Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Kecerdasan Buatan Bisa Nggak Cerdas Lagi kalau Gantikan PNS dan Hadapi Birokrasi Fotokopi

Apakah kecerdasan buatan itu bisa menjadi solusi gantikan PNS? Sebenarnya bisa-bisa saja. Tapi....

Alexander Arie oleh Alexander Arie
2 Desember 2021
0
A A
Kecerdasan Buatan Bisa Nggak Cerdas Lagi kalau Gantikan PNS dan Hadapi Birokrasi Fotokopi MOJOK.CO

Kecerdasan Buatan Bisa Nggak Cerdas Lagi kalau Gantikan PNS dan Hadapi Birokrasi Fotokopi MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Kecerdasan Buatan (AI), konon katanya, akan menggantikan PNS. Menghadapi ribetnya birokrasi fotokopi, bisa jadi kecerdasan buatan bakal menyerah.

Diskursus teknologi Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan (AI) sebagai (((pengganti))) Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejatinya isu yang sangat legit untuk didiskusikan. Rasanya hampir seluruh warga Indonesia pernah mengalami kepedihan saat mencicipi pelayanan publik di negeri ini. Mulai dari level yang dapat diatasi dengan nyengir sendiri sampai tataran yang harus diviralkan biar beres.

Pemerintah Indonesia sendiri sudah memangkas “eselonisasi” pada level III dan IV. Sekarang, jabatan-jabatan seperti Kepala Bidang atau Kepala Seksi sudah nyaris tidak ada dalam struktur birokrasi negeri ini.

Pemangkasan “eselonisasi” untuk kemudian menuju “fungsionalisasi” adalah ide yang menarik untuk memperlincah birokrasi. Walau demikian, “fungsionalisasi” ini, misalnya ketika digantikan kecerdasan buatan, bukannya tidak memakan korban.

Mari ibaratkan tingkatan PNS seperti level di Mobile Legends. CPNS itu anggap saja Warrior. Begitu lulus diklat fungsional, mereka akan masuk level fungsional Pertama atau setara Elite. Sesudah push angka kredit terus-menerus melalui tugas-tugas, mereka bisa naik jadi level fungsional Muda atau setara Master. Tahap berikutnya, ada yang disebut fungsional Madya atau ya bisa disetarakan dengan Epic dan Legend. Pamungkasnya, ada posisi tertinggi yang jarang bisa dicapai oleh orang-orang biasa. Namanya fungsional Utama atau anggaplah seperti Mythic.

Korban yang saya maksud adalah sejumlah pejabat struktural level eselon IV yang tidak sepenuhnya dapat dikonversi menjadi pejabat fungsional pada level yang kira-kira setara. Sederhananya, ada beberapa pejabat eselon IV levelnya sebenarnya sudah Epic. Akan tetapi, karena mereka eselon IV, lantas terpaksa dikonversi menjadi level Master atau kurang lebih menjadi selevel dengan orang-orang yang masuk PNS empat sampai lima tahun setelah mereka.

Kalau yang jadi “korban” digantikan kecerdasan buatan adalah PNS yang tidak bagus, kita mungkin bisa bilang, “syukurin!”. Hanya, biasanya, eselon IV berisi orang-orang yang terbaik di sekitar situ dan sejatinya sedang dikader menjadi pemimpin.

Ketika kemudian menjadi pejabat fungsional dengan gelar Master tapi dari golongannya sebenarnya sudah Epic, ada potensi mereka akan berada di pangkat dan jabatan yang itu terus sampai lama sekali. Pada titik ini, kita harus mewaspadai adanya demotivasi karena suramnya gambaran pola karier di masa depan sementara pekerjaan terus-menerus ada.

Di sisi lain, sebagai orang yang baru jadi Magister Ilmu Administrasi dengan tesis cuma habis 120 ribu rupiah, saya cukup sepakat dia hal. Pertama, kecerdasan buatan memang menjanjikan, meski akan ribet banget penerapannya. Kedua, memang ada jalur-jalur birokrasi yang harus dipangkas untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Walau demikian, harus dipahami bahwa secara teori, jalur-jalur birokrasi itu timbul sebenarnya juga sebagai wujud pengendalian.

Kalau ke kantor tanah, kita nggak bisa ujug-ujug bisa mengklaim kepemilikan suatu tanah tanpa proses pemastian dulu bahwa tanah itu memang benar-benar layak untuk kita. Ada tahapan-tahapan untuk memastikan sertifikatnya diberikan ke orang yang tepat. Seharusnya kan begitu. Cuma kok yang belakangan kita lihat malah persoalan tentang mafia tanah.

