Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Pengalaman Keliling Indonesia Naik Honda Beat: Catatan Kebodohan yang Berakhir di Jogja

Razi Andika oleh Razi Andika
4 April 2024
A A
Keliling Indonesia Naik Honda Beat tapi Sayang Berakhir di Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi Keliling Indonesia Naik Honda Beat tapi Sayang Berakhir di Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Saya dan Gogon, dari Lampung, ingin keliling Indonesia naik Honda Beat. Bagi saya, perjalanan penuh kebodohan ini berakhir di Jogja.

“Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.”

Lirik di atas berasal dari lagu “Paman Doblang” milik Kantata Takwa. Dan, lirik di atas adalah yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perjalanan keliling Indonesia naik Honda Beat ini. 

Lirik tersebut menyihir otak 2 anak muda tolol yang masih berapi-api akan dunia dan segala isinya. Begitulah, pada pertengahan 2018, saya dan teman saya bernama Gogon membicarakan tentang rencana menuju Pulau Jawa dari Lampung, dan kelak saya “terdampar” di Jogja.  

Perjalanan ini memang tidak selalu terjadi di atas motor. Namun, Honda Beat itu yang mengubah sebagian alurnya. Dan perlu saya beritahu di awal, bahwa Jogja bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah cepat-cepat pergi dari rumah selepas wisuda.

Dua anak tolol merencanakan perjalanan yang terdengar dramatis 

Lagu “Paman Doblang” sedang diputar dari playlist Spotify saya saat Gogon membuka obrolan. “Bebas lah, pokoknya jalan ke desa-desa yang seru naik kendaraan umum, berhenti kalau lihat tempat menarik di perjalanan,” ujarnya polos. 

Maksud “desa seru” di sini adalah yang punya bentang alam memanjakan mata dan berbeda dari suasana kota tempat kami tinggal. Sebuah perencanaan yang jauh dari kata “matang”. Terdengar dramatis, tapi ya goblok juga. Awal dari segala petualangan yang bagi saya berakhir di Jogja.

Ketika Gogok pidato, saya sendiri sedang menyimak bait-bait karya WS Rendra di lagu itu: “Keberanian menjadi cakrawala.” 

Oke, tanpa menimbang bagaimana caranya mampu bertahan nanti, saya memutuskan berangkat. Berani saja dulu. Kami sepakat melakukannya setelah lulus kuliah karena jadwal wisuda kami yang hanya terpaut 3 bulan. 

Gogon yang wisuda lebih cepat memutuskan pergi duluan naik bus ke Bogor. Di sana, dia mukim di rumah pamannya yang kosong. Dua bulan menggunakan moda transportasi umum membuat Gogon meralat rencana perjalanannya. Dia menyuruh saya untuk membawa motor Honda Beat miliknya dari Lampung ke Bogor.

“Angkot di sini ribet, banyak jenisnya dan sulit banget bedain trayeknya. Setelah dihitung-hitung juga, ongkosnya jadi lebih bengkak. Ini masih di Bogor, lho, belum daerah yang lebih dalem lagi. Makin sulit mengaksesnya.” 

Pembicaran via voice call WhatsApp sekitar Juni 2019 itu saya akhiri dengan kalimat: “Oke, Aman.”

Awal petualangan, awal dari rentetan kebodohan di atas Honda Beat

Kalau bukan karena orang tua yang ingin melihat anaknya memakai toga, saya akan melewatkan rangkaian acara formalitas itu dan segera pergi ke Bogor. Cuma bermodal selembar ijazah tanpa sempat mengurus transkrip nilai, 3 hari setelah wisuda, saya meninggalkan Palembang. 

Saya mengumpulkan tenaga dan persiapan lain selama 1 minggu di Lampung. Termasuk rencana perjalanan di Pulau Jawa. Semua saya rencanakan di dalam kepala meski kelak berakhir juga di Jogja. Setelah itu, saya mantap memulai hal yang selama ini orang-orang sebut sebagai “petualangan”.

Iklan

Saya memulainya dengan berangkat kesiangan. Perjalanan dari rumah saya menuju Pelabuhan Bakauheni itu 3 jam. Menyeberang ke Pelabuhan Merak, 1 jam. 

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB saat saya turun dari kapal. Rute menuju Bogor yang terlihat di Google Maps membawa saya dan Honda Beat milik Gogon lewat Kota Serang, ke arah Rangkasbitung. Setelah itu, saya masuk ke wilayah Kecamatan Maja di Kabupaten Lebak. 

Jalurnya sepi tanpa penerangan dan berupa jalan beton yang baru jadi. Kanan-kirinya seperti rawa-rawa dan lahan gambut, terlihat agak rawan. Pedagang bensin eceran mengonfirmasi kecemasan saya.

“Lepas Magrib emang cukup bahaya, Mas.” 

Dia menerangkan sambil menuangkan Pertalite menggunakan corong. Bangun siang lalu memilih jalur alternatif (yang sudah pasti sepi) adalah ketololan membahayakan nyawa. 

