Rakyat Sudah Bosan dengan Jokowi si Harapan Palsu, Sudah Bosan dengan Kebijakan Asal Mau Asal Kebut

Jokowi Adalah Harapan Palsu yang Cuma Bikin Sengsara MOJOK.CO

Ilustrasi Jokowi Adalah Harapan Palsu yang Cuma Bikin Sengsara. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSebagai orang yang mendapat stigma “harapan”, jelas Jokowi adalah harapan palsu. Dia menipu begitu banyak orang yang berharap perubahan.

Kurang dari satu bulan lagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo akhirnya selesai. Setelah 20 Oktober, Presiden Jokowi tak lagi berkuasa sebagai presiden. Akhirnya, kita akan merayakan satu masa di mana dia bukan lagi presiden dan tidak lagi bisa menyulitkan kita semua.

Saya kira, selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, rakyat sudah bosan dengan beragam akrobat yang dilakukan pemerintah. Mulai dari memastikan pemerintahan tanpa oposisi. Lalu, mereka juga berhasil membuat produk hukum atau regulasi yang dibuat asal maunya mereka dan secepat yang mereka bisa. Hasil akhir yang menyenangkan untuk pemerintah, tapi menyengsarakan masyarakat. 

Omnibus Law yang sangat merugikan kaum pekerja

UU Ketenagakerjaan Omnibus Law mengawali semuanya. Sebuah UU yang sangat merugikan kaum pekerja. Jokowi tak mau mendengarkan penolakan demi penolakan dari kaum buruh. 

Setelah itu, mereka melakukan pelemahan terhadap KPK. Ini adalah lembaga yang dicintai masyarakat, lewat revisi UU KPK. Hingga akhirnya, judicial review UU pemilu di MK yang melanggengkan trah Jokowi di lingkar kekuasaan. 

Membuat regulasi dengan asal mau dan asal kebut ini memang menjadi favorit Jokowi dan parlemen yang mendukungnya. Semua regulasi, asal suka dan mau, mereka membuatnya dengan sangat cepat.

Sementara itu, mereka akan memperlambat proses pembahasan dan pengesahan untuk aturan yang tidak mereka sukai. Bahkan, Jokowi dan circle-nya malah tidak mau mengurus aturan tersebut. 

Misalnya, ada RUU Perampasan Aset atau RUU Pekerja Rumah Tangga. Keduanya cuma jadi bahan kampanye dan nggak tahu kapan mereka mau mengesahkannya.

Metode asal kebut Jokowi

Metode asal kebut ini memang cara favorit pemerintahan Jokowi. Mereka suka melakukannya dengan cara yang sembunyi-sembunyi. Mulai dari proses membuat draft lalu melakukan public hearing. Mereka melakukannya dengan kelompok masyarakat yang mendukung. 

Cuma butuh sekali atau dua kali bahas, lalu sahkan. Kadang masyarakat kecele dengan cara begini, tapi belakangan ya masyarakat sudah mulai sadar. 

Maka, ketika Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Bungkus Rokok ramai belakangan ini, saya tidak kaget. Saya tidak lagi kaget jika rancangan aturan itu dibuat dengan metode yang sama. 

Mulai dari membuat draf aturan sesuai keinginan mereka (malah modal copy paste dari aturan luar negeri), lantas public hearing dengan kelompok pendukung (kelompok atau LSM anti-rokok mendominasi RDPU). Setelah itu, tinggal menunggu waktu saja sampai mereka mengesahkan rancangan tersebut.

Stakeholder melawan

Untungnya, stakeholder di industri kretek mencium gelagat ini dan melakukan perlawanan. Sehingga, saat ini, pembahasan draf mendapatkan banyak penolakan.

Tidak main-main, beberapa kementerian melakukan perlawanan. Misalnya, ada Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, bahkan sampai anggota DPR. Sekarang, barulah Menteri Kesehatan-nya Jokowi kebingungan. Niatnya mau cari prestasi biar jadi menteri lagi, dia malah mendapat sebatas sensasi. 

Pada satu titik, saya kira, ini adalah bentuk dari pemerintahan paling brutal yang pernah saya alami. Sebagai orang yang sudah terlibat dalam agenda penjarahan ketika reformasi, saya cukup dekat dengan politik, bahkan ketika belum masuk sekolah. 

Mulai dari Gus Dur, Megawati, dan musuh ketika masih berstatus mahasiswa di era SBY, baru sekali ini saya merasa gerakan rakyat benar-benar tidak ditanggapi oleh pemerintah, yakni Jokowi. 

Jokowi adalah harapan palsu

Sebagai orang yang mendapat stigma “harapan”, jelas Jokowi adalah harapan palsu. Dia menipu begitu banyak orang yang berharap perubahan, dari masa pemerintahan SBY yang melelahkan rakyat. Namun, setelah 10 tahun pemerintahan Jokowi, saya bahkan merindukan SBY sebagai kawan tanding yang lebih beradab. 

Apalagi, belakangan banyak lembaga yang membuat diskusi tentang rapor merah Jokowi di berbagai bidang. Mulai dari Agraria, Politik, Hukum, Demokrasi, hingga urusan Pertembakauan. Paling ya, cuma Lingkaran Survei Indonesia (LSI) punya Denny JA saja yang bilang Jokowi dapat rapor biru. 

Meski mungkin sudah bersiap untuk tidak lagi berkuasa, tetapi Jokowi masih menjadi Presiden RI. Dia masih bertanggung jawab atas segala masalah yang muncul karena kerja-kerja ngawur.

Jika masih ada aturan yang tengah dibahas, dan merugikan masyarakat, maka perlawanan tetap harus digaungkan. Jika ada kebijakan yang merugikan masyarakat, penolakan terhadap kebijakan itu harus tetap diserukan. 

Setidaknya, mari kita tunjukkan bahwa masyarakat tidak mudah lupa dengan apa yang rezimnya perbuat. Setidaknya, jangan sampai Jokowi merasa bisa turun dari jabatannya dengan tenang, sementara kita sempoyongan menghadapi kebijakannya. 

Dan yang paling penting, mari sambut turunnya Jokowi dari kekuasaan sebagai sebuah hal yang menyenangkan. Kini kita tak perlu lagi melihat dirinya sebagai presiden. 

Penulis: Aditia Purnomo

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version