MOJOK.CO – Setelah membaca artikel ini, kamu akan tahu bahwa konsep kabur aja dulu bisa jadi konsep yang berbahaya. Baca sampai selesai, ya.
Amerika Serikat tahun 1950-an. Seorang perempuan bernama Marian Keech memimpin sekte The Seekers. Doktrin utamanya adalah dunia bakal kiamat di tanggal 21 Desember 1954. Semua manusia bakal musnah kecuali pengikut sekte yang loyal.
Ketika 21 Desember 1954 lewat dan kiamat yang dijanjikan tidak datang, para pengikut Keech menghadapi situasi yang sangat membingungkan dan menyakitkan. Mereka merasa terjebak dalam keyakinan yang telah terbukti salah.
“Dunia tidak jadi kiamat karena diselamatkan oleh iman kita,” sabda Keech untuk menenangkan para pengikutnya.
Keech membenarkan kegagalan ramalan tersebut dan memberikan pengikutnya penafsiran baru. Sebuah keyakinan baru untuk mengurangi guncangan mental akibat ketidakcocokan antara keyakinan dan kenyataan.
Kisah Marian Keech dan The Seekers ini diabadikan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger lewat sebuah buku, When Prophecy Fails, sebuah karya yang dipercaya menjadi landasan pertama teori disonansi kognitif.
Kabur aja dulu dan menjadi diaspora
Menyusul ramainya isu kabur aja dulu, saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya menjadi diaspora. Ini terjadi antara 2021 hingga 2024 ketika saya tinggal di Finlandia.
Awalnya, ekspektasi saya begitu tinggi. Laporan kebahagian di Finlandia selalu cemerlang tiap tahun. Sudah begitu, hidup di sana serba efisien, fasilitas lengkap, tunjangan sosial menggiurkan, dan masyarakatnya disiplin.
Selain itu, di Finlandia, tidak ada pungli, tukang parkir menyebalkan, dan tidak ada janji yang molor berjam-jam. Semua aturan tegak lurus tanpa kompromi. Sungguh sebuah negeri yang paripurna sebagai tujuan kabur aja dulu.
Kabur aja dulu dan Finlandia
Sama seperti brosur wisata, semuanya kelihatan sempurna sampai ketika kita datang langsung ke tempatnya. Finlandia, dengan segala keteraturan dan sistem sosial yang hampir sempurna, memang bekerja sebagaimana mestinya. Mereka efisien, rapi, dan nyaris tanpa cela. Idaman sekali menjadi tujuan campaign kabur aja dulu.
Namun, kesempurnaan tersebut tidak menjadikan saya bebas dari masalah. Masalah yang saya hadapi mungkin sama seperti imigran lainnya. Yang saya maksud adalah adaptasi yang selalu jadi hantu menakutkan, menempel di setiap langkah, dan mengganggu tidur.
Awalnya, saya berusaha mencari pekerjaan. Namun kendala lain mengintai, yaitu bahasa. Kebanyakan lowongan pekerjaan di Finlandia mensyaratkan level kecakapan bahasa berada di B2, atau bisa berkomunikasi dengan sederhana.
Biasanya imigran yang baru datang disarankan untuk mengikuti Integration Plan. Di fase ini, mereka bisa belajar bahasa sekaligus memperoleh informasi yang dibutuhkan seputar dunia kerja. Saya akhirnya mengikuti kelas tersebut.
Adaptasi bukan perkara mudah
Ketika kelas berakhir 14 bulan kemudian, saya merasa tetap kesulitan memperoleh pekerjaan. Pekerjaan yang saya dapatkan hanya berputar di paruh waktu dan musiman.
TE, departemen pemerintahan Finlandia yang ngurusin tetek bengek terkait pekerja, menyarankan saya untuk ikut sekolah kecakapan khusus. Misalnya seperti sekolah tenaga kebersihan, dapur, atau gudang. Ya, di Finlandia, semua pegawai memang harus punya sertifikasi khusus.
Sekolah-sekolah tersebut biasanya menawarkan 1 hingga 2 tahun belajar sebelum bisa masuk ke dunia kerja. Masalahnya, saya tidak punya waktu dan malas sekolah lagi. Anda bebas mengutuk saya untuk alasan yang terakhir.
