MOJOK.CO – Pilkada Serentak 2018 menyisakan beberapa hasil yang mengejutkan. Kemenangan beberapa pasangan calon memang sudah diprediksi jauh-jauh hari, namun perolehan suara beberapa partai politik yang bersaing ketat di berbagai daerah menunjukkan arus politik ke depan akan semakin panas.
Setidaknya ada tiga rumusan dasar dalam menganalisis Pilkada Serentak 2018 dan ketiganya berkelindan dan butuh kehati-hatian untuk melewati belukar tautan itu.
Pertama, tidak ada hubungan langsung antara pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan presiden (pilpres) dengan pemilu legislatif (pileg). Kedua, karena pada tahun 2019 pileg dilakukan serentak dengan pilpres, maka ada kemungkinan variabel partai politik makin tertaut dengan pilpres, keduanya saling berhubungan. Ketiga, Pilkada Serentak 2018 yang baru saja usai merupakan pemanasan mesin partai yang paling optimal sebelum digunakan pada pacuan duo turbo, yakni pileg dan pilpres.
Hal di atas menjelaskan kenapa hampir semua parpol berebut menjadi calon wakil presiden (cawapres) dari kemungkinan calon presiden (capres) yang ada. Sebab dengan munculnya salah satu tokoh representasi dari partai, maka hal itu akan berpotensi mendulang suara partai. Prinsipnya sederhana, pilpres kalah tak mengapa asal suara di legislatif meningkat pesat.
Maka tak heran, jika diandaikan ada tiga kubu (Jokowi, Prabowo, SBY), soal cawapres jadi polemik dan akrobat aneka manuver. Di kubu yang mendukung Jokowi saja, hampir semua partai ingin menempatkan cawapres, demikian juga di kubu Prabowo. Sementara SBY sepertinya agak berbeda karena targetnya hanya sampai pada upaya memasukkan AHY sebagai cawapres.
Hasil Pilkada Serentak 2018 kali ini, jelas sejenak mengubah banyak hal. PDIP keok di Pilgub Jatim dan Jabar, tapi menang di Jateng. Lagi pula Jateng memang kandang banteng, jadi kemenangan Ganjar Pranowo jelas bukan sesuatu yang istimewa. Hanya saja jarak persentase kemenangan PDIP dengan lawannya lumayan mengejutkan. Sebab pasangan calon yang didukung PDIP hanya meraih kurang dari 60 persen suara. Dengan begitu, secara umum di Pulau Jawa suara PDIP rontok: Kalah di DKI Jakarta, Banten, Jatim, dan Jabar. Hanya menang di Jateng dengan kemenangan yang tidak mutlak.
Di sisi lain, suara untuk PKB ikut-ikutan tergerus dibandingkan PPP. Kedua partai yang akhir-akhir ini sering mengindikasikan terjadinya rivalitas untuk dilirik Jokowi menunjukkan hasil yang jomplang. PPP menang di Jatim karena mendukung Khofifah Indar Parawansa yang menang setelah tiga kali mencalonkan diri sebagai Gubernur Jatim, di Jateng juga sukses menempatkan salah satu kadernya sebagai cawagub atas nama Taj Yasin, dan di Jabar menang pula dengan menempatkan kadernya sebagai cawagub atas Uu Ruzhanul Ulum.
Hasil ini menandakan Muhammad Romahurmuziy (Gus Romy) punya amunisi menaikkan daya tawarnya guna bersaing dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) supaya dilirik Jokowi sebagai cawapres Pilpres 2019. Setidaknya Gus Romy tidak perlu malu-malu kucing seperti kemarin agar bisa digandeng jadi cawapres sekarang.
Dari sisi “oposisi” nasib Gerindra dan PKS malah cukup terpuruk di Jawa. Dari ketiga provinsi yang punya hajatan pilgub, kedua partai ini kalah.
Dengan melihat semua itu, maka bisa kita baca seperti ini:
Bagi Jokowi, PDIP sudah bukan lagi faktor paling dominan. Setidaknya ada tiga partai yang jelas kekuatannya, yakni: Nasdem, PPP, dan Golkar. Tentu ini menjadi persoalan tersendiri bagi PDIP. Dengan dijaga ketat oleh ketiga partai koalisi tersebut, kekuatan PDIP tak akan mudah lagi melakukan intervensi politik. Kalau Jokowi terpilih lagi pada tahun 2019, dia akan lebih mudah memainkan taktik menyeimbangkan kekuatan. Tidak adanya partai yang dominan akan membuat Jokowi lebih punya kekuatan dan kelincahan dalam manuver politik.
Sementara Gerindra dan PKS akan lebih berhati-hati dan punya beban yang lebih berat. Upaya merangkul partai lain harus lebih gencar. Masalahnya, PKS di keseluruhan Pilkada Serentak 2018 memperoleh suara 40 persen lebih. Partai ini pun cuma kalah di Pulau Jawa. Sementara Gerindra hanya 20 persen lebih. Artinya posisi PKS bagi Gerindra akan punya posisi makin tinggi.
Apalagi sejak awal dua partai ini sudah melakukan manuver saat berencana memajukan Anies Baswedan dan Ahmad Heryawan (Aher) sebagai pasangan capres dan cawapres 2019. Artinya, Anies sejak awal memang sudah “dikapling” oleh PKS. Berangkat dari hasil pemilihan gubenur pada 2018, ruang gerak PKS kali ini jauh lebih longgar dibanding Gerindra. Bukan tidak mungkin, PKS akan meninggalkan Gerindra dan bergabung dengan Demokrat dan PAN. Sementara PKB bisa saja akhirnya malah justru merapat ke Gerindra, dua partai yang sama-sama terseok-seok pada Pilgub 2018 ini.
Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan kelima parpol tersebut (PKS, Demokrat, PAN, PKB, dan Gerindra) malah bekerja sama untuk mencoba mengalahkan Jokowi. Persoalannya kemudian akan sulit menjembatani kepentingan siapa yang bakal lebih didahulukan untuk jadi capres dan cawapres jika koalisi ini terjalin. Di kubu Jokowi persoalannya lebih sederhana karena tinggal menentukan cawapres, walau persaingannya juga alot.
Jadi untuk beberapa waktu ke depan, saya yakin akan makin banyak manuver politik yang mungkin terjadi di luar dugaan kita. Sebab hasil dari Pilkada Serentak 2018 menciptakan kondisi politik yang sangat cair dan membuatnya semakin sulit diprediksi.
Bahkan dengan hasil pilkada kali ini, bukan tidak mungkin kalau akhirnya Prabowo memilih merapat ke Jokowi sebagai sebuah pilihan yang lebih masuk akal. Sebab daripada nantinya malah dipakai mainan kanan kiri oleh beberapa parpol yang menguat, posisi tawar Gerindra bisa jadi justru semakin lemah, bermain aman dengan menggandeng partai penguasa jauh lebih memberi kepastian.
Situasi ini menunjukkan bahwa akhir dari Pilkada Serentak 2018 justru merupakan awal dari tahun politik yang kian panas sampai beberapa tahun ke depan.