MOJOK.CO – Mana bisa aktivitas mencuri menjadi halal? Apalagi kalau urusan mencuri mangga sampai dikasih embel-embel sesuai syariat
“Gus, sampean tahu nggak caranya curi mangga secara syariat?” tanya Fanshuri saat leyeh-leyeh usai salat asar berjamaah di masjid.
“Hah? Gimana? Gimana?” Gus Mut agak kaget sekaligus risih mendengar ada kata “curi” dan “syariat” dalam satu kalimat.
“Iya, dijamin ini halal secara syariat deh,” kata Fanshuri.
Gus Mut masih terdiam seribu bahasa.
“Sepanjang yang aku tahu sih yang namanya mencuri ya mencuri aja, Fan. Mau niatnya baik sekalipun ya ia nggak bisa jadi halal,” kata Gus Mut.
“Ada, Gus. Ada caranya,” kata Fanshuri sambil memainkan alisnya seperti menemukan penemuan paling mutakhir abad ini.
“Gimana emang?” tanya Gus Mut.
“Jadi gini, Gus. Jadi kalau kita punya tetangga yang punya pohon mangga, lalu ada dahannya yang mencungul masuk ke halaman kita, ya sudah tho kita curi atau ambil saja itu mangga. Kan secara syariat itu diperbolehkan, karena sudah menjadi hak kita karena buahnya berada di halaman kita,” kata Fanshuri.
Gus Mut tertawa ngakak mendengar penjelasan Fanshuri. Hal yang semakin bikin Gus Mut tertawa adalah, dia tahu mengenai dalil itu tapi tidak kepikiran akan dibawa ke arah sana oleh Fanshuri.
“Boleh juga kamu, Fan,” kata Gus Mut.
Fanshuri membusungkan dada setengah bercanda, “Saya kok,” yang kembali disambut tawa oleh Gus Mut.
“Ta-tapi, kamu harus ingat, Fan. Meski secara syariat diperbolehkan, tapi secara adab belum tentu apa yang kamu lakukan itu pas,” kata Gus Mut.
“Ya bodo amat lah, Gus, mau secara adab gimana, kan yang penting sah secara syariat, secara hukum agama boleh kok. Lah iya kan, Gus?” tanya Fanshuri masih terkekeh karena merasa sukses mengerjai Gus Mut.
Gus Mut tersenyum.
“Nah, pola pikir kayak gitu itu yang bahaya. Bukan berarti kalau dihalalkan oleh syariat kita jadi boleh menihilkan soal adab, Fan. Ingat, adab itu levelnya di atas ilmu. Kamu benar tapi kalau kamu nggak memakai adab dalam mengeksekusi kebenaran, jatuhnya ya sama aja,” kata Gus Mut.
“Sama aja gimana, Gus?” tanya Fanshuri.
“Ya hasilnya nggak baik, meski apa yang kamu lakukan benar secara syariat,” kata Gus Mut.
“Bukannya yang penting kita sudah benar?” kata Fanshuri.
“Tidak cukup kalau cuma benar, Fan, harus dilakukan dengan baik. Minta izinlah dulu ke tetanggamu meski itu hakmu,” kata Gus Mut.
“Lah ngapain? Kalau dia protes kan tinggal saya sodorin aja dalilnya. Paling mingkem dia,” kata Fanshuri.
“Tapi kan hubunganmu sama tetangga jadi nggak baik. Siapa tahu dia nggak tahu kalau dahan pohonnya menjalar ke halamanmu, jadi dia perlu dikasih tahu dulu. Ya pakai jalan kekeluargaan dulu lah, jangan yang langsung pakai embel-embel syariat segala. Lagian kan dianjurkan juga kalau kita harus berbuat baik dengan tetangga, nggak cuma berbuat benar,” kata Gus Mut.
“Ya tapi masak kita yang harus memaklumi, Gus, orang itu salah dia,” kata Fanshuri.
Gus Mut tersenyum.
“Ini soal mindset aja sih, Fan. Kalau yang bicara di depanku ini adalah yang punya pohon mangga, ya aku bakal kasih tahu kalau dahan yang ada buahnya itu harus dikasihkan ke kamu, tapi karena yang di hadapanku adalah yang kena buahnya, ya aku kasih anjuran yang berbeda. Bilang lah dulu, biar hubunganmu sama tetangga baik silaturahminya,” kata Gus Mut.
“Ta-tapi, tanpa aku minta izin pun sebenarnya itu mangga boleh aku ambil kan, Gus?” tanya Fanshuri.
“Iya, memang boleh. Halal. Ada riwayatnya. Cuman dalam menegakkan kebenaran itu pun kita juga jangan lupa adab lingkungan di sekitar syariat itu diterapkan. Kamu pikir Wali Songo dulu nyebarin Islam di Jawa pakai logika yang kayak begitu? Asal sesuai syariat langsung hajar aja? Kan ya nggak gitu, Fan,” kata Gus Mut.
“Iya, iya, Gus, saya tahu itu, cuma bercanda tadi, Gus,” kata Fanshuri cengengesan yang juga membuat Gus Mut tersenyum.
“Cuma kayaknya sih tetangga saya itu nggak bakal keberatan deh kalau saya curi mangganya,” kata Fanshuri.
“Ya belum tentu, kan bukan kamu yang mutusin,” kata Gus Mut.
“Kalau soal ini saya berani jamin, Gus,” kata Fanshuri.
“Kok bisa?” tanya Gus Mut.
“Ya bisa, hawong yang punya pohon mangganya itu sampean kok, Gus,” kata Fanshuri.
Gus Mut hampir tergelak, mulutnya menganga heran, jantungnya seperti mau copot mendengar itu.
“Oh, iya kah? Astaghfirullah,” Gus Mut merasa khilaf luar biasa. Berusaha mengingat-ingat lagi bahwa memang ada satu pohon mangga di halaman belakang rumahnya yang rantingnya sepertinya keluar dari halaman rumah Gus Mut. Kebetulan pula, belakang rumah Gus Mut itu adalah rumahnya Fanshuri.
“Aduuuh, maaf kalau begitu, Fan. Maaf kalau halamanmu jadi kotor gara-gara pohon manggaku,” kata Gus Mut sambil menyalami Fanshuri benar-benar merasa bersalah.
Fanshuri kali ini cengengesan, merasa menang telak.
“Santai aja lah, Gus. Cuma kan yang saya omongin bener kan tadi?” kata Fanshuri.
“Bener? Yang mana ya?” kata Gus Mut bingung.
“Bener, kalau orang yang punya pohon itu pasti nggak bakal keberatan sama sekali kalau mangga-nya saya ‘curi’,” kata Fanshuri.
Gus Mut tertawa, meski dalam hati bercampur rasa bersalah plus rasa mangkel sekaligus.
“Habis aku, Fan, kamu kerjain kok ya sampai dua kali. Kena semua lagi,” kata Gus Mut masih terkekeh geli.
“Gus Mut kosong, Fanshuri duaaaa,” kata Fanshuri sambil memberi kode jari 2-0.
BACA JUGA Bertoleransi dengan Kelompok Pemegang Kunci Surga dan kisah-kisah Gus Mut lainnya.