Ketika Kubu Prabowo Subianto Mendadak Tak Lagi Anti Aseng

prabowo

MOJOK.CO – Prabowo Subianto selama ini dicitrakan sosok anti aseng. Uniknya, saat perayaan Hari Kemerdekaan ke-69 Cina di Kedutaan Besar Cina, beliau hadir dan menganggap RRC itu penting bagi Indonesia.

Lagi-lagi saya dibikin tercengang oleh betapa jitunya filsuf-filsuf Cina memandang dunia. Barangkali boleh dibilang nasihat-nasihat hikmah mereka “ṣālih likulli makān wa zamān”, valid di setiap ruang dan waktu.

Nah, kali ini saya ingin merawikan wejangan Guan Zhong alias Guanzi (720–645 SM), filsuf aliran legalisme (fajia) kelahiran Anhui, provinsi di mana saya jadi pengasong lambe di salah satu universitasnya sekarang.

Oh ya, untuk diketahui, legalisme ialah mazhab filsafat Cina garis kaku nan tak lucu yang—dalam urusan politik dan kekuasaan—menganjurkan seseorang untuk menomorsatukan kekuatan ketimbang moral. Gampangnya, sebelas dua belas sama pemikirannya Niccolò Machiavelli asal Italia. Cocok buat para politikus yang haus kekuasaan.

Baiklah, langsung saja. Katanya, “Guo duo cai, ze yuan zhe lai. … Cang lin shi, ze zhi li jie. Yi shi zu, ze zhi rong ru.”

Petuah tersebut, kalau diterjemahkan secara ugal-ugalan, akan berarti, “Jika negara telah kaya raya, orang yang paling jauh sekalipun akan datang sowan padanya. … Orang akan tahu sopan santun kalau persediaan logistiknya memadai. Orang akan tahu malu jikalau kebutuhan pokoknya sudah tercukupi.”

Saya hakulyakin, tak sulit bagi tuan untuk memahami kalimat-kalimat yang saya comot dari Bab 1 kitab klasik berjudul Guanzi itu. Tapi, supaya lebih gamblang, mungkin ada baiknya untuk menjadikan apa yang baru-baru ini dilakukan dan diutarakan Prabowo Subianto beserta pendukung-pendukungnya terkait hubungan bilateral Indonesia-Cina sebagai amsal.

Sebagaimana kita ketahui bersama dari berita dan meme-meme yang bertebaran di media sosial, Pak Prabowo—beserta pendukungnya—selama ini dicitrakan sebagai orang yang anti terhadap hampir segala hal yang berbau asing dan aseng. Masalahnya, pada Kamis (27/8) malam kemarin Pak Prabowo malah menghadiri perayaan hari kemerdekaan ke-69 Republik Rakyat Cina (RRC) yang digelar Kedutaan Besar RRC di Hotel Shangri-La, Jakarta.

Menariknya, tak segarang biasanya, dalam keterangan tertulisnya, Pak Prabowo malah menegaskan bahwa “Saya memandang Cina sangat penting bagi Indonesia jadi kita harus jalin hubungan baik, kita harus tingkatkan hubungan dalam tingkat yang lebih baik dan saling membantu.”

Sehari sebelumnya, selepas menemui Duta Besar Cina Xiao Qian yang bertandang ke candi Hambalang untuk menyampaikan undangan, Pak Prabowo menulis di halaman resmi Facebook-nya:

“Kita itu harus menjalin hubungan yang baik dengan semua negara, baik di wilayah Asia, ataupun dunia. Saya berharap, hubungan kerja sama Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok akan selalu terjalin dengan baik. Tentunya kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak dan sama-sama mengutamakan kepentingan nasional kedua negara.”

Setali tiga uang, Ahmad Muzani selaku Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga mengemukakan, “Cina kan sangat penting. Dari dulu Cina menjadi faktor penting bagi pembangunan kita. Cina itu sesuatu yang tidak bisa dinafikan.”

Muzani pun mengaku tidak khawatir Pak Prabowo bakal ditinggalkan pendukungnya yang kerap memekikkan anti asing dan aseng sebab “pendukung Pak Prabowo sangat memahami bahwa Cina itu penting.” Tetapi, dia menambahkan pula, “Jangan karena menjadi faktor penting, semuanya mengutamakan China.”

See, bukankah itu wujud nyata ketajiran Cina benar-benar mampu membasmi rasa malu orang-orang yang awalnya begitu liar menentangnya menjadi jinak seketika?

Tentu sah-sah saja pendukung Pak Prabowo menjelaskan dengan pelbagai macam alasan bahwa jagoannya tetaplah seorang nasionalis yang konsisten dengan pernyataan-pernyataannya terdahulu. Dalam artian, beliau bukan tergolong orang yang dipertanyakan begini: Lima taqūlūna mālā taf‘alūn? alias “Mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian kerjakan?”

