Jogja Sudah Tidak Pantas Menyandang Status Kota Pelajar

Lalu apa yang bisa kita banggakan lagi. Tagline istimewa sudah menjadi bahan tertawaan. Julukan kota pelajar ternyata tinggal getir terasa. Status kota pariwisata kini disalip saudara tua. Apa yang tersisa bagi Jogja kecuali kisah lama yang terus diromantisasi?

Jogja Sudah Tidak Pantas Menyandang Status Kota Pelajar MOJOK.CO

Ilustrasi Jogja Sudah Tidak Pantas Menyandang Status Kota Pelajar. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.CO – Kemarin, status “istimewa” menjadi bahan tertawaan. Kini, julukan “kota pelajar” untuk Jogja juga mulai dipertanyakan.

“Jogja adalah saksi mata jutaan sarjana yang diwisuda,” ujar Najwa Shihab. Dan saya tidak bermaksud mengoreksi. Jogja adalah kota pelajar, dan “tanah suci” bagi jutaan civitas academica. Jutaan orang datang silih berganti. Sebagian pergi menyandang gelar, ada juga yang mati karena tak kuat bayar. Dan kota ini menjadi saksi atas mereka yang gagal menggapai mimpi. Yang akhirnya membuat saya bertanya: apakah Jogja masih kota pelajar?

Mungkin Anda keberatan dengan pertanyaan ini. Kemarin keistimewaannya dipertanyakan, kok sekarang juga status “kota pendidikan” yang kena? Tapi mari kita merenung tentang status yang membuat Jogja masyhur ini.

Kenapa mendapat gelar kota pelajar?

Tidak ada yang tahu pasti kapan Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) mulai menyandang gelar kota pelajar. Dan alasan gelar ini disandang juga tidak jelas. Dugaan terkuat adalah dari banyaknya perguruan tinggi di sini. Sampai 2022, ada 132 perguruan tinggi dengan berbagai kriteria. Dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas.

Salah satu kampus terbaik di Indonesia juga bermarkas di Jogja. Tentu saja yang maksud adalah Universitas Gadjah Mada. Selain kampus terbaik, kota ini juga menawarkan berbagai jenis perguruan tinggi. Dari teknologi informasi, pariwisata, kedirgantaraan, sampai kesenian. Kota yang sudah tidak istimewa ini ibarat mall yang dipenuhi gerai pendidikan tinggi.

Tapi apakah masalah kuantitas menjadi alasan Jogja menjadi kota pelajar? Kalau bicara jumlah, kota ini jelas disalip Jawa Barat dengan 548 perguruan tinggi. Jogja sendiri masuk peringkat delapan perkara jumlah perguruan tinggi terbanyak. 

Jadi jelas, bukan kuantitas yang membuat Jogja masih menjadi kota pelajar. Berbagai jenis perguruan tinggi juga dimiliki daerah lain. Jika jumlah mahasiswa ditandingkan, kota ini masih tidak lagi pantas menyandang gelar kota pelajar. Jogja menjadi daerah ke-6 dengan jumlah mahasiswa terbanyak menurut BPS. Lalu apa alasan kota ini masih menyandang gelar tersebut?

Bicara rangking, kota ini juga tidak moncer-moncer amat. Memang sih, UGM selalu jadi tiga besar universitas terbaik. Rebutan dengan UI dan ITB. Tapi ya hanya UGM mewakil Jogja yang masuk 10 besar universitas terbaik. Jawa Barat menyumbang lima universitas terbaik. Jogja? Selalu mendompleng nama besar UGM. Prestasi UGM paling moncer sih menyumbang presiden dan para tokoh politik.

Apa yang membuat kota ini masih pantas menyandang gelar kota pelajar? 

Kalau bicara spektrum luas, dan memasukkan sekolah menengah, juga tidak hebat-hebat banget. Justru malah pelajar Jogja dikenal karena klitih. Prestasi sih, prestasi goblok!

Bicara umur, orang menyebut Jogja punya Taman Siswa. Yah kalau mau tanding usia, Jogja kalah dengan Semarang yang jadi tempat lahir Sekolah Sarekat Islam (SI). Sekolah bumiputera tertua dan jadi cetak biru sekolah lain seperti Taman Siswa sendiri. Paling nanti argumennya adalah UGM jadi perguruan tinggi negeri tertua. Karena kalau bicara perguruan tinggi tertua saja, nanti kalah dengan ITB yang berangkat dari de Technische Hoogeschool te Bandung (TH).

Bicara literasi, memang Jogja jadi juara nasional. Tapi ini bukan hal yang wah juga. Sudah sewajarnya daerah sesempit ini dengan kampus ratusan punya tingkat literasi tinggi. Capaian ini bukan penyebab Jogja menjadi kota pelajar. Lebih tepatnya dampak dari banyaknya pusat pendidikan saja.

Satu-satunya yang membuat kota ini terus jadi kota pelajar adalah daerahnya, di mana Jogja seperti akademi raksasa bagi semua cendekiawan di dalamnya. Jogja mengayomi para civitas academica untuk nyaman belajar. Setiap sudutnya adalah ruang praktikum, dan langitnya seperti atap perpustakaan semesta. Jogja menjadi tanur yang mengkristalkan pemikiran cerdas demi kemajuan bangsa. Idealnya demikian, sampai Jogja gagal mengayomi para cendekiawan itu.

