MOJOK.CO – Jogja, apakah masih terkenal dengan sebutannya sebagai kota pelajar? Ketika remaja asli Jogja malah tidak kuat membayar biaya kuliah. Ironis sekali.
Status tersebut tidak terlepas dari banyaknya perguruan tinggi ternama dan berkualitas di Jogja. GoodStats pernah melakukan survei terkait status ini pada November 2023. Hasilnya, 70% responden masih memilih Jogja sebagai kota untuk belajar.
Bahkan, Jogja masih menjadi salah satu kota pelajar terbaik selain Bandung dan Jakarta dengan menduduki peringkat ke-126 menurut QS Best Student Cities 2024. Mereka mengantongi 51,4 poin. QS Best Student Cities menggunakan 6 indikator untuk menilai, yaitu peringkat universitas, campuran mahasiswa, daya tarik, pemberi kerja, keterjangkauan, dan suara mahasiswa.
Namun, ironisnya, warganya sendiri tidak bisa menikmati pendidikan tinggi. Mengutip dari bernas.id, Drs. H.A. Hafidh Asrom MM, selaku anggota komite III DPD/MPR RI menyatakan bahwa sebagian besar remaja di Jogja (DIY) yang telah lulus SMA sederajat, banyak yang gagal melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
Faktor biaya menjadi kendala utamanya. Dia juga memaparkan data, bahwa salah satunya terjadi Kabupaten Sleman, pada 2022, dari sekitar 20 ribu lulusan SMA/SMK, tidak lebih dari 10 ribu yang meneruskan ke perguruan tinggi. Pernyataan tersebut sesuai dengan persentase warga DIY yang mengenyam pendidikan tinggi kurang dari 12%.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Hafidh Asrom menggagas agar masing-masing kampus memberikan kuota 1% beasiswa “istimewa khusus” bagi warga Jogja. Menurutnya, dengan demikian, akan ada sekitar 300 warga DIY yang bisa melanjutkan studi ke PT dengan biaya ringan atau gratis.
Biaya pendidikan tinggi semakin tidak terjangkau oleh warga asli Jogja
Kita tidak bisa memungkiri bahwa biaya pendidikan dan biaya hidup memang terus melambung. Terlebih lagi Jogja juga pernah menjadi salah satu provinsi termiskin. Tidak heran, karena Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di DIY pun juga tergolong rendah.
Bahkan hasil survei yang dilakukan oleh Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY tentang nilai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) wilayah DIY per Oktober 2023 justru lebih tinggi daripada UMK yang berlaku. Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa pendapatan buruh di Jogja sangat jauh dari standar nilai KHL Jogja.
Dengan demikian, para buruh justru mengalami defisit ekonomi. Oleh karena itu, wajar jika remaja di Jogja kurang berminat melanjutkan ke perguruan tinggi. Ya karena dari sisi ekonominya saja sudah sulit untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi jika untuk biaya pendidikan tinggi.
Alhasil, beberapa remaja lulusan SMA/SMK sederajat lebih memilih bekerja daripada lanjut studi. Di sisi lain, juga tidak adanya jaminan bagi lulusan perguruan tinggi langsung mendapat pekerjaan di provinsi tersebut.
Kompas TV pernah melansir bahwa DIY menjadi provinsi yang rata-rata biaya kuliahnya tertinggi di Indonesia, yakni mencapai Rp21,10 juta per tahun. Hal ini didasarkan pada survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juli 2020 hingga Juni 2021.
Tingginya biaya kuliah ini bahkan hingga memakan korban. Masih lekat di ingatan, kasus mahasiswi UNY yang “tercekik” Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sangat tinggi. Padahal dia berasal dari keluarga yang tidak mampu dan sudah mengajukan penurunan UKT. Nominalnya memang turun, tapi tidak signifikan. Masih banyak lagi kisah getir para mahasiswa perguruan tinggi Jogja yang terbebani biaya kuliah yang tinggi.
Baca halaman selanjutnya: Kesalahan sistem, membuat pendidikan Jogja menyedihkan.
Akibat kapitalisasi pendidikan
Kita perlu menyadari bahwa pendidikan hari ini diatur di bawah sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Kapitalisme adalah ideologi yang bersumber dari akal manusia. Sehingga, segala sesuatunya sampai terkait aturan kehidupan ditentukan berdasarkan akal manusia.
