Politbiro dan CC PKI tahu betul, sebagian warga partai mereka adalah muslimin. Tentu saja muslimin papa dan miskin. Atau, dalam bahasa kitab, kau mustadl’afin. Komunis tahu, berlebaran dan Idul Fitri adalah momen kemenangan dan sekaligus persatuan. Waktu-bersama seperti ini, jika didorong ke arah tindakan revolusioner, bisa menentukan hari depan Republik yang baik. Umat mestinya menang banyak.
Tahu posisi Idul Fitri dan Lebaran penting untuk persatuan rakyat/umat, Kiai Haji Achmad Dasuki Siradj dipercaya CC dan Politibiro menyampaikan khotbah Idul Fitri sembari menyerukan kerdjasama dan persatuan seluruh Rakjat Indonesia jang terdiri dari bermatjam-matjam aliran keagamaan dan politik!
Pada pemilu 1955, Kiai Haji Achmad Dasuki Siradj maju sebagai wakil dari Partai Kominis Indonesia untuk memperebutkan kursi parlemen. Ia adalah anggota Sarekat Islam dan PKI di tahun 20-an. Kiai Siradj mengalami interniran Boven Digul dari 1927 hingga 1933. Sekondannya, Hadji Misbach, wafat di Digoel. Namun ia bisa bebas dari maut. Bebas. Dan, tegak kembali.
Dalam Sidang Konstituante, Kiai Siradj bersama Njoto, Sakirman, dan Wikana dari Fraksi PKI bahu-membahu dalam perdebatan keras memperjuangkan kebebasan beragama sebagai bunyi sila pertama Pancasila. Tapi, di ujung perdebatan konstituante itu, PKI, NU, dan PNI satu suara menerima tanpa reserve semua butir sila Pancasila sebagaimana kita baca dalam konstitusi kita sekarang ini.
“Menurut pengalaman saya yang telah 33 tahun di dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) hanya di situ itulah (baca: PKI) tempat mengamalkan hukum Allah dalam arti politik, bukan ditempat lainnya. Apabila Saudara yang terhormat memang dengan sungguh-sungguh hati menjalankan hukum Allah dan beramal dengan ikhlas marilah bersama dengan saya di dalam lingkungan Partai Komunis Indonesia (PKI),” tegas Kiai Siradj dalam Sidang Konstituante yang pada akhirnya deadlock itu.
Nah, berikut ini adalah nukilan dari Khotbah Idul Fitri Kiai Siradj asal Surakarta:
Hari 1 Syawal diperingati dan dirayakan yang dimaksud untuk menyatakan syukur kita kepada Allah SWT. karena pertama: kita telah dapat menyelesaikan tugas puasa selama sebulan dan pada hari itu kita diperkenankan kembali makan, minum, sebagaimana biasa sebelum puasa.
Kedua: Al-Qur’an, kitab yang memuat beberapa petunjuk yang menjadi pedoman pokok bagi ummat Islam diturunkan pada waktu bulan Ramadlan; seperti tersebut didalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 185. “Bulan Ramadlan, dalam bulan mana Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi manusia dan beberapa keterangan dari petunjuk itu dan pemisahan antara yang haq (nyata) dan yang bathil (tidak nyata, bikin-bikinan, tipuan). Maka barangsiapa yang menyaksikan dari antara kamu akan datangnya Ramadlan, puasalah! Dan barangsiapa yang keadaannya sakit atau bepergian, maka puasanya dapat diperhitungkan di hari yang lain. Allah menghendaki yang mudah bagimu dan tidak menghendaki yang sukar. Dan hendaklah kamu menyempurnakan perhitungan puasamu dan nyatakanlah kebesaran Allah (dengan menyerukan Allahu Akbar) sebagaimana Allah telah menunjukkan kepadamu dan supaya kamu bersyukur”.
Dari sini jelaslah apabila hari 1 Syawal itu dirayakan karena untuk melahirkan, menyatakan syukur kehadirat Allah SWT karena kita mendapatkan ni’mat, ni’mat karena kita telah diperkenankan lagi kembali makan minum sebagaimana biasa sebelum puasa. Ni’mat karena kita diberi kitab yang dapat dijadikan pegangan pokok dalam menjalankan tugas agama. Dan karna ni’mat itu maka sudah selayaknya hari itu kita rayakan dan kita peringati.
Dalam memperingati dan merayakan hari 1 Syawal ini orang (menurut peraturan Islam) tidak boleh bersenang-senang sendiri (sekeluarga) tetapi mesti dengan seluruh masyarakat sekitarnya. Pada hari itu jangan ada sekitar masyarakat mereka yang merasakan susah, tetapi sebaliknya, harus turut serta senang dan gembira, dan oleh karena itu bagi setiap Muslim yang mampu, pada malam hari 1 Syawal diwajibkan mengeluarkan zakat Fithrah, setiap jiwa kurang lebih 3 Lt bahan makan, yang harus diberikan kepada mereka yang tidak mempunyai nafkah pada hari itu dan lebih dulu yang berdekatan (tetangganya). Dan dalam memberikan zakat Fithrah ini harus dilihat kebutuhan mereka yang diberinya, artinya apabila mereka yang hendak diberi itu telah mempunyai bahan makan tapi tidak mempunyai bumbu guna melengkapinya, maka orang yang memberikan Fithrah itu dapat dan bahkan harus memberikan Fithrahnya dengan berujud uang yang sepadan dengan harga bahan makan 3 Lt menurut harga umum. Dan untuk memberikan Fithrah ini atau zakat lainnya, harus tidak memandang kepada orang yang hendak diberinya, apakah Islam atau bukan, tetapi hanya memandang pada kehidupan mereka. Apabila mereka itu memang tidak cukup dalam penghidupannya, maka mereka itu wajib diberi dengan tidak usah meminta-minta.
