Kamu Ingin Tinggal di Kota Bogor? Coba Pikir Lagi!

Piala Adipura tidak serta merta menghapus setumpuk pekerjaan rumah dari Kota Bogor.

Kamu Ingin Tinggal di Kota Bogor? Coba Pikir Lagi! MOJOK.CO

Ilustrasi Kamu Ingin Tinggal di Kota Bogor? Coba Pikir Lagi! (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COKamu ingin tinggal di Kota Bogor? Menurut saya, Bogor lumayan juga menjadi tempat tinggal, tapi mending kamu pikir lagi, deh.

Kota Bogor sedang bersuka cita. Untuk pertama kalinya sejak 28 tahun lalu, Piala Adipura, penghargaan tertinggi sebagai kota ramah lingkungan, akhirnya mampir kembali ke kota di selatan Jakarta tersebut. Sebuah penantian panjang yang memang ditunggu oleh Kota Bogor. Status sebagai kategori “kota besar” di penerimaan Piala Adipura makin menambah kebanggaan itu.

Dari Wali Kota hingga jajaran Kepala Dinas dan Pegawai Negeri Sipil di lingkup Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, semua larut dalam suka cita. Kirab Piala Adipura pun dilangsungkan secara meriah pada Selasa (28/2) lalu, di tengah rintik gerimis hujan yang tiada henti mengguyur kota yang seolah tidak pernah capek menumpahkan bulir air dari langit.

Tapi masalahnya, Piala Adipura tidak serta merta menghapus setumpuk pekerjaan rumah dari kota ini. Maka dari itu, mumpung sudah mendekati hawa-hawa politik menjelang Pemilihan Wali Kota baru pada 2024 mendatang, sudah saatnya borok-borok yang selama ini tersimpan “rapi” di bawah kulit Kota Bogor, mulai dinaikkan ke permukaan.

Masalah angkot di Kota Bogor tak kunjung dibenahi

Kota Bogor, buat saya lho ya, memang cukup nyaman. Karena sempat tinggal tiga tahun di Jakarta, ketika pindah ke Bogor, saya langsung merasa nyaman. Di Bogor, buat saya, ke mana-mana terasa dekat. Dari Bogor Selatan ke Bogor Tengah, cuma butuh 20 sampai 30 menit saja. Jarak yang ke mana-mana dekat ini buat saya relatif nggak bikin mager buat beraktivitas. Tapi, semakin lama di Bogor dan mengamati kota ini secara lekat, Kota Hujan memang menyimpan masalah cukup pelik buat jadi kota yang cocok ditinggali.

Masalah pertama adalah angkot! Jujur saja, buat saya, angkutan kota atau angkot adalah beban Kota Bogor. Selain julukan sebagai Kota Hujan, Bogor memang sering dikenal juga sebagai Kota Sejuta Angkot. Sejatinya, Pemkot sudah merumuskan solusi yang menarik lewat ide BisKita Trans Pakuan.

Sempat, sih, saya baca berita di pengujung 2022 kalau sekitar 1.000 lebih angkot akan dibekukan karena pelaksanaan program reduksi angkot oleh Pemkot dan Dinas Perhubungan Kota Bogor. Saya jujur nggak tahu ya kelanjutan dari rencana ini, tapi kok rasa-rasanya sejauh mata memandang di jalanan, angkot hijau khas Bogor masih saja banyak di jalanan.

Angkot di Bogor ini level mengganggunya sudah ekstrem karena tidak hanya suka ngetem. Cara sopir mengendarai angkot, saya yakin, bisa membikin Dominic Toretto minder saking ngawurnya. Melipir ke kiri secara mendadak, suka ngetem, uji emisi yang nggak jelas aturannya, dan masih banyak lagi. Angkot sebenarnya bukan tidak benar-benar dibuang, ya. Belajar dari semrawutnya Jogja karena ketiadaan angkot, Bogor sebaiknya tidak memusnahkan semua angkot dari jalan raya.

Mengatur trayek

Yang diperlukan adalah pengaturan trayek di mana angkot bisa difokuskan untuk mengangkut penumpang dari kantong-kantong wilayah yang mana tidak terjangkau oleh BisKita. Dari data Juli 2022 saja, Dishub mengklaim bahwa penumpang BisKita mencapai angka 360.342 orang, di mana angka itu naik banyak dibanding pada November 2021 di mana penumpang “hanya” mencapai angka 69.236. Artinya, potensi BisKita cukup oke, tapi masih kurang optimal karena angkot masih sangat mendominasi jalanan.

