MOJOK.CO – Sejenak Gus Mut merasa ujub ketika seorang tamu memanggillnya dengan sebutan “Pak Kiai”. Sampai Tuhan langsung menegur sikap ini dengan cara yang asyik.
Datang seorang tamu mendatangi kediaman Gus Mut sore itu. Dari wajah tamu yang baru datang ini Gus Mut menduga, tamunya kali ini dari jauh. Terlihat dari wajah tamunya yang cukup lelah.
“Dari mana ini, Kang?” tanya Gus Mut.
“Dari Jember, Kiai.”
“Wah jauh juga ya,” komentar Gus Mut.
Sebenarnya Gus Mut sedikit risih kupingnya ketika dipanggil “kiai”. Bukan apa-apa, meski sudah punya banyak murid dan dikenal oleh banyak orang sebagai pemuka agama, beberapa orang memang ada saja yang lebih suka memanggilnya dengan sebutan Kiai Mut.
Bukan semata karena ayah Gus Mut, Kiai Kholil masih sehat walafiat, melainkan karena Gus Mut merasa nggak pantas jika sosok sepertinya disebut Kiai. Lagian Kiai Kholil yang rumahnya cuma selemparan kentut dari rumah Gus Mut juga masih aktif mengisi pengajian ke mana-mana.
Kurang pantas saja rasanya kalau ada dua kiai dalam satu keluarga. Apalagi jika hubungan keluarganya masih bapak-anak seperti Gus Mut dan Kiai Kholil. Namun karena kali ini tamu yang menyebut demikian dari jauh dan kelihatan masih lelah, Gus Mut menahan diri untuk menegur.
Maklum, tuan rumah kan harus memuliakan tamu, jadi Gus Mut membiarkan saja. Lagian asyik juga kalau sekali-kali Gus Mut dipanggil Pak Kiai. Begitu pikir Gus Mut.
“Ada acara apa ini kok sampai jauh-jauh ke Jogja, Kang?” tanya Gus Mut.
“Ini Pak Kiai, kami mau mengadakan acara pengajian di Pondok Pesantren kami di Jember. Kebetulan Pak Kiai, pengasuh kami mengutus kami untuk menanyakan, apakah panjenengan berkenan mengisi pengajian di tempat kami?” tanya tamu tersebut.
Hati Gus Mut bungah mendengarnya. Siapa yang tak senang ketika mendengar bahwa ada seorang kiai dari jauh mengenal sosok Gus Mut dan memintanya mengisi pengajian? Namun karena ingin tetap berwibawa, Gus Mut memperlihatkan air muka yang biasa saja. Tetap cool.
“Untuk kapan ya?” tanya Gus Mut.
“Kami ikut Pak Kiai saja bisanya kapan? Tapi kalau bisa sih sekitar bulan Rajab gitu. Biar nggak bentrok sama acara pesantren di bulan-bulan lain,” kata tamu tersebut.
“Sebentar saya lihat jadwal dulu,” kata Gus Mut sambil beranjak masuk ke dalam.
Melihat jadwal kata Gus Mut?
Walah, Gus Mut belum ada jadwal pengajian sampai bulan Rajab ke depan, jadi untuk apa mengecek jadwal? Oh, ternyata ini cuma gaya-gayaan saja biar mendapat kesan bahwa Gus Mut ini orang sibuk. Agar dirinya dikira punya jadwal mengisi pengajian yang lain oleh tamunya.
“Bagaimana kalau tanggal 18 saja? Gimana?” kata Gus Mut keluar.
Si tamu tidak menjawab. Terlihat tanggal itu bukan tanggal yang dikehendaki oleh si tamu.
“Oke deh, sebenarnya kalian mau bikin acara pengajiannya tanggal berapa?” tanya Gus Mut.
“Kalau bisa sih tanggal 20 Rajab. Tapi kalau Pak Kiai bisanya tanggal 18, saya koordinasi dulu sama panitia di Jember,” kata si tamu.
“Ya sudah, tanggal 20 Rajab nggak apa-apa,” kata Gus Mut.
“Serius ini, Pak Kiai?” tanya si tamu bungah.
“Iya nggak apa-apa. Tanggal 20 saja ya?” kata Gus Mut santai.
“Kalau begitu, beberapa hari ini kami akan kirim surat undangan resminya ke alamat Pak Kiai,” kata si tamu.
“Oh, nggak perlu. Saya cuma perlu ditelepon saja dua atau tiga hari sebelum acara untuk diingatkan,” kata Gus Mut.
“Baik, Pak Kiai. Anu, sebelum saya pamit, kalau boleh, untuk kelengkapan bikin pengumuman pengajian. Boleh saya minta dituliskan nama lengkap Pak Kiai? Biar nggak ada ejaan yang salah waktu penulisan nama,” kata si tamu.
“Oh, boleh,” jawab Gus Mut.
“Ini Pak Kiai, silakan tulis di sini,” ujar si tamu memberikan pulpen dan secarik kertas.
Gus Mut pun menuliskan nama lengkapnya di secarik kertas.
“Ini, Kang,” kata Gus Mut sambil memberikan kertas tersebut ke tamunya.
Si tamu sejenak membacanya.
“Oh, kok aneh ya?” kata si tamu tiba-tiba.
“Aneh gimana, Kang?” tanya Gus Mut heran.
“Nama lengkap Pak Kiai ternyata nggak ada kata ‘Kholil’-nya sama sekali ya? Saya kira Pak Kiai Kholil siapa gitu,” kata si tamu menyalami Gus Mut dan langsung pamitan keluar.
Gus Mut mematung kaget mendengar perkataan tamunya tersebut. Baru si tamu mau keluar rumah, mulut Gus Mut tak kuasa untuk bersuara…
“Kang, sebentar, Kang… sini dulu.”
*) Diolah dari kisah yang ditulis Gus Yahya Cholil Staquf.