Prinsip dasar kapitalisme dibangun berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan. Atau yang kita kenal dengan sekularisme. Kapitalisme memandang bahwa agama hanyalah sebatas ibadah ritual. Oleh karena itu, agama tidak diperbolehkan untuk mengatur urusan kehidupan manusia. Jadi, dalam kehidupan manusia, manusia berhak mengatur urusannya sendiri dengan akalnya.
Tersebab prinsip yang seperti inilah maka pandangan hidupnya menjadi pragmatis, yakni mempertimbangkan asas manfaat atau untung dan rugi. Alhasil, corak sistem kehidupan dalam kapitalisme hanya berorientasi pada profit semata. Termasuk dalam menentukan kebijakan penyelenggaraan pendidikan tinggi, seperti di Jogja, juga diukur dari untung dan rugi.
Akhirnya, sistem tersebut menjadikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Maka wajar, jika biaya pendidikan begitu melangit. Pendidikan tinggi sudah menjadi bisnis semata untuk memperoleh keuntungan, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar pendidikan masyarakat. Seperti halnya barang, bagi yang memiliki kemampuan untuk membeli, maka dia dapat mengonsumsinya. Sebaliknya, bagi yang tidak mampu membeli, ya tidak akan bisa menikmatinya.
Sistem sekuler kapitalisme juga menjunjung tinggi kebebasan
Sistem ini, dalam kehidupan bernegara, menghilangkan peran vital negara dalam segala aspek mengurusi rakyat, termasuk dalam hal penyelenggaraan pendidikan. Penguasa jadi seperti “lepas tangan” dalam menyelenggarakan pendidikan.
Terbukti juga dengan adanya keleluasaan yang diberikan kepada setiap universitas untuk membuka-tutup program studi sesuai kebutuhan pasar. Program studi yang paling dibutuhkan oleh pasar, akan menjadi program studi yang bernilai jual tinggi. Sementara itu, program studi yang kurang diminati, dianggap perlu dievaluasi dan akhirnya ditutup. Begitulah pendidikan menjadi barang ekonomi. Dalam sistem sekuler kapitalisme, negara tidak wajib memberikan layanan pendidikan kepada rakyat tanpa terkecuali dan secara cuma-cuma.
Sistem pendidikan alternatif
Jika kita menginginkan terwujudnya tujuan pendidikan, agaknya kita perlu mengubah paradigma sistem pendidikan hari ini. Paradigma sistem pendidikan Islam kiranya bisa menjadi alternatif. Sebab tidak seperti sistem sekuler kapitalisme yang memandang pendidikan sebagai komoditas. Islam memandang pendidikan sebagai basic needs masyarakat yang harus dipenuhi oleh negara.
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Muqaddimah Dustur pasal 173 juga menerangkan bahwa, “Negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap individu, baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.”
Oleh karena itu, dalam sistem pendidikan Islam, negara bertanggung jawab penuh dalam pelayanan pendidikan. Mulai dari pembiayaan, kurikulum, fasilitas, pendidik profesional sampai sarana dan prasarananya. Negara juga akan menjamin agar fasilitas dan layanan pendidikan mudah diakses oleh individu rakyat dengan murah bahkan secara gratis. Bahkan penelitian pun juga akan dibiayai oleh negara. Bukankah ini yang dibutuhkan Jogja?
Pembiayaan pendidikan ini akan diambil oleh negara dari baitul mal (kas negara). Perlu diketahui, dalam sistem Islam, negara akan mengoptimalkan pemasukan yang bersumber dari pos pengelolaan Sumber Daya Alam. Sehingga rakyat akan mudah dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.
Sekali lagi, perlu diperhatikan, bahwa corak sistem pendidikan seperti ini hanya ada di dalam sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, jika kita ingin merasakan pendidikan yang murah dan berkualitas, harus terlebih dulu mengganti paradigma sistem pendidikan sekuler kapitalisme dengan paradigma sistem pendidikan Islam. Wallahu A’lam Bishawab.
Penulis: Deny Setyoko Wati
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogja Sudah Tidak Pantas Menyandang Status Kota Pelajar dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.