MOJOK.CO – Bagaimana kalau orang Islam pelihara anjing? Mengingat anjing dikenal sebagai hewan yang bawa najis berat dan ribet disucikan.
“Gus Mut tahu nggak kalau Mas Eko pelihara anjing?” tanya Mas Is.
“Iya. Tahu aku. Cuma nggak begitu ngeh aku,” kata Gus Mut.
“Aneh ya, padahal Mas Eko itu Islam lho, tapi kok pelihara anjing ya?” tanya Mas Is.
“Lah emang kenapa kalau orang Islam pelihara anjing?” tanya balik Gus Mut.
“Ya kan binatang najis, Gus. Haram dipelihara lah,” kata Mas Is.
“Kata siapa haram dipelihara?” tanya Gus Mut balik.
“Ya kan anjing itu binatang yang najis mugholadhoh,” kata Mas Is.
“Terus karena najis jadi nggak boleh dipelihara gitu?” tanya Gus Mut.
“Ya iya dong,” kata Mas Is.
“Mas Is, haram sama najis itu jangan disama-samain. Itu kayak kamu makan dari hasil duit curian, makanannya emang nggak najis, tapi haram. Lagian soal najisnya anjing ulama-ulama itu pendapatnya macam-macam,” kata Gus Mut.
Mas Is agak terkejut mendengarnya.
“Lah, bukannya semua ulama sepakat kalau anjing itu najis ya?” tanya Mas Is.
“Siapa bilang. Imam Malik nggak menganggap anjing itu najis lho,” kata Gus Mut.
“Lah kok bisa gitu? Kan najisnya anjing itu udah ada hadisnya, Gus?” tanya Mas Is.
“Coba, mana hadis secara tekstual soal najis anjing?” kata Gus Mut.
“Itu Gus, yang soal bejana yang dijilati anjing itu cara mencucinya sebanyak tujuh kali,” kata Mas Is.
“Itu kamu pikir sudah secara tesktual menandai bahwa anjing itu najis?” tanya balik Gus Mut.
Mas Is terdiam.
“Ya nggak begitu tekstual juga sih itu, Gus,” kata Mas Is kemudian.
“Makanya Mas Is, ada tiga pendapat soal najisnya anjing itu. Golongan Syafi’iah, menilai kalau seluruh bagian dari anjing itu najis. Lalu golongannya Imam Malik tadi yang nggak nganggap seluruh bagian tubuh anjing itu nggak najis. Terakhir, Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi, yang nilai cuma air liurnya doang yang najis, badan anjing sih nggak najis,” terang Gus Mut.
“Lah kok bisa beda-beda gitu? Memang dasarnya Imam Malik apa Gus kok sampai tidak menajiskan anjing?” tanya Mas Is penasaran.
“Gini kalau dasarnya Mazhab Maliki itu. Dalam Al-Quran itu dihalalkan bagi umat muslim memakan dari hewan yang diburu oleh binatang peliharaan. Nah, binatang yang bisa dilatih untuk berburu itu ya kebetulan cuma anjing.”
Mas Is mendengarkan.
“Bahkan, Mas Is. Secara tekstualAl-Quran nyebutnya “mukallibin” di ayat ke-4 Al-Maidah itu, yang dianggap para ulama sebagai permisalan dari anjing. Nah, anjing itu berburunya kan nggigit dan nyakar, kalau gigitan anjing dan cakaran anjing dianggap najis, ya sudah tentu binatang buruannya jadi ikutan najis, nggak bisa dimakan dong? Padahal ayat itu menghalalkannya bagi orang Islam lho. Itu salah satu dasar Mazhab Maliki kenapa anjing nggak najis, Mas Is,” kata Gus Mut.
Mas Is tampak terkejut.
“Oh, ternyata gitu ya? Berarti sebenarnya gitu ya, Gus? Baru tahu saya. Lah lalu kenapa banyak kiai di Indonesia kayak anti sama anjing, Gus?” tanya Mas Is.
“Ya karena kita Syafi’iah. Mazhab Syafi’i kan menajiskan anjing, tapi kudu diingat Mas Is, itu bukan berarti mengharamkan untuk dipelihara. Cuma karena sentimennya udah najis duluan, jadi ya menghindari. Ya wajar lah, kayak kamu tahu minuman keras itu haram, pasti kamu juga merasa nggak nyaman kalau ada di deket-deket botol minuman keras,” kata Gus Mut.