Baca halaman selanjutnya

Gagal mengayomi para cendekiawan…

Jogja gagal mengayomi para cendekiawan

Dua kasus viral jadi simbol kegagalan Jogja mengayomi para cendekiawan. Pembaca sudah tahu kabar meninggalnya mahasiswi UNY dan UMBY? Desakan ekonomi karena Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mencekik disebut menjadi sumbernya. Dua orang harus meninggal sebelum menggapai mimpinya.

Mungkin kurang adil jika saya menyebut dua kasus tersebut menggugurkan gelar kota pelajar. Tapi lihatlah lebih luas. Perkara uang kuliah menjadi polemik tak kunjung henti. Jogja yang dianggap “murah” ternyata menawarkan pendidikan yang mahal. Dan ketika disarankan masuk ke perguruan tinggi yang murah, pendidikan yang didapat kurang layak. Belum lagi status akreditasi yang dipandang menghalangi karier lulusannya di masa mendatang.

Mungkin Anda akan membela, “Lho, memang biaya pendidikan itu mahal! Tapi sepadan dengan apa yang diperoleh nanti.” 

Sepadan apanya? 

Sudah keluar uang banyak untuk kuliah, nanti harus keluar dana lagi untuk bootcamp dan peningkatan soft skill lain. Jika output-nya adalah karier, justru perguruan tinggi adalah penyumbang pengangguran. Termasuk yang bermarkas di Jogja

Cendekiawan Jogja juga masih dihantui perkara pelecehan seksual. Dan perguruan tinggi di sini tidak ada yang jadi pelopor untuk membendung gelombang kemesuman tak tahu tempat ini. Bahkan kasus #kitaagni menjadi runyam karena sikap pongah UGM. Saya sendiri ingat betul kasus ini, karena seharusnya saya wisuda bareng si pelaku pelecehan. Untung sih dia tidak datang karena ratusan manusia menanti sosok ini untuk menyuarakan kemarahan secara langsung.

Apa yang membuat Jogja istimewa sebagai kota pelajar? Ketika yang dihadapi para pelajar tidak berbeda dengan kota lain. Kadang malah lebih buruk.

Apa hasil dari “kota pelajar” yang agung itu?

Jogja, dengan ratusan kampusnya juga tidak berperan banyak dalam penyelesaian masalah daerahnya. Sebenarnya sih, dalam lingkup nasional juga belum. Namun, sebagai yang bergelar kota pelajar, rumah cendekiawan, tidak berbeda dengan daerah lain. Pendidikan tinggi di sini tetap menjadi pabrik penghasil tenaga kerja. Meskipun kritik tentang ini terus terdengar, tapi tidak ada yang berubah. Bahkan dari daerah yang disebut kota pelajar sendiri.

Dengan gelar kota pelajar, tidak ada dampak terasa bagi kehidupan masyarakat. Teknologi tepat guna yang sering jadi program kampus sering bersifat simbolis semata. Dan secara penyelenggaraan pemerintah, perguruan tinggi di Jogja juga tidak menunjukkan gebrakan nyata. Mungkin karena lulusannya tidak ada yang bisa jadi gubernur, sih.

Jika bicara kuantitas hasil riset, dari jumlah permohonan hak paten dan hak cipta saja sudah kalah. Sekali lagi, UGM menjadi penyumbang terbesar. Dan sekali lagi, Jawa Barat menguasai 10 besar ini. Yah bagaimanapun juga, Jogja tetap kalah kuantitas. Wajar juga, menilik dari luas wilayah yang nyempil di selatan Jawa Tengah ini.

Bagi saya, kurang elok bicara kuantitas semata. Tapi dari jumlah hak paten dan hak cipta yang diajukan saja, Jogja bukan raksasa pendidikan dan riset nasional. Dan selalu saja nggondeli UGM sebagai tulang punggung pendidikan. Ibaratnya, UGM jadi Mbappe ketika Jogja harus bersaing dalam urusan pendidikan.

Lalu, darimana Jogja bisa disebut sebagai kota pelajar? 

Kecuali perkara konsentrasi perguruan tinggi yang memenuhi daerah sesempit ini? Jogja terlalu lama terbuai oleh predikat kota pelajar. Sampai lupa jika hari ini, kita tidak sehebat itu dalam urusan pendidikan. Mungkin memang luar biasa kalau masih zaman Orde Baru. Namun dunia terus berganti rupa, dan Jogja masih saja onani gelar kota pelajar.

Lalu apa yang bisa kita banggakan lagi. Tagline istimewa sudah menjadi bahan tertawaan. Julukan kota pelajar ternyata tinggal getir terasa. Status kota pariwisata kini disalip saudara tua. Apa yang tersisa bagi Jogja kecuali kisah lama yang terus diromantisasi?

Entahlah, saya memilih turu saja. Siapa tahu, bangun-bangun jadi gubernur.

BACA JUGA Mati-matian Bertahan di Jogja Buat Apa? dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version