Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kegagalan demi Kegagalan Gus Dur

Hairus Salim oleh Hairus Salim
21 Desember 2017
A A
gus-dur-mojok.co

gus-dur-mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Mengenang sewindu wafatnya Gus Dur.”

Jika kita menelusuri riwayat hidup Gus Dur, akan terlihat bahwa ia adalah sosok manusia yang boleh dikata “sering gagal”. Kok bisa? Ya, memang begitulah kenyataannya.

Kita bisa mulai dari yang sangat umum diketahui: Gus Dur tak pernah berhasil menyelesaikan pendidikan S-1.

Tahun 1962 Gus Dur pergi ke Mesir untuk kuliah di Universitas Al-Azhar atas beasiswa dari pemerintah yang merupakan kelanjutan kerja sama negara-negara yang ikut dalam Konferensi Asia-Afrika. Di Kairo ini ia lebih banyak baca buku, nonton film, dan keluyuran. Ia bosan kuliah karena pelajarannya, menurutnya, banyak mengulang yang sudah ia dapatkan di pesantren di tanah air.

Apa pun alasannya, Gus Dur gagal menyelesaikan kuliah di Al-Azhar. Hanya dua tahun di kota ini, ia kemudian hengkang ke Irak dan mengambil kuliah lagi di Universitas Baghdad. Jadi, dia mau nyoba jadi sarjana lagi nih, tapi lagi-lagi gagal dan hanya sanggup bertahan dua tahun di bangku kuliah.

Dua kali kuliah dan dua-duanya gagal diselesaikan. Untuk yang kedua ini, alasannya Gus Dur, ia tidak suka sistem hafalan. Apa pun alasannya, Gus Dur gagal. Anda yang bisa selesai S-1, lebih-lebih di Kairo atau Baghdad, tentu pada tingkatan ini lebih hebat dari seorang Gus Dur.

Setelah kegagalan ini, ia mencoba peruntungannya kuliah ke Belanda. Ia sangat tertarik dengan tradisi ilmiah di universitas-universitas di Barat. Ia pun mendaftarkan diri ke Universitas Leiden. Setelah beberapa bulan menunggu dan mukim di kota ini, ia kemudian menerima kenyataan pahit: tidak diterima. Alasannya, kuliah-kuliahnya di Mesir dan Irak tidak diakui kesetaraannya. Gus Dur pulang dengan perasaan sedih.

Nah, Anda yang bisa kuliah di Eropa, apalagi di Leiden, layak berbangga karena dalam hal ini Anda jauh di atas Gus Dur.

Ia pulang ke tanah air dan kembali ke Tebuireng, Jombang. Sambil mengajar di pesantren, konon ia berjualan kacang goreng hasil olahan sang istri untuk menunjang ekonomi keluarga. Ia kemudian mencoba peruntungan baru: melamar jadi dosen di IAIN Sunan Ampel. Hasilnya: tidak diterima. Duh Gus! Kurang apa pinternya, plus anak mantan menteri agama dan cucu pendiri NU lagi. Saya terus terang nggak bisa membayangkan perasaan Gus Dur saat itu.

Anda yang jadi dosen, lebih-lebih di IAIN Sunan Ampel, dalam hal ini jelas lebih hebat dari Gus Dur. Kipas-kipaslah!

Suatu kali ketika sedang aktif-aktifnya mengkritik pemerintahan Orde Baru, Gus Dur ditanya wartawan: sebenarnya apa sih cita-cita dan obsesinya? Gus Dur menjawab ringkas dan enteng: menulis novel. Kita tahu, Gus Dur tak pernah berhasil mewujudkan impiannya ini. Anda, yang telah berhasil menulis novel, tentu jauh lebih keren daripada Gus Dur.

Demikianlah. Gus Dur ternyata cukup sering gagal dalam perjalanan hidupnya. Mungkin ada banyak kegagalan lainnya. Tapi, hidup harus bergulir dan kegagalan itu bagian dari rute dan halte yang harus dilewati untuk perjalanan yang lebih besar lagi. Andai dulu ia bisa menyelesaikan kuliahnya di Mesir atau Irak, para santri Tebuireng dan orang-orang sekitar Jombang akan mengenal seorang Gus Dur dengan gelar “Lc” yang amat mentereng saat itu, yang mengabdi di pondok hingga menjadi pimpinan pondok sembari sesekali main politik tingkat daerah. Mungkin. Tapi, dengan itu, mungkin juga takkan ada Gus Dur yang kita kenal.

Demikian juga kalau dulu dia diterima di Universitas Leiden, lingkungan akademis Indonesia mungkin akan mengenal seorang ilmuwan sosial bergelar M.A. atau bahkan Ph.D. yang mengajar di sebuah perguruan tinggi ternama sembari jadi konsultan pembangunan di sana-sini. Mungkin ia akan jadi guru besar yang masyhur. Setidaknya yang mengenal dan mengingatnya adalah para mahasiswa dan bimbingannya.

Gus Dur juga tidak diterima ketika mendaftar jadi dosen, jika tidak, kampus IAIN Sunan Ampel tentu akan mencatat nama Abdurrahman Ad-dakhil sebagai dosen PNS yang rajin meneliti, menulis, dan berpikir keras siang malam agar risetnya dimuat di jurnal internasional tak peduli hanya dibaca empat lima orang. Jika nasib baik, mungkin ia akan jadi kepala jurusan, dekan, bahkan rektor. Tetapi, tentu saja dengan begitu kita juga tak akan mengenal Gus Dur yang humoris dan nyentrik.