Setelah melalui jalur yang banyak turunan dan tanjakan, melintasi perkebunan di daerah Jasinga, sampailah saya di Bogor dengan selamat. Baru saya mematikan Honda Beat yang mesinnya menderu itu, Gogon membanjiri saya dengan ketololan lain. Dia baru saja kena tipu saat hendak membeli carrier via Instagram. Kami sudah mengurusnya ke kepolisian. Tapi, yah, tentu kalian bisa menebak bagaimana akhirnya.

Niatnya petualangan, malah jadi survival 

Ingat, kami berdua adalah anak yang baru wisuda dan hanya berbekal sedikit uang tabungan serta pemberian orang tua. Terjebak dalam kondisi uang menipis, saya mengusulkan cari kerjaan sampingan. Kebetulan, sebelum wisuda, saya mendapat tawaran kerja dari Ridwan, teman SMP yang sudah lama bekerja di satu perusahaan AMDAL di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. 

Kami setuju dan paginya segera berangkat ke Jakarta Selatan. Lantaran belum mengenal jalanan, rasanya jadi cukup sulit mengemudikan Honda Beat di jalanan Parung yang ramai. Hasilnya, saya menabrak bumper mobil Brio putih berplat Cikampek. 

Sial, pengendara mobil adalah seorang ibu-ibu yang meminta ganti rugi. Sudah pasti kami tidak bisa membayar saat itu juga. Sial 2 kali, ijazah S1 yang masih segar itu menjadi jaminan. Dia meminta ganti rugi sebesar Rp1,2 juta. Niat kami mencari bekal perjalanan malah dihantui oleh harga bumper mobil yang remuk. 

Sesampainya di kantor Ridwan, kami langsung mengikuti serangkaian tes kerja. Hasilnya, saya lulus dan Gogon tidak, tanpa kami paham betul alasannya. 

Pekerjaannya adalah menjadi petugas sampling tanah, air, udara, hingga biota sebagai media untuk diteliti di laboratorium. Saya bisa ikut kerja 3 sampai 4 hari dalam seminggu dan mendapat bayaran per hari sebesar Rp100 ribu sampai Rp200 ribu tergantung lokasi dan berat pekerjaannya. 

Saya pernah mencicipi hampir semua media untuk sampel. Seperti masuk ke septic tank di satu hotel di Karawang untuk mengambil sampel tanah, tidur di parkiran mall di PIK untuk mengambil sampel udara, hingga menimba sampel pasir dan karang di Kepulauan seribu. 

Terakhir adalah yang paling berkesan karena dilakukan di atas kapal yang mengambang di laut dengan kedalaman 20 meter, membuat badan saya serasa melayang selama 2 hari. Kalau sedang tidak ada pekerjaan, saya pulang ke Bogor naik KRL. Untungnya ada stasiun kecil dekat dengan rumah Bogor di kecamatan Tanah Sareal itu.

Baca halaman selanjutnya: Haru dan seru di atas Honda Beat.

Halaman 1 dari 2
12Next

Terakhir diperbarui pada 4 April 2024 oleh

Tags: BandungcirebonhondaHonda BeatjakartaJogjakeliling indonesiaLampungtasikmalaya
Razi Andika

Razi Andika

Sering masuk angin.

Artikel Terkait

Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO
Ragam

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Gagal dan tertipu kerja di Jakarta Barat, malah hidup bahagia saat pulang ke desa meski ijazah S1 tak laku dan uang tak seberapa MOJOK.CO
Ragam

Dipecat hingga Tertipu Kerja di Jakarta Barat, Dicap Gagal saat Pulang ke Desa tapi Malah bikin Ortu Bahagia

19 Desember 2025
Keturunan Keraton Yogyakarta Iri, Pengin Jadi Jelata Jogja Saja! MOJOK.CO
Esai

Keresahan Pemuda Berdarah Biru Keturunan Keraton Yogyakarta yang Dituduh Bisa Terbang, Malah Pengin Jadi Rakyat Jelata Jogja pada Umumnya

18 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO
Ragam

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Balada Berburu Si Elang Jawa, Predator Udara Terganas dan Terlangka

19 Desember 2025
Drama sepasang pekerja kabupaten (menikah sesama karyawan Indomaret): jarang ketemu karena beda shift, tak sempat bikin momongan MOJOK.CO

Menikah dengan Sesama Karyawan Indomaret: Tak Seperti Berumah Tangga Gara-gara Beda Shift Kerja, Ketemunya di Jalan Bukan di Ranjang

17 Desember 2025
Berantas topeng monyet. MOJOK.CO

Nasib Monyet Ekor Panjang yang Terancam Punah tapi Tak Ada Payung Hukum yang Melindunginya

15 Desember 2025
Sirilus Siko (24). Jadi kurir JNE di Surabaya, dapat beasiswa kuliah kampus swasta, dan mengejar mimpi menjadi pemain sepak bola amputasi MOJOK.CO

Hanya Punya 1 Kaki, Jadi Kurir JNE untuk Hidup Mandiri hingga Bisa Kuliah dan Jadi Atlet Berprestasi

16 Desember 2025
Elang Jawa terbang bebas di Gunung Gede Pangrango, tapi masih berada dalam ancaman MOJOK.CO

Elang Jawa Terbang Bebas di Gunung Gede Pangrango, Tapi Masih Berada dalam Ancaman

13 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.