Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai Kepala Suku

Ketika Kota Makin Kaya, Desa Makin Miskin

Puthut EA oleh Puthut EA
23 Juni 2018
A A
KEPALA SUKU-MOJOK

KEPALA SUKU-MOJOK

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ketika kota semakin kaya, desa makin miskin. Jangan pernah memandang desa dengan mata kota Anda. Jangan pulang ke desa hanya ketika renta dan kalah.

Sudah lama, desa menyubsidi kota. Sumber daya desa diperas untuk orang-orang kota.

Banyak anak-anak desa yang disekolahkan ke kota. Para orang tua menyekolahkan anak dengan hasil pertanian. Begitu selesai disekolahkan, mereka memilih bekerja di kota.

Saat menikah, orang tua yang tinggal di desa tetap harus menyubsidi, ikut membiayai pernikahan. Ada beragam cara, dari mulai menjual sapi sampai memotong pohon jati. Sebagian lagi kalau perlu berutang dengan cara menggadaikan sawah dan kebun.

Itu belum cukup. Saat anak-anak desa yang tinggal di kota butuh rumah, sering pula merecoki orang tua. Bagi yang merasa punya hak waris, bagian dari harta warisan berupa sawah atau kebun dijual untuk membayar persekot rumah di kota. Hanya cicilannya yang mereka tanggung.

Ketika orang tua mereka tak punya lagi aset yang cukup untuk menyokong hidup di kota, kadang masih dibebani dengan diminta datang ke kota untuk ngemong cucu sementara mereka sibuk bekerja, membayar cicilan rumah, mobil, tagihan kartu kredit, dan lain-lain.

Pelajaran sosial dalam relasi desa-kota ini terjadi saat krisis menerjang Indonesia. Pada 1998, karena krisis moneter, banyak orang kota yang tak punya pekerjaan. Sebagian dari mereka memilih mudik. Menitipkan badan untuk “dipelihara” oleh kampung halaman. Sebagian lagi tetap tinggal di kota tapi disubsidi dengan berbagai cara oleh desa. Dari mulai dikirimi beras sampai uang.

Sedangkan orang-orang kota itu, mereka menatap desa dengan perasaan nostalgia belaka. Kalau sedang stres, liburan di desa. Tapi tatapannya adalah tatapan orang kota. Desa dianggap jumud. Gitu-gitu saja. Tidak maju-maju. Konsep maju yang dimaksud tentu saja maju ala orang kota.

Ketika kemudian menua, mereka tetap ingin tinggal di kota. Hanya saja, daya dukung sudah tidak sekuat dulu lagi. Uang pensiun tak seberapa. Aset hanya secukupnya. Sementara biaya hidup di kota makin mahal. Tidak mudah pula menurunkan gaya hidup saat masih bekerja. Satu per satu aset dijual untuk membiayai hidup. Mobil yang awalnya dua, dijual satu per satu. Rumah yang awalnya dua, dijual satu per satu. Begitu habis semua, pulang ke desa.

Tua. Tak lagi berdaya. Pulang ke kampung halaman dengan kondisi semua aset yang dimiliki orang tua sudah tandas. Habis. Kehidupan yang tinggal sisa-sisa. Kota makin kaya. Desa makin miskin.

Tapi kita harus tetap punya harapan. Setidaknya kita harus membereskan cara pandang atas relasi desa-kota. Ketika panen cengkeh, tembakau, kakao, pala, kopi, ikan, dan komoditas lain, maka pahami itu semua sebagai instrumen untuk “mengembalikan” uang dari desa yang diserap ke kota.

Jangan mudah teriak kalau harga beras tinggi, harga cabai tinggi, asal pemerintah tidak mudah mengeluarkan kebijakan impor, anggap itu saatnya siklus orang kota menyubsidi balik orang desa.

Jangan mudah melarang-larang rokok. Ada satu juta hektar lebih lahan petani cengkeh di seluruh Indonesia. Ada hampir 10 juta petani tembakau punya uang tahunan saat panen tembakau. Jangan bilang bahwa komoditas mereka mudah dialihkan. Kalian ini siapa?

Kalian mau tebangi pohon-pohon cengkeh yang berusia puluhan tahun itu? Yang sudah menyubsidi jutaan anak Indonesia untuk sekolah dan menjadi kelas menengah. Begitu menjadi kelas menengah, tiba-tiba jadi Malin Kundang atas kehidupan orang tua dan desa mereka.