Iklan

Sebelum pergi ke Mesir, konon Gus Dur sebenarnya ingin mendirikan Ikhwanul Muslimin cabang Indonesia. Untungnya ia keburu berangkat ke Mesir dan melihat langsung bagaimana sebenarnya Ikhwanul Muslimin di tanah asalnya. Cita-cita ini pun melempem. Meleleh seperti plastik yang terbakar. Bayangkan kalau berhasil, “pangeran Tebuireng dan Nahdlatul Ulama” bikin cabang Ikhwanul Muslimin, akan seperti apa wajah Islam Indonesia?

Jadi novelis? Ini kayaknya keren. Mungkin kita akan melihat seorang novelis setara Pramoedya Ananta Toer atau Ahmad Tohari. Novelis hebat yang memperoleh award dari Yayasan Buku Utama, Dewan Kesenian Jakarta, atau bahkan Magsaysay. Beberapa skripsi, tesis, dan disertasi ditulis untuk membahas karya-karyanya. Kata-kata di dalam karyanya dikasih stabilo dan dikutip untuk dijadikan status di media sosial.

Ya, itu tentu kalau novelnya memang bagus dan berhasil. Jika tidak, setelah terbit seribu eksemplar dengan penjualan yang tertatih-tatih, penerbit letih memasarkan, novel dan Gus Dur sebagai nama penulisnya pun menguap ditelan waktu, hilang terlupakan. Hanya segelintir pengamat dan dosen sastra yang mengingatnya.

Tapi, kegagalan-kegagalan ini tampaknya memang terowongan yang harus dilewati oleh seorang Gus Dur.

Pada tahun 1993, setahun setelah pemilu 1992, kami di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) bekerja sama dengan penerbit Mizan (Mas Hernowo, apa kabar?) membuat seminar berjudul “Demokratisasi di Negara-Negara (Berpenduduk) Muslim” di Gedung Wanitatama, Yogyakarta. Rencananya, hasil seminar akan kami terbitkan. Gus Dur yang kala itu makin keras menjadi pengritik pemerintah dan memimpin Forum Demokrasi (FD) turut menjadi pembicara.

Pada sessi tanya jawab, Abdul Halim, aktivis yang juga sering berdemonstrasi, yang penampilannya seperti pejuang Taliban (para aktivis ’90-an pasti ingat nama ini karena ia sering orasi kala ada mimbar bebas. Mas Halim, di mana sampean sekarang?) angkat tangan untuk bertanya dan kasih komentar. Penggemar seminar saat itu sangat suka dengan model orang seperti Halim ini karena pertanyaannya selalu keras dan tajam.

Demikian juga kali ini. Halim menyerang dan menuduhnya menjadi pengkritik pemerintah hanya karena kecewa tidak diangkat menjadi menteri. Nyelekit banget kan!

Gus Dur tentu saja gusar, tapi tetap tenang. Ketika giliran tiba, dengan suara bariton dan retorikanya yang memukau, ia menjawab, dengan kata-kata yang bagian intinya saya parafrasekan dari ingatan berbunyi: “Catat ya, menteri itu kecil, saya pemilu kemarin justru diminta Pak Harto jadi wakilnya. Saya menolak, mengapa? Karena saya ingin jadi presiden….”

Para hadirin pun bergemuruh, bertepuk tangan dan bersorak-sorai. Mungkin pernyataan Gus Dur itu dianggap bercanda karena itu terasa menghibur sekali. Mungkin pernyataan ini juga dianggap lancang dan berani, dalam iklim yang represif ia terasa seperti oase. Waktu itu Pak Harto masih kuat meski secara politik, dukungan tentara kepadanya merosot dan karena itu ia sedang membangun aliansi politik dengan sayap muslim ICMI.

Namun, saya yang waktu itu duduk di depan selalu ingat bahwa kata-kata itu diucapkan Gus Dur dengan serius, dengan tekanan yang penuh dan kuat. Saya yakin itu bukan guyonan dan retorika belaka.

Gus Dur memang ingin jadi presiden. Dan niat itu ia kemukakan secara terbuka di depan publik. Dan tidak seperti cita-cita di masa sebelumnya, kali ini ia berhasil.

Enam tahun kemudian ia benar-benar jadi presiden tanpa modal uang sepeser pun. Masa pemerintahannya yang singkat meninggalkan pengaruh politik yang amat kuat, di antaranya: pencabutan dwifungsi ABRI dan pendirian Kementerian Kelautan.

Barangkali itulah hikmah dari kegagalan demi kegagalannya.

Terakhir diperbarui pada 21 Desember 2017 oleh

Tags: abdurrahman wahidGus DurhaulObituari
Hairus Salim

Hairus Salim

Research Consultant, Writer, Trainer at Yayasan LKiS

Artikel Terkait

Maulid Nabi dan Haul di Ponpes MALNU Pusat Menes: Momentum Umat Meneladani Keteguhan Nabi Muhammad dan Para Ulama.MOJOK.CO
Sosial

Maulid Nabi dan Haul di Ponpes MALNU Pusat Menes: Momentum Umat Meneladani Keteguhan Nabi Muhammad dan Para Ulama

21 September 2024
Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU MOJOK.CO
Esai

Soal Tanah dan Benih Pengetahuan di Tubuh NU: Masih Relevankah Isu-isu Moderasi Beragama?

7 Agustus 2024
Gus Dur di Balik Operasi Jahat Petrus dan Teror Gerhana Matahari Total
Video

Gus Dur di Balik Operasi Jahat Petrus dan Teror Gerhana Matahari Total

1 Agustus 2024
Sowan Gus Yusuf: Tanpa Ada Kekuatan Politik, Maka Kebenaran Akan Menjadi Sia-Sia
Video

Sowan Gus Yusuf: Tanpa Ada Kekuatan Politik, Maka Kebenaran Akan Menjadi Sia-Sia

28 Maret 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.