[MOJOK.CO] “Jabatan mungkin berakhir, tapi sosok Jendral Gatot Nurmantyo akan terus dibicarakan.”
Jendral Gatot sudah purnatugas sebagai Panglima TNI. Selama menjalani tugas itu, namanya masuk dalam percaturan politik sebagai salah satu kandidat Capres maupun Cawapres. Tentu menarik melihat bagaimana hal ini akan berlanjut, sebab dia sudah memberikan isyarat politik yang cukup jelas.
Dalam percaturan politik nasional, jabatan publik itu perlu. Dan jika seseorang tidak lagi memiliki jabatan publik, maka dia harus pintar mengelola performa dirinya.
Kita tentu ingat bagaimana nama Mahfud MD mencorong saat menjabat sebagai ketua Mahkamah Konsitusi. Saat itu, namanya langsung naik sebagai bakal kandidat pemimpin negeri ini. Berbagai survei menunjukkan, dia hanya dikalahkan oleh Prabowo. Tapi kita juga sama-sama menyaksikan. Begitu Mahfud tidak bersedia lagi meneruskan jabatannya untuk kali kedua, dia kurang piawai menjaga performa politiknya. Walhasil, namanya pelan tapi pasti, melorot. Terlebih ketika nama Jokowi mulai muncul.
Jendral Gatot tentu cukup memahami hal seperti ini. Mengerti bahwa kita hidup di era serbacepat, dan tentu saja cekak ingatan.
Salah satu contoh yang bagus dalam hal ini adalah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Namanya langsung melejit ke publik begitu bertarung pada Pilgub DKI. Ketika kalah, dia langsung memimpin sebuah lembaga yang baru tapi cukup mentereng: The Yudhoyono Institute. Dengan jabatan barunya itu, dia berkeliling Indonesia untuk makin menebarkan jala popularitasnya. Nama AHY tetap dalam jangkauan radar publik.
Dengan demikian Jendral Gatot pastilah punya rencana besar. Sorot lampu media pasti bakal jauh berkurang. Dan apa yang sudah diinvestikan saat dia menjadi Panglima TNI, bisa terus melorot jika tidak dikelola dengan baik.
Jendral Gatot jelas berbeda dengan AHY. Bagaimanapun, AHY adalah putra mahkota dinasti SBY yang memiliki mesin cukup kuat yakni Partai Demokrat. Jika Jendral Gatot hanya membuat ormas atau lembaga sejenisnya, akan sulit baginya untuk tetap menjaga popularitasnya, dan daya tawar politiknya bakal melemah.
Satu-satunya yang paling mungkin dan masuk akal adalah dia masuk ke partai politik secepatnya begitu masa pensiun tiba. Pertanyaannya, parpol mana yang paling pas bagi Sang Jendral?
Yang jelas, dia seyogianya sesegera mungkin memilih partai yang cukup kuat tapi belum punya jagoan yang pas dalam laga Pilpres tahun 2019, entah sebagai Capres atau Cawapres.
Partai pertama yang mungkin bisa didekati adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini sudah teruji memiliki jaringan yang kuat, melewati tantangan yang berat, dan punya basis konstituen yang jelas. Salah satu kekurangan PKS adalah belum memiliki figur yang kuat secara nasional, yang bisa bersimbiosis mutualisme ketika Pilpres dan Pileg akan digelar serentak pada tahun 2019. Dengan bergabungnya jendral Gatot ke PKS, keduanya sama-sama beruntung.
Selain PKS, Nasdem juga partai yang patut dipertimbangkan Jendral Gatot. Memang di sana ada tokoh kuat: Surya Paloh. Hanya saja, Surya sudah menyatakan tidak mungkin berlaga di Pilpres 2019, sehingga Nasdem membutuhkan figur tingkat nasional yang sangat kuat. Terlebih, Nasdem beberapa kali mengeluarkan pernyataan siap untuk menampung Sang Jendral.
Kemudian Jendral Gatot juga punya pilihan lain yaitu PPP. Partai ini memang masih dalam konflik internal yang belum tuntas sepenuhnya. Dan sama dengan PKS, PPP punya basis konstituen yang loyal, namun belum memiliki calon yang kuat dalam laga Pilpres. Kekosongan figur di partai ini, bisa diisi oleh Jendral Gatot.
Satu lagi partai yang bisa menjadi tempat berlabuh Sang Jendral adalah Hanura. Memang Jendral purnawirawan Wiranto telah melimpahkan jabatan ketua umum Hanura kepada Oesman Sapta Oedang (OSO), tapi tentu saja OSO belumlah cukup punya nama untuk bertarung di level Pilpres. Jendral Gatot dan Hanura bisa saling memanfaatkan dan bersinergi.
Selain keempat partai itu, sulit rasanya Jendral Gatot diterima. Sebab masing-masing sudah punya calon sendiri, atau para kader di partai-partai tersebut tidak mudah untuk legawa jika tiba-tiba Sang Jendral duduk di kursi paling penting. Golkar jelas punya sistem kader yang jelas, para elitnya terbiasa bertarung, sehingga sulit memberi kesempatan kepada Jendral Gatot. Demokrat sudah punya AHY. Gerindra jelas punya Prabowo. PDIP punya Jokowi, PKB punya Cak Imin, dan PAN punya Zulkifli Hasan.
Apapun itu, Jendral Gatot perlu segera membuat langkah cepat. Sebelum pamor politiknya meredup, lalu partai-partai ogah menerimanya.
Mari kita saksikan langkah Sang Jendral di panggung politik nasional. Jika memang dia tertarik, sih.