Partai Gerindra, misalnya, berkicau di akun Twitter-nya, “Kita tidak boleh anti bangsa lain, kita ingin bersahabat dengan semua. Tapi kita tidak mau jadi kacung bangsa lain. Bangsa Indonesia bukan bangsa kacung, budak dan pesuruh, bangsa Indonesia adalah bangsa yang terhormat. Itu yang Pak @prabowo maksud.”

Aktivis Gerakan #2019GantiPresiden Mustofa Nahrawardaya juga berusaha membela dengan mencoba menafsirkan diundangnya junjungannya merupakan bukti nyata bahwa “Prabowo sangat disegani Cina”. Oqe baeqla~

Walakin, bila diperkenankan saya kaji pakai ilmu cocokologi dengan pisau bedah teori konspirasi. Jadi begini, dengan diundangnya Pak Prabowo ke sana sepertinya menandakan Cina sedang mengejawantahkan strategi Sun Tzu yang disebut “menaklukkan orang tanpa berperang” (bu zhan er qu ren zhi bing).

Sementara kedatangan dan pengakuan Pak Prabowo wa ṣahbihi ajma‘īn perihal krusialnya Cina bagi perkembangan ekonomi Indonesia khususnya, adalah bentuk keberhasilan Cina menerapkan strategi yang dielu-elukan Sun Tzu sebagai “strategi paling mujarab” (shan zhi shan zhe ye) itu.

Siapa yang menang banyak? Jelas Cina dan pihak Jokowi yang selalu diolok-olok sebagai antek aseng. Pasalnya, dengan begitu, baik Cina maupun Jokowi sama-sama tak perlu repot-repot lagi “berperang” kata dan data untuk membuktikan kepada oposisi bahwa kerja sama keduanya adalah hal yang bisa diterima sekaligus lumrah belaka.

Sebenarnya, jika kita mengikuti perkembangan relasi Indonesia-Cina dari masa ke masa, hubungan kedua negara di era Jokowi tak terlalu banyak mengalami perubahan dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya.

Kalau yang dipermasalahkan adalah “eksodus” tenaga kerja asal Cina, Indonesia sesungguhnya sudah menjadi tuan rumah buruh Cina sejak zaman Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertahta.

Biro Statistik Nasional Cina mendata, pihaknya mengirim 21.109 pekerja untuk menggarap proyeknya di Indonesia pada 2011. Lantas menukik menjadi 3.523 saja pada 2012. Lalu naik kembali ke 7.985 pada 2013. Kemudian terdongkrak menuju 15.689 pada 2014. Kini, di era Jokowi, angkanya tak terlampau jauh berbeda, bukan?

Jika yang dipersoalkan adalah defisit perdagangan, ketimpangan neraca perniagaan Indonesia terhadap Cina justru dimulai pada 2008, ketika masih eranya musisi SBY.

Makanya, kala tahun lalu saya mendapat suntikan dana hibah dari instansi Pemerintah Cina untuk melakukan penelitian dan menerbitkan hasilnya, di situ saya berkesimpulan bahwa pondasi relasi Indonesia-Cina era Jokowi dibangun oleh SBY. Jokowi hanya bertindak sebagai penerus plus eksekutor dari kerangka kerja sama yang diteken selama 10 tahun SBY berkuasa.

Tuan mestinya masih ingat, cuma berselang enam bulan sesudah dilantik sebagai Presiden Indonesia, SBY pada 25 April 2005 langsung menandatangani kesepakatan Kemitraan Strategis Indonesia-Cina dengan Presiden Hu Jintao. Setahun sebelum lengser, 2 Oktober 2013, SBY bersama Presiden Xi Jinping sepakat meningkatkan hubungan kedua negara menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif.

Karena itu, saat Wakil Ketua MPR Cina Wang Jiarui berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan SBY pada pertengahan September 2014 silam, Wang mengapresiasi hubungan bilateral Indonesia-Cina pada era SBY telah “mencapai tingkat yang terbaik dibanding era-era sebelumnya.” SBY pun berharap Jokowi yang segera dilantik sebagai presiden baru karena “bisa menjalani hubungan yang baik [juga] dengan Tiongkok.”

Benar, Jokowi tidak mengecewakan harapan SBY tersebut. Ajaibnya, tatkala Jokowi bekerja sama dengan Cina sesuai koridor yang dirancang oleh SBY sendiri, SBY dalam pidatonya di Universitas Al Azhar, Jakarta, pada 27 Agustus 2016, malah nyinyir sambil memperingatkan Jokowi agar pembangunan ekonomi Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya “jangan hanya dilakukan oleh Tiongkok, apalagi kalau dikontrol oleh Tiongkok”.

Begitulah, saya mendadak teringat kata Pak Prabowo yang konon bukan pendapat pribadinya, “Orang lain bicara bangsa Indonesia aneh, bicaranya apa, kerjanya apa. Jadi bingung gitu lho, apalagi para pimpinannya, bicara apa kerjanya apa?”

Saya kok jadi merasa kayak ngomong sendiri di depan kaca, ya? Semacam ada bumerang yang tiba-tiba menghantam kepala saya dari belakang, padahal tadi saya lemparnya ke depan lho.

Exit mobile version