MOJOK.CO – Saya dan Gogon, dari Lampung, ingin keliling Indonesia naik Honda Beat. Bagi saya, perjalanan penuh kebodohan ini berakhir di Jogja.
“Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”
Lirik di atas berasal dari lagu “Paman Doblang” milik Kantata Takwa. Dan, lirik di atas adalah yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perjalanan keliling Indonesia naik Honda Beat ini.
Lirik tersebut menyihir otak 2 anak muda tolol yang masih berapi-api akan dunia dan segala isinya. Begitulah, pada pertengahan 2018, saya dan teman saya bernama Gogon membicarakan tentang rencana menuju Pulau Jawa dari Lampung, dan kelak saya “terdampar” di Jogja.
Perjalanan ini memang tidak selalu terjadi di atas motor. Namun, Honda Beat itu yang mengubah sebagian alurnya. Dan perlu saya beritahu di awal, bahwa Jogja bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah cepat-cepat pergi dari rumah selepas wisuda.
Dua anak tolol merencanakan perjalanan yang terdengar dramatis
Lagu “Paman Doblang” sedang diputar dari playlist Spotify saya saat Gogon membuka obrolan. “Bebas lah, pokoknya jalan ke desa-desa yang seru naik kendaraan umum, berhenti kalau lihat tempat menarik di perjalanan,” ujarnya polos.
Maksud “desa seru” di sini adalah yang punya bentang alam memanjakan mata dan berbeda dari suasana kota tempat kami tinggal. Sebuah perencanaan yang jauh dari kata “matang”. Terdengar dramatis, tapi ya goblok juga. Awal dari segala petualangan yang bagi saya berakhir di Jogja.
Ketika Gogok pidato, saya sendiri sedang menyimak bait-bait karya WS Rendra di lagu itu: “Keberanian menjadi cakrawala.”
Oke, tanpa menimbang bagaimana caranya mampu bertahan nanti, saya memutuskan berangkat. Berani saja dulu. Kami sepakat melakukannya setelah lulus kuliah karena jadwal wisuda kami yang hanya terpaut 3 bulan.
Gogon yang wisuda lebih cepat memutuskan pergi duluan naik bus ke Bogor. Di sana, dia mukim di rumah pamannya yang kosong. Dua bulan menggunakan moda transportasi umum membuat Gogon meralat rencana perjalanannya. Dia menyuruh saya untuk membawa motor Honda Beat miliknya dari Lampung ke Bogor.
“Angkot di sini ribet, banyak jenisnya dan sulit banget bedain trayeknya. Setelah dihitung-hitung juga, ongkosnya jadi lebih bengkak. Ini masih di Bogor, lho, belum daerah yang lebih dalem lagi. Makin sulit mengaksesnya.”
Pembicaran via voice call WhatsApp sekitar Juni 2019 itu saya akhiri dengan kalimat: “Oke, Aman.”
Awal petualangan, awal dari rentetan kebodohan di atas Honda Beat
Kalau bukan karena orang tua yang ingin melihat anaknya memakai toga, saya akan melewatkan rangkaian acara formalitas itu dan segera pergi ke Bogor. Cuma bermodal selembar ijazah tanpa sempat mengurus transkrip nilai, 3 hari setelah wisuda, saya meninggalkan Palembang.
Saya mengumpulkan tenaga dan persiapan lain selama 1 minggu di Lampung. Termasuk rencana perjalanan di Pulau Jawa. Semua saya rencanakan di dalam kepala meski kelak berakhir juga di Jogja. Setelah itu, saya mantap memulai hal yang selama ini orang-orang sebut sebagai “petualangan”.
Saya memulainya dengan berangkat kesiangan. Perjalanan dari rumah saya menuju Pelabuhan Bakauheni itu 3 jam. Menyeberang ke Pelabuhan Merak, 1 jam.
Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB saat saya turun dari kapal. Rute menuju Bogor yang terlihat di Google Maps membawa saya dan Honda Beat milik Gogon lewat Kota Serang, ke arah Rangkasbitung. Setelah itu, saya masuk ke wilayah Kecamatan Maja di Kabupaten Lebak.
Jalurnya sepi tanpa penerangan dan berupa jalan beton yang baru jadi. Kanan-kirinya seperti rawa-rawa dan lahan gambut, terlihat agak rawan. Pedagang bensin eceran mengonfirmasi kecemasan saya.
“Lepas Magrib emang cukup bahaya, Mas.”
Dia menerangkan sambil menuangkan Pertalite menggunakan corong. Bangun siang lalu memilih jalur alternatif (yang sudah pasti sepi) adalah ketololan membahayakan nyawa.
Setelah melalui jalur yang banyak turunan dan tanjakan, melintasi perkebunan di daerah Jasinga, sampailah saya di Bogor dengan selamat. Baru saya mematikan Honda Beat yang mesinnya menderu itu, Gogon membanjiri saya dengan ketololan lain. Dia baru saja kena tipu saat hendak membeli carrier via Instagram. Kami sudah mengurusnya ke kepolisian. Tapi, yah, tentu kalian bisa menebak bagaimana akhirnya.
Niatnya petualangan, malah jadi survival
Ingat, kami berdua adalah anak yang baru wisuda dan hanya berbekal sedikit uang tabungan serta pemberian orang tua. Terjebak dalam kondisi uang menipis, saya mengusulkan cari kerjaan sampingan. Kebetulan, sebelum wisuda, saya mendapat tawaran kerja dari Ridwan, teman SMP yang sudah lama bekerja di satu perusahaan AMDAL di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan.
Kami setuju dan paginya segera berangkat ke Jakarta Selatan. Lantaran belum mengenal jalanan, rasanya jadi cukup sulit mengemudikan Honda Beat di jalanan Parung yang ramai. Hasilnya, saya menabrak bumper mobil Brio putih berplat Cikampek.
Sial, pengendara mobil adalah seorang ibu-ibu yang meminta ganti rugi. Sudah pasti kami tidak bisa membayar saat itu juga. Sial 2 kali, ijazah S1 yang masih segar itu menjadi jaminan. Dia meminta ganti rugi sebesar Rp1,2 juta. Niat kami mencari bekal perjalanan malah dihantui oleh harga bumper mobil yang remuk.
Sesampainya di kantor Ridwan, kami langsung mengikuti serangkaian tes kerja. Hasilnya, saya lulus dan Gogon tidak, tanpa kami paham betul alasannya.
Pekerjaannya adalah menjadi petugas sampling tanah, air, udara, hingga biota sebagai media untuk diteliti di laboratorium. Saya bisa ikut kerja 3 sampai 4 hari dalam seminggu dan mendapat bayaran per hari sebesar Rp100 ribu sampai Rp200 ribu tergantung lokasi dan berat pekerjaannya.
Saya pernah mencicipi hampir semua media untuk sampel. Seperti masuk ke septic tank di satu hotel di Karawang untuk mengambil sampel tanah, tidur di parkiran mall di PIK untuk mengambil sampel udara, hingga menimba sampel pasir dan karang di Kepulauan seribu.
Terakhir adalah yang paling berkesan karena dilakukan di atas kapal yang mengambang di laut dengan kedalaman 20 meter, membuat badan saya serasa melayang selama 2 hari. Kalau sedang tidak ada pekerjaan, saya pulang ke Bogor naik KRL. Untungnya ada stasiun kecil dekat dengan rumah Bogor di kecamatan Tanah Sareal itu.
Baca halaman selanjutnya: Haru dan seru di atas Honda Beat.