Ketika Sedih Saja Tidak Cukup

es teh es kopi reshuffle kabinet gibran rakabuming adian napitupulu erick thohir keluar dari pekerjaan utusan corona orang baik orang jahat pangan rencana pilpres 2024 kabinet kenangan sedih pelatihan prakerja bosan kebosanan belanja rindu jalan kaliurang keluar rumah mudik pekerjaan jokowi pandemi virus corona nomor satu media kompetisi Komentar Kepala Suku mojok puthut ea membaca kepribadian mojok.co kepala suku bapak kerupuk geopolitik filsafat telor investasi sukses meringankan stres

MOJOK.COIni adalah hari-hari yang menyedihkan dalam sesi pandemi corona. Selain korban masih terus berjatuhan, corona mengoyak hampir semua sektor bisnis.

“Tapi sedih saja tak cukup, Mas…,” ujar teman saya lewat percakapan jarak jauh, “bisnis memburuk, nasib karyawan belum jelas….”

Sudah dua minggu ini, saya intensif berkomunikasi dengan banyak rekan yang punya bisnis. Dari mereka yang punya karyawan hanya tiga, sampai yang punya karyawan lebih dari 200 orang. Saya juga berkomunikasi dengan beberapa pimpinan, dari mulai lembaga nirlaba sampai level direktur yang membawahkan anak buah ribuan orang. Semua dalam situasi yang membingungkan. “Seandainya sedih saja cukup untuk membayar apa yang terjadi, tentu saya memilih bersedih. Tapi itu tidak cukup. Perusahaan saya hanya bisa membayar karyawan sampai bulan Mei,” kata salah satu kawan saya, pemilik sebuah rumah penerbitan. Ketika saya tanya lebih lanjut bagaimana skenario selanjutnya, dia menjawab singkat, “Nggak ngerti….”

Nyaris tidak ada kawan saya yang bisnis mereka tak kena imbas dari pandemi corona. Yang lebih mengkhawatirkan lagi, ini baru mula dari sebuah krisis ekonomi. Belum sampai masuk ke palung terdalamnya. Susah bagi saya membayangkan bagaimana jika menginjak di bulan Juni nanti, yang konon bagi para ekonom, masa masuk ke palung terdalam dari pandemi ini secara ekonomi.

Bagi perusahaan besar, opsinya sebagaimana yang kita baca di berbagai media adalah merumahkan karyawan atau memotong gaji. Potongannya variatif, dari mulai 10% sampai 50%, tergantung level kepangkatannya. Makin tinggi, potongannya makin besar. Tapi yang sulit adalah usaha kecil dan menengah. Rata-rata hanya punya cadangan gaji sampai bulan Mei, itu pun bagi yang masih berjalan. Banyak juga yang sudah gulung tikar. Tutup. Sudah. Selesai begitu saja. Karena tidak ada jalan keluar. Dan sialnya, yang mengalami itu banyak sekali.

Beberapa rumah penerbitan buku yang agak besar, masih mencoba bertahan dengan cara mengobral buku sebanyak mungkin. Mereka sudah tidak lagi memikirkan laba. “Yang penting punya uang untuk membayar pekerja,” kata salah satu saya yang punya 17 karyawan. Waktu saya tanya sampai kapan bisa bertahan dengan model seperti itu, dia tidak bisa menjawab dengan pasti. “Diusahakan tidak ada PHK. Tapi kalau daya beli buku menurun terus seperti ini, ya mau gimana lagi…,” katanya, tak bisa meneruskan keterangannya.

Ini adalah masa-masa paling sulit bagi para pemilik bisnis dan pimpinan. Semua pasti ingin agar bisnis mereka bisa selamat. Tidak untung tak mengapa. Bahkan rugi pun tak mengapa, asal kerugiannya masih bisa ditanggung dan masuk akal. “Siapa sih yang ingin memecat karyawan? Hanya pengusaha bodoh yang menginginkan hal itu terjadi.” Demikian kata salah seorang kawan saya yang menjabat sebagai direktur dengan ribuan karyawan. Kalau sampai memecat karyawan, pasti karena bisnisnya buruk, kalau tidak ya ngapain mecat karyawan. Begitu tambahnya. Dia sedang mendesain bagaimana perusahaannya tetap bisa bertahan. “Tapi semua pemimpin tahu, ini semua bakal mengarah ke mana. Jadi kalau bikin skenario sudah tidak bisa lagi ‘yang terbaik’ dan ‘yang terburuk’, tapi skenario ‘yang terbaik dari yang terburuk’, dan ‘yang terburuk’. Semua harus dipersiapkan. Bagi orang seperti saya, sedih itu kemewahan. Sekalipun pimpinan, saya kan tetap karyawan. Tidak ada waktu untuk bersedih. Semua menunggu keputusan saya dan para pimpinan.”

Lembaga LSM dan nirlaba juga tidak bisa menghindar dari malapetaka ini. Menurut teman-teman saya yang bekerja di bidang tersebut, nasib mereka tidak jelas. Kontrak dengan lembaga donor juga tidak jelas, karena pandemi ini memang masuk dalam kategori force majeure. Terlebih, semua negara terpukul dengan pandemi ini sehingga masing-masing lembaga donor konsentrasi di negara mereka sendiri.

Saya lalu membayangkan bagaimana dengan para pedagang kaki lima yang banyak tutup di sepanjang Jalan Kaliurang, Yogya. Walaupun saya tahu persis ini tidak hanya terjadi di Yogya. Kata teman saya yang berasal dari Lamongan, sudah ada ribuan para pebisnis kuliner pinggir jalan yang pulang kampung ke Lamongan. Demikian juga dengan warteg. Mereka juga punya karyawan, tiba-tiba bisnis mandek. Jlek. Tidak pakai permisi. Banyak orang tiba-tiba tidak berbelanja. Omzet turun drastis. Tidak mungkin melanjutkan usaha. Mereka pasti menghadapi situasi yang tidak kalah peliknya. Benar, kata teman saya, sedih saja sudah tidak cukup. Sedih bahkan bisa jadi sebuah kemewahan. Berlarut dalam sedih, tidak juga menemukan jalan keluar. Sedih membuang waktu mereka. Karena urusan perut tampak nyata di depan mereka. Dan itu harus diselesaikan. Tak bisa ditunda.

Ini semua seperti lampu yang mendadak dipadamkan. Jangankan menyalakan lilin seperti ajakan para staf khusus milenial itu, untuk bisa berdiri dan berjalan saja sudah bagus. Itu pun dengan risiko menabrak barang-barang, hingga pecah berantakan.

BACA JUGA Risiko Sikap Terburu-buru dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.

Exit mobile version