Kabur aja dulu ke tempat yang cuacanya enak
Selain mengalami kendala mendapatkan pekerjaan dan bahasa. Cuaca ekstrem Finlandia juga sering membikin saya ngilu. Ketika musim dingin datang, suasana hati bakal merosot. Di momen ini, kita tahu bahwa hari-hari tanpa matahari bakal makin panjang. Semuanya membuat kesunyian semakin menusuk.
Di saat-saat sulit tersebut saya membayangkan diri saya sedang mendengarkan ceramah Marian Keech sehari setelah ramalannya meleset. Ia sedang menjelaskan panjang lebar bahwa tidak perlu merasa kecewa karena saya sedang tinggal di negara paling bahagia sedunia.
Apa, Indonesia? Cerdas dikit, negara asalmu itu tidak ada seujung kuku dibandingkan Finlandia. Kabur aja dulu.
“Tunjukan pada orang-orang bahwa kau sedang bahagia di sini, maka kau juga akan bahagia,” tutup Keech di ceramah imajiner tersebut.
Alih-alih langsung mengamini hal tersebut, yang justru mengendap di pikiran saya adalah: Finlandia memang serba sempurna, tapi sejujurnya ada banyak hal yang saya rindukan dari Indonesia.
Negeri orang, nasib sendiri
Indonesia tahun 2025. Saya sedang rebahan, menggulir layar ponsel. Hari itu tagar kabur aja dulu mengemuka. Banyak orang mulai mempertimbangkan untuk pergi dari Indonesia dan mencari peruntungan di negara lain.
Tidak ada yang salah. Keinginan yang sangat wajar. Kondisi negara kita ini memang sedang ajaib-ajaibnya.
Beberapa influencer diaspora langsung menggelar karpet merah untuk menyambut isu kabur aja dulu. Ada yang menggoda dengan janji gaji besar, jaminan kesejahteraan, hingga pemerintahan bersih dari korupsi. Surga dunia versi mereka. Ada juga yang sibuk membanding-bandingkan, menyorot betapa hijaunya rumput di negeri orang.
Yang sering luput, kabur aja dulu itu bukan cuma soal beli tiket dan pindah domisili. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Administrasi ribet, bahasa asing, adaptasi budaya, pengetahuan mengenai politik dan kebijakan negara yang dituju, dan lain-lain. Ternyata tidak sesederhana kabur aja dulu dan tak pernah menoleh lagi.
Baca halaman selanjutnya: Australia, validasi, dan lain-lainnya
Australia bukan negara “mudah”
Nick Molodysky, warga Australia totok yang terkenal melalui akunnya @masak2dengannick mengemukakan bahwa banyak orang Indonesia yang tergiur oleh postingan influencer yang bekerja di Australia dengan daya tarik utama, gaji tinggi. Gaji di Australia memang lebih tinggi dibandingkan UMR Indonesia, tetapi biaya hidupnya juga sangat mahal, bahkan bagi warga lokal.
“Karena inflasi itu konsep universal,” tulis Nick.
Meskipun sering digambarkan sebagai tempat dengan penghasilan besar, kenyataannya banyak pekerja migran di Australia harus bekerja lebih dari 60 jam per minggu ditambah hidup super hemat. Ini sudah termasuk nggak pernah makan di luar, tinggal di satu apartemen bersama 11 orang lain, dan berbagi satu toilet (di mana ini illegal).
Banyak juga yang bertahan untuk menabung sebelum kembali ke Indonesia, bukan untuk menetap. Nick menegaskan bahwa di samping semua kelebihan yang dimiliki Australia, ada harga yang harus dibayar jika ingin bekerja di negara itu.
Mencari validasi, mencari ketenangan
Menurut Maslow, manusia butuh memiliki kebutuhan akan penghargaan dan pengakuan dari orang lain. Singkatnya, validasi.
Validasi diperlukan untuk meredam disonansi kognitif. Salah satu caranya: mengajak orang lain mengikuti jejaknya. Semakin banyak yang meniru, semakin kuat pembenarannya. Begitulah isu kabur aja dulu bekerja.