Di Bogor sendiri, kantong-kantong wilayah itu cukup banyak. Di Cimahpar dan sekitarnya misal, penumpang perlu diangkut dari sana dan diantarkan ke jalan-jalan utama di sekitar Pandu Raya atau Bangbarung. 

Melipir ke Bogor Tengah dan sekitarnya, masih banyak penumpang di wilayah-wilayah seperti Tegallega hingga Jalan Artzimar, yang bisa diangkut oleh angkot untuk dibawa ke jalan utama di kawasan Pajajaran. Angkot tidak harus punah di Kota Bogor, tapi difungsikan di area-area kecil yang mustahil dijangkau oleh BisKita. 

Hal yang sama juga berlaku di kawasan Bogor Selatan. Dari Cipaku, Pamoyanan, hingga BNR, masih membutuhkan angkot untuk membawa mereka menuju ke jalan-jalan utama yang mengarah ke Jalan Pahlawan (Bondongan) hingga Jalan Juanda di kawasan Balai Kota.

Baca halaman selanjutnya….

Macet semakin akut

Angkot sudah, kita geser ke masalah kedua yakni macet! Permasalahan macet ini sebenarnya masalah tradisional setiap kota di Indonesia. Untuk ukuran kota yang lumayan besar dan nilai kendaraan di dalamnya terus bertambah, Kota Bogor tak lepas dari masalah ini. 

Jujur saja, penyebabnya tak hanya angkot yang suka ngetem, tapi kompleks banget. Terutama ketika akhir pekan menyapa. Sedikit saja keluar ke kawasan Batutulis di hari Sabtu pagi di atas pukul 10, kamu akan menemukan macet dari area Batutulis depan Sinar Kasih hingga daerah Sukasari.

Semakin siang, macet itu bergeser ke arah Jalan Pajajaran hingga area Suryakencana. Wajar, sih, karena itu daerah wisata kuliner. Tapi masak tiap weekend kita warga Kota Bogor harus tukeran macet, sih, sama warga Jakarta? Jujur saja nih, saya juga nggak tahu solusi untuk hal ini apaan karena ngapain juga saya pikirin solusinya, kan saya mau ngeluh ya.

Kota Bogor rawan bencana

Kita geser dari masalah transportasi dan macet, lalu masuk ke masalah ketiga yaitu rawan bencana. Sepanjang Oktober hingga 31 Desember 2022, Bima Arya selaku Wali Kota Bogor menetapkan status darurat bencana.

Tanpa mengurangi rasa hormat ke siapa saja, sebelum pindah ke Kota Bogor, bayangan saya dulu, bencana longsor biasanya terjadi di wilayah-wilayah pedalaman di pedesaan di mana kontur tanahnya mungkin bermasalah. Tapi, ketika bencana longsor terjadi tepat di pusat kota, saya cukup kaget juga. 

Sekadar info, pertengahan Oktober 2022 lalu, bencana longsor terjadi di Gang Barjo, Kelurahan Kebon Kalapa, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Ya seperti namanya, Bogor Tengah berada di area jantung kota ini tapi justru rawan bencana longsor. Saya bukan pakar lingkungan, sih, tapi melihat tragedi ini aja, seharusnya kita berpikir bahwa kayaknya ada yang salah, kan, sama sistem penataan ruang di kota ini?

Bencana longsor di Gang Barjo sendiri sejatinya cukup memilukan. Delapan korban secara total, dengan empat orang di antaranya meninggal dunia. Selang dua minggu kemudian, beberapa bangunan liar di kawasan Gang Barjo dibongkar karena terindikasi sebagai penyebab bencana ini. Ini langkah awal yang oke dan cukup tegas, tapi selanjutnya apa? Sudahkah ada mitigasi terkait hal ini? Apakah relokasi warga di hunian rawan bencana akan jadi solusi jangka pendek atau jangka panjang?

Skeptisme yang tersisa

Sejatinya masih begitu banyak skeptisme soal kota ini. Namun, Piala Adipura ya terasa lumayan, lah. Sedikit banyak, bisa memberikan senyum buat upaya keras Dinas Lingkungan Hidup Kota Bogor dalam menata dan mengelola sampah dan limbah di area Kota Bogor. 

Secara kota, sih, Kota Bogor sejatinya masuk di kategori yang cukup menyenangkan. Biaya hidup nggak terlalu tinggi, akses untuk ke Jakarta tidak terlalu susah carinya, serta punya hawa yang cukup sejuk buat rileks pikiran setelah mencari nafkah di ibu kota.

Tapi, buat benar-benar merekomendasikan kota ini sebagai kota yang layak kamu tinggali, saya pikir-pikir dulu deh.

BACA JUGA Kota Bogor: Kota Paling Ideal di Indonesia untuk Pensiun dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version