Kita juga pernah dikasih contoh soal pengurusan KTP Djoko Tjandra yang cepat sekali. Kalau pelayanan publik itu cuma dipandang sebagai (((sesuatu yang cepat))), Kelurahan Grogol Selatan itu harusnya dapat penghargaan. Faktanya, terbitnya KTP itu justru menimbulkan permasalahan baru. Jadi, pelayanan publik itu tidak hanya soal cepat, tapi soal tepat.

Lantas, apakah kecerdasan buatan itu bisa menjadi solusi? Sebenarnya bisa-bisa saja. Namun, untuk penerapan di negeri ini, “tapi”-nya terlalu banyak.

Stephen Jeffares dalam bukunya The Virtual Public Servant: Artificial Intelligence and Frontlines Work menyebut bahwa setidaknya ada empat permasalahan yang dapat diatasi dengan penerapan kecerdasan buatan pada pelayanan publik. Konsepnya sebenarnya juga tidak jauh berbeda dengan yang selama ini kita kenal sebagai e-Government.

Mari kita kupas satu demi satu.

Permasalahan pertama adalah pengendalian. Sederhananya, kalau pakai kecerdasan buatan, pengambilan keputusan dilakukan sepenuhnya berdasarkan peraturan yang diintegrasikan dengan algoritma.

Aslinya ini pasti bakal keren sekali. Hanya, ada banyak penelitian yang sudah mengungkap problematika kronis soal peraturan di Indonesia, baik di level Kementerian/Lembaga maupun dalam hubungan pusat-daerah. Rizal Irvan Amin dan Achmad (2020) menyebut bahwa peraturan perundang-undangan di Indonesia itu secara kuantitas obesitas dan secara kualitas mengalami konflik, tumpang tindih, inkonsistensi, multitafsir, dan operasional.

Sekarang bayangkan bagaimana peliknya menyusun algoritma untuk kecerdasan buatan berdasarkan peraturan yang sudahlah banyak, tumpang tindih, mana multitafsir pula?

Permasalahan kedua yang dipandang dapat diatasi oleh penerapan kecerdasan buatan adalah cost. Contoh paling gampang perubahan ini adalah pembayaran langsung PNBP ke bank untuk layanan seperti pajak kendaraan bermotor dan juga paspor sehingga memangkas peran PNS yang menjadi kasir pada pelayanan publik.

Dari sisi itu sih tidak ada masalah. Hanya, yang terbayang soal biaya alias dana a.k.a hepeng justru hal yang berbeda. Bukan apa-apa, proyek e-KTP yang bilangannya triliun itu secara konsep sungguh ciamik luar biasa brilian sundul langit. Hasilnya?

Anggarannya jadi bancakan koruptor dan KTP-nya masih saja difotokopi.

Pengadaan kecerdasan buatan di birokrasi ini sudah pasti tidak akan makan uang sedikit mengingat kompleksitas yang ada. Dan tentu saja, kita patut khawatir kisah seperti e-KTP akan terulang kembali.

Permasalahan ketiga yang bisa diatasi kecerdasan buatan adalah kenyamanan. Sebenarnya tidak perlu panjang-panjang menjelaskan hal ini karena Jeffares sudah menyebut bahwa intinya adalah perihal upaya membuat layanan publik yang saling terhubung satu sama lain dan kalau bisa sepanjang waktu alias 24 jam dan tujuh hari.

Kita semua pasti pernah mengalami harus izin kuliah atau kerja untuk mengurus SIM atau KTP. Malah sebenarnya kita pengin urusan pelayanan publik itu justru di Sabtu atau Minggu mengingat di hari biasa kita sibuk dengan bekerja dan menggerakkan perekonomian. Nah, dengan kecerdasan buatan, diharapkan pelayanan yang ada itu tidak harus semuanya tergantung pada PNS yang harus hadir di jam kerja sebagaimana dimaksud.

Sebenarnya, arah menuju ke situ sudah ada. Ada begitu banyak terobosan e-Government di Indonesia. Saking banyaknya bahkan kita sampai bingung sendiri.

Layanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Bandung Barat beda nama dan beda sistem dengan yang ada di Kabupaten Sleman serta tentu saja dengan tempat-tempat lainnya. Sekarang kita tinggal masuk ke situs web suatu provinsi atau kabupaten maka hampir pasti kita akan melihat beragam nama aplikasi atau sistem informasi untuk berbagai layanan publik.

Kembali lagi, dengan begitu banyaknya aplikasi yang harus digunakan untuk beragam kebutuhan terkait kepemerintahan, apakah unsur nyaman itu bisa diwujudkan? Inginnya kan kita itu punya aplikasi kayak marketplace atau transportasi daring. Dengan satu aplikasi bisa beli pulsa, beli makan, pesan ojol, kirim sate buat mantan, dan berbagai kepentingan lainnya. Apalagi kalau hapenya kentang dan nggak kuat untuk install banyak aplikasi.

