MOJOK.CO – Ini adalah hari-hari terberat Presiden Jokowi. Ketepatannya dalam menjawab berbagai persoalan di negeri ini akan menentukan, kepemimpinannya pada periode kedua nanti bakal mendorong kemaslahatan warga negara Indonesia atau sebaliknya.
Hal pertama tentu saja persoalan Papua. Saya tidak akan memaparkan wacana soal apakah Papua mesti referendum atau tidak. Sudah banyak ahli soal itu. Saya mau memperlihatkan mengapa keputusan mematikan jaringan internet di Papua justru mendulang gelombang protes berlipat ganda.
Mungkin tidak banyak yang melihat bahwa internet di Papua bukan sekadar soal orang berbagi informasi, tapi juga untuk memperlancar beragam keperluan lain. Warga Papua yang tidak punya urusan langsung dengan demonstrasi mengalami situasi kalang kabut. Para pebisnis, karyawan baik swasta maupun negeri, sampai para pekerja sosial dan wartawan mengalami kesulitan. Belum lagi sentimen dianaktirikan yang menjadi naik sekian setrip.
Mematikan jaringan internet di Papua dalam kurun yang nisbi panjang membuktikan, cara mengambil keputusan bersifat instan tanpa mempertimbangkan risiko yang lebih besar sama saja dengan menimbun masalah. Internet mesti dipandang sebagai simbol pemberian hak atas akses informasi. Kalau akses itu ditutup, berarti sedang ada yang diperlakukan dengan tidak beres di sana.
Persoalan yang lain adalah revisi UU KPK.
Masyarakat terbelah dua. Lebih tepatnya, pendukung Presiden Jokowi terbelah menjadi dua.
Tentu ini bukan soal apakah revisi itu tepat atau tidak. Masalahnya sebetulnya lebih simpel: Kenapa tergesa-gesa? Kenapa seakan harus dikebut sehingga sekian mekanisme sosial dan politik dilewati begitu saja?
Telah terjadi banyak diskusi publik soal ini, tampaknya hampir semua tak ada persoalan dengan revisi terhadap aturan perundangan untuk KPK. Persoalannya, sekali lagi, kenapa terburu-buru? Apa yang hendak diburu? Apa yang ingin dikejar?
KPK bagaimanapun adalah salah satu benteng penting harapan masyarakat. KPK memang tidak sempurna dan mungkin perlu dibenahi. Tapi dengan cara. Sekali lagi, menyangkut cara. Manakala cara yang diambil tidak sesuai prosedur, sebagaimana yang telah kita saksikan bersama, wajar jika sebagian masyarakat melawannya. Benteng penting harapan itu mesti dipertahankan ketika sedang digoyang dengan cara instan.
Ada hal yang menyedihkan dari itu semua. Secara teoretis, setiap pemerintahan membutuhkan dukungan otoritas pengetahuan dan keilmuan. Tapi yang terjadi sekarang, para dosen, rektor, dan intelektual publik jelas-jelas berada di pihak KPK (sekali lagi, dalam konteks KPK silakan dibenahi, tapi jangan buru-buru seperti dikejar hantu). Sementara itu, di pihak pemerintah nyaris tak ada dukungan otoritas keilmuan. Bagaimana bisa kebijakan negara didukung oleh kapasitas intelektual ala Denny Siregar? Itu jelas degradasi besar-besaran atas performa pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi.
Kita juga sedang menghadapi persoalan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang masif dan membikin ngeri. Dalam hal ini, saya kira pemerintah tidak bersalah. Ini bencana besar. Pemerintah, sejauh yang bisa dilihat, memberikan upaya terbaik untuk mengatasinya. Pertaruhannya bukan hanya lingkungan yang hancur, melainkan juga kesehatan jutaan warga, terutama anak-anak, para penerus dan pewaris sah negeri ini.