Tersebut di dalam surat Al-Baqarah ayat 272 demikian: “Bukan kewajibanmu untuk menunjukkan hati mereka, melainkan Allah sendiri yang dapat menunjukkannya. Dan barang-barang yang kami sumbangkan untuk kebaikan, maka itu akan manfaat bagi dirimu kembali. Dan kamu tidak akan menyumbangkan sesuatu dengan maksud lain kecuali hanya untuk berbakti kepada Allah. Dan apa saja yang baik yang kamu sumbangkan itu akan mendapatkan nilainya yang setimpal dan tidak tersia-siakan”.
Ayat ini diturunkan untuk menentang mereka, pada zaman Nabi, yang menghendaki pemberian sadaqah supaya hanya diberikan kepada orang Muslim saja, katanya: untuk menarik yang bukan Islam supaya masuk ke dalam Islam. Hal demikian dilarang oleh Allah dan ditegaskan bahwa dalam hal memberikan sesuatu jangan mempunyai harapan lain, melainkan hanya menetapi kebaktian terhadap Allah.
Apabila dalam perayaan hari 1 Syawal itu dimaksudkan untuk menyatakan syukur kehadirat Allah SWT, karena kita menerima ni’mat yang terutama ialah diturunkannya Al-Qur’an, maka yang penting dalam hari itu bukan untuk makan-minum yang berlebih-lebihan dan berpakaian yang mentereng, tetapi kita harus meninjau kepada keadaan gerak-gerik kita, sudahkah langkah-langkah kita itu sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an?
Dan kita harus pula meninjau apa yang sebenarnya dicantumkan dalam Al-Qur’an, sebagaimana telah diserukan Bung Karno dalam menyambut hari Nuzulul Qur’an pada tahun yang lalu, di gedung balai kota Surakarta, di mana beliau menyerukan adanya kehendak untuk mempelajari kembali, apa sebenarnya yang diajarkan oleh Islam (Rethinking of Islam). Saya sangat setuju anjuran Bung Karno ini, karena begitu telah banyaknya kehendak-kehendak jahat yang oleh kaum penjajah dimasukkan dalam pendidikan agama yang memutarbalikkan ajaran Al-Qur’an. Dan kenyataannya, jika Qur’an memerintahkan dalam memberikan zakat atau pemberian apa saja harus tidak pandang agama orang yang hendak diberinya, melainkan hanya menunjukkan kebaktiannya kepada Allah, tetapi dalam praktek yang terjadi pada saat achir-achir ini menunjukkan kebalikan dari perintah itu, yaitu memberikan sesuatu untuk mempengaruhi orang yang diberi ke arah yang menguntungkan fihak yang memberi. Dan karena itu maka sebenarnya pemberian tadi bukan suatu pemberian yang berupa sadaqah atau zakat, melainkan suatu suapan. Sedangkan apa yang dimaksud dalam zakat Fithrah, jika kita tinjau sedalam-dalamnya, maka adalah merupakan solidaritet yang suci dan lagi mulia.
Di dalam hari raya itu kita harus bersama makan dan masyarakat disekitarnya pun makan juga; kita senang mereka pun senang dan kita gembira bersama-sama mereka pula. Dengan demikian maka mudah dimengerti bahwa yang dimaksud utama dari perayaan dan peringatan hari 1 Syawal ini, yalah untuk menanam dan memperdalam benih-benih persatuan di dalam massa luas dan memupuk keutuhan serta pengluasan rasa persaudaraan yang tidak membedakan antara golongan satu dengan golongan yang lain, serta kembali mengingat benar-benar dan meneliti langkah-langkah kita, sesuai atau tidaknya dengan apa yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an.
Demikianlah, bahwa sebenarnya tidak ada alasan mensalahgunakan chutbah-chutbah hari Raya untuk memecah persatuan Rakyat.
Nah, itulah khotbah Idul Fitri kiai karismatik komunis, Kiai Haji Achmad Dasuki Siradj.
Selamat berlebaran, Man-teman, sembari mengingat kembali ucapan Lebaran 1382 H/1963 M dari CC PKI via D.N. Aidit:
“Atas nama Comite Central Partai Komunis Indonesia dan atas nama saja sendiri menjampaikan selamat Lebaran kepada segenap pemeluk agama Islam dan mengharapkan lebih membulatkan tekad untuk memperkuat Front Persatuan Nasional berporoskan Nasakom”.