astagfirullah, dengan sangat percaya diri menjumpai Bu Is di ruang dosen dan langsung bicara kromo inggil! Bu Ishida pun menyambutnya dengan hangat.
Lho, jangan salah, itu bukan ajian ngeles, Mas! Itu seni bertahan hidup!
Itu tadi buat Gorgom dan kawan-kawan yang lain, meski sialnya kawan-kawan non-Jawa tidak bisa masuk ke dalam dinamika strategi komunikasi taktis demikian.
Nah, buat saya sendiri, di Sastra Jepang UGM saya justru menempa diri dalam mengaplikasikan ilmu… matematika terapan.
Begini ceritanya. Untuk lulus jadi sarjana itu kan gampang saja—sebenarnya. Mata kuliah apa pun asal dapat nilai C, itu sudah lulus. Biasanya, asal ujiannya nggak remuk-remuk amat, nilai C tak terlalu sulit didapat.
Jadi, pada tahap itu, ketika hampir di semua kuliah jurusan saya dapat C, secara legal-formal (meskipun bukan secara moral) saya sudah lulus.
Persoalannya, saya tidak ingin menyiksa batin orangtua saya dengan menghadiahi mereka IPK satu koma. Itu sejenis kedurhakaan. Di situlah kemampuan matematika terapan saya tertantang. Tekad saya, IPK saya harus tiga koma.
Maka, saya pun berhitung. Mulailah saya melakukan survei medan, untuk menemukan beberapa mata kuliah di jurusan lain yang kira-kira sudah pasti dapat A. Dengan beberapa nilai A yang saya tumpuk di atas daftar nilai kuliah jurusan, hitungan kumulatifnya jelas akan merambat naik.
Pilihan paling jitu yang saya ingat adalah mata kuliah… Bahasa Jawa untuk mahasiswa non-Prodi Sastra Jawa.
Benar. Saya mengambil kuliah adiluhung yang satu itu, Bahasa Jawa I, kemudian Bahasa Jawa II.
Pemuda desa dari Bantul, mantan aktivis karang taruna yang sering disuruh jadi MC lelayu di kampung, masuk ke kelas Bahasa Jawa. Lawannya adalah dua mahasiswi asing dari Jepang, satu mahasiswa tua dari Australia, dan kalau tidak salah ada juga tiga mahasiswa dari luar Jawa.
Syahdan, berjayalah saya di kelas itu sebagai mahasiswa sangat berprestasi, sebab saya tidak menemui kesulitan secuil pun untuk urusan “tali layangan arane tali goci” atau “anak cecak arane sawiyah”. Dua mata kuliah itu saya sabet sambil merem dan dapat A semua.
Selain itu, saya mengulang kuliah umum yang sering diabaikan semacam Pancasila dan Agama Islam, sampai pokoknya dapat A semua. Banyak mata kuliah dari jurusan-jurusan lain, yang tentu jauh lebih gampang dirembuk daripada kuliah Sastra Jepang, juga saya ambil.
Walhasil, syarat kelulusan yang cuma 140 SKS saya lampaui karena jumlah total SKS saya menggembung jadi 166.
Begitulah contoh pelajaran kehidupan yang saya dapatkan di Sastra Jepang UGM, sekaligus strateginya biar lulus dengan IPK tiga koma, meski IPK segitu ternyata tidak pernah saya pakai selain demi membahagiakan orangtua.
Selebihnya, saya tak merasa galau dengan tidak nyambungnya aktivitas saya selanjutnya dengan kesusasteraan Jepang, sebagaimana digambarkan Ustaz Abu Faqih:
“Lulusan Sastra Jepang, karya pertamanya buku cerita nabi dan rasul, terkenal jadi polisi bahasa Indonesia, profesi sekarang penulis isu politik dan keagamaan. Gitu kok ya payuuuu!”
Jangankan saya. Lihat saja orang-orang ngetop di Indonesia. Itu Jonru itu lulusan Akuntansi Undip, lho. Nyatanya dia malah lebih aktif di bidang… hukum. Eh.
Ada juga mbak-mbak politisi wannabe cum dokter gigi yang lebih memilih berkarir sebagai penyidik hasil jahitan operasi plastik. Bahkan bapaknya yang guru besar “Hubungan Internasional” juga lebih berkonsentrasi di bidang “Perpecahan Nasional”. Nggak nyambung, kan? Biarin.
Yang cebong jangan ketawa dulu. Jokowi itu sarjana kehutanan, malah kemudian jualan mebel. Itu justru berkontribusi bagi deforestasi, Bung! Apalagi kemudian dia jadi politisi, tambah nggak nyambung!
“Lho kan politik itu rimba belantara yang ganas, Mas. Ilmu kehutanan akan sangat bermanfaat untuk menghadapinya.”
Sakkarepmu.