Beberapa diaspora yang saya lihat, mereka mengajak pengikutnya untuk mengikuti jejak mereka dengan konten perbandingan Indonesia dengan negeri barunya. Bahkan, tak jarang, ada yang lebay, seakan Indonesia adalah jamban mampet, padahal ya, di beberapa sudut, emang iya.
Tapi serius, narik perbandingan dari hal-hal kayak “omongan tetangga,” “santet menyantet,” atau “rekan kerja iri dengki” tuh bukan cuma malesin, tapi juga males mikir.
Perbandingan-perbandingan yang mereka buat, kebanyakan merupakan hasil cherry picking sehingga tidak bisa menjadi acuan yang akurat secara data untuk urusan kabur aja dulu. Contohnya, membandingkan kualitas pendidikan tanpa melihat konteks sosial, geografis, demografis, dan ekonomi yang sangat berbeda.
“Ketika membandingkan, banyak orang lupa bahwa penduduk Finlandia hanya 5 juta, sedangkan Indonesia ada 270 juta,” kata Dinda, pekerja startup di Jakarta yang pernah menempuh master di Finlandia.
Saya dan Dinda sedang berdiskusi soal pendidikan di Indonesia dan Finlandia. Sistem pendidikan Finlandia memang berbau wangi dan dianggap sebagai standar pendidikan yang adiluhung dan cocok untuk kabur aja dulu. Padahal pendidikan di Finlandia bukan tanpa cela.
Tidak ramah migran
“Sistem pendidikan Finlandia tidak dirancang untuk anak-anak imigran,” kata Samah Zain, imigran Arab Saudi di Finlandia, dikutip Yle.fi pada 2024. Setelah 8 tahun tinggal di Finlandia, Samah menemukan bahwa sistem pendidikan di Finlandia kadang menyulitkan anak-anak imigran untuk berkembang.
Anak-anak imigran yang tidak bisa berbahasa Finlandia dengan lancar akan dimasukkan ke sebuah kelas khusus. Menurut pengakuan Samah, pengajaran yang diberikan di kelas tersebut lebih lambat dibanding kelas reguler.
Bagaimanapun juga, Finlandia punya alasan kuat untuk merancang sistem pendidikan yang mengutamakan kebutuhan warga lokalnya. Sedangkan imigran? Mereka harus menyesuaikan diri atau tertinggal.
Melangkah, tapi jangan buta arah
Konten perbandingan 2 negara jadi semacam selimut tipis buat sebagian diaspora. Mereka membalut diri dengan cerita tentang bobroknya Indonesia dan gemerlapnya negeri baru, berharap hangat.
Keresahan mereka bisa disembuhkan oleh komentar-komentar dukungan kabur aja dulu. Validasi dari para pengikut itu mengendorkan syaraf, membuat keputusan mereka terasa sah. Tak ada lagi kegelisahan yang perlu dirawat. Tidur bisa lebih nyenyak, makan lebih enak.
Daripada mengonsumsi konten influencer diaspora, sebaiknya luangkan lebih banyak waktu untuk riset kabur aja dulu. Selain tetek bengek soal administrasi, bahasa, dan budaya, saya menyarankan untuk mempelajari kondisi politik negara tujuan.
Banyak aturan soal kesejahteraan sosial dan ketenagakerjaan bergantung pada keputusan politik. Contoh gampang: politik Eropa sekarang lagi geser ke kanan. Artinya? Kebijakan anti-imigran bakal makin kenceng.
Jangan nekat
Kenekatan adalah angin yang mendorongmu melompat ke laut. Tapi pengetahuanlah yang memastikan kau tak tenggelam di samudra gelap atau jatuh di sarang hiu.
“Kita bisa nyinyirin diaspora seperti ini mungkin karena kita tidak memutuskan menetap di luar negeri. Kalau kita hijrah ke sana, bisa jadi kita juga bakal butuh validasi kayak gitu. Mungkin, obrolan kita sekarang juga bentuk validasi. Validasi buat pilihan hidup kita sendiri,” tutup Dinda mengakhiri diskusi kami malam itu.
Ah sial, pernyataan Dinda itu terus menghantui pikiran saya sepanjang malam.
Penulis: Armandoe Gary Ghaffuri
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kerja di Jepang Bikin Kaya? Ah, Nggak Juga dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.