Iklan

Petani-petani tembakau itu, tak usah diajari lagi. Jika ada komoditas yang lebih mahal dan legal, pasti mereka beralih dengan sendirinya. Tidak perlu kalian ajari dengan bahasa yang klise: bisa dialihkan. Sementara kamu tak pernah pegang tanah dan cangkul.

Jangan haramkan mudik Lebaran. Karena itu juga siklus untuk membawa sementara uang kota ke desa. Jutaan orang yang mudik itu bukan hanya menjalankan ritus agama tapi juga perilaku ekonomi yang sehat.

Tapi ya jangan kebangetan. Pulang bawa uang satu juta, balik ke kota, bawa ayam lima, kelapa, pisang, sampai mobil penuh.

Tapi tidak apa-apa. Kasih orang tua kepada anak sepanjang jalan. Kasih desa kepada kota sepanjang zaman.

Hanya saja, mari terus tanamkan di kepala kita, harus diperbanyak cara agar hubungan desa-kota menjadi lebih sehat. Setiap ingin melakukan tindakan ekonomi-politik, pikirkan dampaknya pada relasi itu. Jangan terlalu timpang. Jangan kota terlalu kaya dengan cara memeras.

Sebetulnya, kita punya harapan bahwa ketimpangan ini mulai diperhatikan juga oleh pemerintah. Ada Nawacita. Membangun dari pinggiran. Ada dana desa yang terus dialirkan. Itu hal yang sangat baik.

Hanya saja, perlu kembali dipastikan, jangan sampai uang itu kembali ditarik paksa ke kota. Orang-orang kota yang memenangi tender pembangunan infrastruktur. Pendamping-pendamping desa punya cakrawala berpikir yang luas. Jiwa relawan yang jembar. Jangan hanya menatap dengan cara kota.

Sudah saatnya kita menyeimbangkan dan menyehatkan relasi antara desa-kota. Jangan hanya pulang kampung saat sudah tak berdaya dan renta. Sebab ibarat negara ini sebuah kendaraan, bahan bakar dan pelumasnya adalah sumber daya desa.

O ya, terus kalau berwisata ke desa, jangan lupa bahwa di alam yang sedang Anda nikmati itu ada manusianya. Manusia desa. Jangan pernah berpikir menikmati pasir bersih, ombak berbuih, laut biru, dengan ilusi ingin menyingkirkan manusia dari mata kota Anda. Menatap sawah yang hijau, pegunungan yang sejuk, kopi yang lezat, tanpa pernah berpikir berapa harga yang pantas untuk menikmati itu semua.

Jangan pernah merasa bangga membeli murah produk apa pun dari desa.

Terakhir diperbarui pada 23 Juni 2018 oleh

Tags: bertanicengkehcicilanDesadesa makin miskinkelas menengaskemiskinankotamilenialnawacitapetani tembakau
Puthut EA

Puthut EA

Kepala Suku Mojok. Anak kesayangan Tuhan.

Artikel Terkait

Ilustrasi Toko Sepatu Bata - MOJOK.CO
Aktual

Selamat Tinggal Sepatu Bata, Terima Kasih Sudah bikin “Milenial Jelata” Seperti Kami Bisa Merasakan Punya Barang Mewah di Sekolah

10 Oktober 2025
Tembakau Hidupi 6 Juta Orang tapi Mau Dibunuh? Bajingan Sekali! MOJOK.CO
Esai

Industri Hasil Tembakau Menghidupi 6 Juta Petani dan Rakyat Kecil tapi Kamu Mau Membunuh Sumur Rezeki Ini? Kamu Jahat Sekali

2 Oktober 2025
Raya, bocah asal Sukabumi yang meninggal karena cacing gelang. Sempat ditolong rumah teduh. MOJOK.CO
Catatan

Pesan Raya dari Surga: Jangan Pernah Hilang Empati terhadap “Orang Miskin” karena Pemerintah Mengabaikanmu

23 Agustus 2025
Upaya Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, entaskan kemiskinan di Jateng MOJOK.CO
Kilas

Target Gubernur: Tak Ada Warga Jawa Tengah yang Terbelenggu Kemiskinan Bertahun-tahun

24 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.