Yang menjadi persoalan adalah ketika problem karhutla ramai dibicarakan, para “buzzer Istana” (saya menggunakan istilah yang lazim saja) justru mengambil sisi polemik dengan cara menggelikan. Misalnya, dengan mengatakan kebakaran hutan sudah ada sejak zaman Majapahit.
Itu bukan soal benar atau salah. Persoalannya adalah informasi itu bukan hanya tidak relevan, tapi justru meninggalkan pertanyaan: Sebegitu sucikah pemerintah saat ini sehingga harus membentengi diri dengan ketololan dan kebebalan?
Mestinya, dari sisi informasi publik, pemerintah cukup menyatakan dua hal. Pertama, pemerintah berada di garda depan untuk mengatasi karhutla dan akan terus bekerja keras. Kedua, mengajak semua komponen masyarakat bahu-membahu mengatasinya. Tidak perlu bawa-bawa Majapahit, sebab Pak Jokowi bukan Raden Wijaya.
Sinyal bahwa perekonomian perekonomian ke depan semakin memburuk mulai muncul di berbagai sisi. Menteri Sri Mulyani paling sering memberikan sinyal itu. Sepertinya kita semua sedang memasuki siklus sepuluh tahunan penurunan ekonomi atau, yang agak lebih ngeri, siklus dua puluh tahunan krisis ekonomi. Konon kapitalisme lekat dengan siklus krisis.
Tapi, lagi-lagi tindakan penerintah terlalu gegabah. Salah satunya dengan menaikkan cukai rokok yang menggila dan sepanjang yang bisa diingat, belum pernah terjadi sebelumnya. Cukai rokok naik 23% dan harga jual eceran sebesar 35%.
Dalam situasi buruk, memang paling mudah memerah para perokok lewat cukai. Tapi pemerintah tidak bakal menyangka kemungkinan lain yang bakal terjadi. Pasti akan ada penurunan konsumsi rokok (bukan penurunan perokok). Perokok akan tetap merokok dengan cara melinting tembakau sendiri atau membeli produk-produk gelap. Produk gelap rokok ini tidak mesti skala besar. Cukup dua atau tiga orang bikin rokok sendiri, diedarkan secara terbatas. Tapi jumlahnya banyak. Artinya, perokok tetap merokok, tapi tak merokok produk yang ada cukainya. Ini jamak terjadi di Indonesia.
Persoalan lain adalah serapan tembakau dan cengkeh pasti menurun drastis. Selama ini tembakau berkualitas yang diproduksi petani tembakau diserap oleh pabrikan. Hasil kajian Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) misalnya, serapan tembakau bisa berkurang lebih dari 30 persen dan serapan cengkeh bisa lebih dari 40 persen.
Kalau itu yang terjadi, kenaikan cukai yang tampaknya akan membuat pemerintah dapat uang banyak sesungguhnya adalah kebijakan itu makin mempersulit situasi ekonomi kita.
Ini adalah saat terberat Presiden Jokowi. Sialnya, dia tidak mengatasi dengan cara yang tepat. Sebentar lagi dia mesti mengumumkan nama-nama menteri di kabinetnya. Tensi politik tambah panas.
Ini juga saat-saat berat bagi masyarakat. Ancaman krisis ekonomi ada di depan mata kita. Ada banyak pengalaman bahwa di setiap kondisi kekecewaan publik yang kuat, ditambah dengan persoalan ekonomi, akan berbuah jadi persoalan politik besar.
Saya tidak berharap Presiden Jokowi jatuh. Tidak ada gunanya menjatuhkan presiden. Kekhawatiran terbesar saya, juga kekhawatiran banyak orang, negeri ini bakal mundur dalam banyak hal, mulai dari persoalan ekonomi, ekologi, dan terutama menipisnya harapan. Harapan apa saja. Termasuk menipisnya harapan kepada pemerintah yang dipimpin oleh Paduka yang Mulia Presiden Jokowi.
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Buzzer Jokowi atau artikel di rubrik KEPALA SUKU lainnya.