“Mungkin karena kalau dipelihara nanti malaikat nggak masuk rumah kita, Gus? Itu ada hadisnya juga lho, Gus. Barang siapa yang pelihara anjing, malaikat nggak mau masuk,” kata Mas Is.
“Nggak cuma pelihara anjing, Mas Is,” kata Gus Mut.
“Lah, apalagi emangnya Gus?”
“Hadisnya itu malaikat nggak masuk rumah kalau rumahmu ada anjing dan gambar menyerupai makhluk di dalamnya,” kata Gus Mut.
“Nah iya, begitu, Gus. Gimana itu, Gus? Rumahnya Kang Eko jadi nggak bakal didatengin malaikat dong,” Mas Is penasaran.
“Kalau ini, pendapat ulama yang saling bertentangan itu agak lucu-lucu, Mas Is,” kata Gus Mut sambil cekikikan.
“Gimana itu, Gus?”
“Misalnya ini, kalau malaikat nggak mau mendatangi rumah yang ada anjingnya, berarti yang punya rumah nggak bakal bisa mati dong?”
“Kok bisa nggak mati?” tanya Mas Is.
“Ya iya, Malaikat Izrail nggak mau masuk rumah gimana dong?”
“Oh, iya, ya, hahaha,” tawa Mas Is meledak.
“Makanya, ulama menafsirkan kalau yang nggak mau masuk itu cuma malaikat pemberi rahmat, tapi kalau malaikat yang kasih azab atau nyabut nyawa lancar jaya,” kata Gus Mut.
Mas Is semakin cekikikan.
“Tapi ulama lain pun ada yang protes. Nggak ada hamba Allah yang nggak mendapat rahmat Allah di bumi-Nya ini. Memangnya orang yang pelihara anjing itu jadi otomatis jatuh miskin sampai mati kelaparan? Nyatanya kan nggak juga. Nah, itu. Jadi pusing kan kamu?” kata Gus Mut.
Mas Is bingung juga, tapi juga cekikikan.
“Terus akhirnya gimana itu, Gus?”
“Ya akhirnya ulama sepakat kalau kalimat Nabi yang dipakai dalam hadis itu adalah bahasa kinayah aja, tafsirnya bukan tekstual persis kayak gitu. Lagipula orang-orang lebih peduli sama bahas anjingnya doang, tapi nggak bahas gambar makhluknya sama sekali. Padahal hampir semua rumah di Indonesia itu ada foto manusia di dalam rumahnya. Entah foto wisuda, foto nikahan, macam-macam,” kata Gus Mut.
Mas Is jadi garuk-garuk kepalanya yang sebenarnya nggak gatal.
“Mungkin karena kita terbiasa nganggap anjing sebagai hewan najis, makanya punya porsi khusus untuk dihindari, Gus. Padahal anjing itu hewan yang lumayan unggul kalau dijadiin peliharaan bagi orang Islam. Ashabul Kahfi aja goanya dijagain anjing ya kan, Gus? Jadi barangkali anjing itu sebenarnya nggak seburuk itu di mata Islam,” kata Mas Is.
Gus Mut cuma mengangguk lalu tersenyum. Setuju dengan kesimpulan Mas Is.
“Ya karena kita di Indonesia dari kecil udah hidup dengan cara pandang Mazhab Syafi’i, jadi ya secara alam bawah sadar selalu menghindari anjing. Padahal kalau di negara-negara Islam kayak Sudan atau Maroko gitu ya orang Islam sama anjing mah biasa aja,” kata Gus Mut.
“Jadi, kalau Gus Mut udah tahu banyak hal kayak gitu, sampeyan kapan mau memulai pelihara anjingnya?” tanya Mas Is.
Gus Mut terkejut, lalu tertawa.
“Aku pelihara anjingnya nunggu sampai kamu jadi kayak orang Sudan atau Maroko dulu ya?”
Mas Is cuma tersenyum kecut.
*) Diolah dari penjelasan Gus Baha’.