Terakhir, permasalahan yang sejatinya bisa diatasi oleh kecerdasan buatan adalah connection. Sederhananya hal ini akan terkait dengan unsur hubungan antara pengguna dan penyedia layanan. Jeffares menyuguhkan konsep media sosial sebagai upaya menghadirkan hubungan yang baik antara kedua unsur itu.

Permasalahannya tentu mengemuka kembali. Sekarang, kita bisa hitung ada berapa banyak sih akun media sosial pemerintah yang cukup tanggap pada keluhan publik yang hadir lewat komentar maupun DM?

Media sosial pemerintah hanya digunakan satu arah alias sekadar mengunggah informasi dan nggak pernah peduli sama komentar yang diberikan oleh publik. Kadang-kadang malah kontennya satu untuk semua sehingga tidak jarang bahwa di Twitter, kita justru menemukan tautan Instagram karena memang barangnya adalah dari IG tapi di-share juga ke Twitter.

Artinya, instansi pemerintah yang benar-benar mengurus media sosialnya dengan serius belum cukup banyak. Plus, tugas pengelolaan media sosial juga kerap bukan tugas utama. Kalah tanggap dengan admin toko online yang pekerjaannya fokus betul-betul melayani pelanggan.

Sebenarnya para PNS itu siap kok untuk berkolaborasi dengan kecerdasan buatan karena sebagian besar sudah mampu beradaptasi dengan e-Government secara prima. Namun, dengan berbagai kondisi birokrasi yang ada saat ini, jangan-jangan malah kecerdasan buatan yang memilih untuk melambaikan tangan ke arah kamera. Nggak lagi cerdas.

BACA JUGA Semakin Pengin Daftar PNS karena Kerja Budak Korporat Semakin Kayak Kuda Pecut dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 2 Desember 2021 oleh

Tags: birokrasi indonesiaCpnse-ktpfotokopikecerdasan buatankorupsimobile legendsPNStwitter
Iklan
Alexander Arie

Alexander Arie

Universitas Indonesia. Tinggal di Jakarta. Asli Bukittinggi.

Artikel Terkait

Kisah mahasiswa abada UNY dan jadi CPNS. MOJOK.CO
Kampus

Kisah “Mahasiswa Abadi” di UNY Nyaris Kena DO hingga Beasiswa Dicabut, Kini Buktikan Bisa Lolos CPNS usai Wisuda

27 Mei 2025
Penyebab 1.976 CPNS Mengundurkan Diri setelah Lulus Seleksi MOJOK.CO
Esai

Menelisik Lebih Tuntas Alasan 1.967 CPNS Mengundurkan Diri: Antara Harapan, Realita, dan Pilihan Hidup

30 April 2025
5 Tren Motion Design yang Wajib Kamu Tahu di Tahun 2025. MOJOK.CO
Kilas

5 Tren Motion Design yang Wajib Kamu Tahu di Tahun 2025! Kolaborasi dengan AI Jadi Salah Satunya

22 April 2025
CPNS 2024. MOJOK.CO
Aktual

Ratusan Calon Dosen CPNS 2024 Mundur Massal, Kerjanya Tak Sesuai Ekpektasi padahal Sudah Susah Payah Lulus Seleksi

17 April 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal dalam kerusuhan 1998. MOJOK.CO

Menyangkal Pemerkosaan Massal 1998 adalah Bentuk Pelecehan Dua Kali: Fadli Zon Seharusnya Minta Maaf, meskipun Maaf Saja Tak Cukup

16 Juni 2025
Sarjana (lulusan S1) gaji kecil ngaku bergaji Rp10 juta biar bisa dipamerkan orangtua MOJOK.CO

Sarjana Gaji Kecil Ngaku Bergaji Rp10 Juta buat Pamer ke Tetangga, Berujung Jadi Tempat Ngutang padahal Tak Punya Uang

21 Juni 2025
Gaya pernikahan anggota perguruan bela diri pencak silat seperti SH Terate kerap diolok-olok MOJOK.CO

Menikah dengan Anggota Pencak Silat Penuh Atraksi, Niat Ekspresikan Kebanggaan Malah Dicap Jamet

20 Juni 2025
Temani pacar dari gagal CASN dan nganggur, setelah jadi ASN malah ditinggal bahagia dengan orang lain MOJOK.CO

Setia Temani Pacar dari Gagal CASN hingga Nganggur Lama, Setelah Jadi ASN Malah Ditinggal Bahagia sama Orang Lain

17 Juni 2025
Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Kini Bermusik Lewat Lirik Patah Hati

Dicki Olski: Lahir dari Komunitas Stand Up, Bikin Band Pop Gemezz, dan Alasan Hiatus

15 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.