Gegar Tarif Parkir “Gila-gilaan” di Malioboro Jogja Bentuk Penjajah Jalan yang Membuat Wisatawan Asal Purwokerto Kecewa Berat

Jogja dan Malioboro Bikin Wisatawan Purwokerto Kecewa Berat MOJOK.CO

Ilustrasi Jogja dan Malioboro Bikin Wisatawan Purwokerto Kecewa Berat. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBagi sebagian warga Purwokerto, mengunjungi Malioboro Jogja adalah impian. Namun, di kunjungan pertama, dibikin kecewa oleh Malioboro.

Mungkin, bagi sebagian orang, kunjungan ke Malioboro Jogja adalah impian yang akhirnya terwujud. Namun, sayangnya, tarif parkir yang gila-gilaan merusak semua impian itu. Inilah cerita Bunga (bukan nama sebenarnya), pelancong dari Purwokerto, yang merasakan getir di kunjungan pertama di Malioboro.

Pada 6 Maret 2024, Bunga meninggalkan Purwokerto untuk menuju Jogja. Harapannya adalah bisa menikmati keindahan kota budaya tersebut. Dan, pemandangan pertama yang menyambut Bunga adalah Malioboro Jogja tetap padat oleh wisatawan. Padahal, saat itu, bukan hari libur.

Ramainya pusat perbelanjaan tersebut membuat Bunga kesulitan mencari tempat parkir motor. Setelah berputar-putar hampir 30 menit, akhirnya dia menemukan sebuah tempat parkir yang cukup lega. Namun, lokasi parkir tersebut jauh dari titik di Malioboro Jogja yang ingin Bunga kunjungi.

Sialnya, Bunga bertemu tukang parkir yang mematok tarif yang menyakitkan hati. Jadi, si tukang parkir ini mematok tarif Rp10 ribu. Bunga sempat mengeluh dan menolak. Namun, si tukang parkir mengeluarkan jurus andalannya dengan bilang, “Ya kalau nggak mau jangan parkir di sini.”

Mendengar jawaban yang menyakitkan hati itu, si pemudi asal Purwokerto itu hanya bisa menerimanya. Pasalnya, saat itu, mencari tempat parkir yang lega di Malioboro Jogja lumayan sulit. 

Tarif parkir Malioboro Jogja yang membuat wisatawan Purwokerto kecewa

Mengapa tarif parkir di Malioboro Jogja selalu menjadi perbincangan panas? Pertama, nominal yang dipatok oleh “oknum” itu nggak bisa disepelekan. Misalnya, dalam sekali parkir ada 20 motor, si tukang parkir ini bisa mengantongi Rp200 ribu. Angka ini, sudah jauh dari tarif normal, juga jangan sampai kita mengabaikannya.

Pasalnya, mau melihat dari sisi mana saja, tarif parkir oleh oknum di Malioboro Jogja ini nggak wajar. Setahu saya, sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Kota Jogja yang menetapkan tarif progresif untuk parkir di tepi jalan umum. Tarif awalnya adalah Rp2 ribu untuk roda 2. Sementara itu, untuk roda 4, adalah Rp5 ribu untuk 2 jam pertama. Makanya, tarif Rp10 ribu sama sekali nggak masuk akal.

Sebuah ironi terjadi ketika aturan sudah ditetapkan namun pelaksanaannya jauh dari harapan. Mengapa oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab masih leluasa “menjajah tepi jalan” dengan tarif parkir yang melampaui kewajaran? Apakah ini hanya sekadar bisnis wajib atau telah menjadi bentuk penjajahan modern di jalanan Jogja? Yang pasti, kondisi ini membuat seorang wisatawan asal Purwokerto menjadi kecewa.

Baca halaman selanjutnya: Oknum tukang parkir ini berbahaya untuk masa depan wisata Jogja.

Wujud ketidakadilan sosial

Pertanyaan-pertanyaan ini menggema di tengah ramainya Malioboro Jogja yang penuh wisatawan dan kendaraan. Ini bukan sekadar perdebatan nominal uang, melainkan mencerminkan ketidakadilan sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius. Perlunya tindakan tegas untuk mengontrol dan mengatur sistem parkir yang lebih manusiawi menjadi hal yang mendesak.

Kota budaya Jogja harus mampu menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan adil bagi semua, bukan cuma buat Bunga dari Purwokerto. Tarif parkir di Malioboro yang sesuai dengan regulasi, pelayanan yang baik, dan pengawasan yang ketat menjadi kunci untuk memastikan pengalaman wisata yang menyenangkan dan menghargai hak setiap pengguna jalan.

Dengan demikian, tarif parkir yang “gila-gilaan” bukan sekadar masalah sepele yang bisa diabaikan. Ini menjadi cerminan dari kebijakan yang perlu dievaluasi ulang demi keadilan sosial dan kenyamanan bersama. 

Semoga refleksi ini menjadi panggilan untuk perubahan yang lebih baik dalam sistem parkir dan layanan publik di Jogja. Kita semua berhak mendapatkan akses yang adil dan layanan yang manusiawi di ruang publik.

Selain itu, persoalan ini juga mencerminkan bagaimana kebijakan publik dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat. Implikasi dari tarif parkir yang tinggi tidak hanya terasa pada dompet pengguna jalan dan wisatawan asal Purwokerto. Ini juga membuka ruang untuk mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan layanan publik. Hal ini menegaskan pentingnya partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan yang dapat memengaruhi kesejahteraan bersama.

Saatnya menerapkan pembayaran QRIS di setiap tempat parkir wisata

Pada September 2022, sebenarnya, Jogja sudah menerapkan metode pembayaran menggunakan QRIS. Mereka melakukan uji coba di 2 lokasi, yaitu parkir tepi jalan umum di Jalan Prof. Yohanes dan di Tempat Khusus Parkir (TKP) Limaran.

Namun, seperti yang sama-sama bisa kita duga, masih banyak pengguna yang belum mau menggunakan QRIS. Banyak alasan yang mengemuka. Salah satunya adalah tidak semua juru parkir bisa mempelajari teknologi ini dengan cepat. Entah karena masalah “usia” hingga keterbatasan alat.

Sebagai orang yang lebih muda dan terbiasa cashless, metode ini memang bisa menyulitkan mereka yang tidak akrab dengan teknologi. Namun, saya rasa, hal ini jangan sampai menjadi ganjalan. Metode cashless ini bakal menyulitkan oknum tukang parkir di Malioboro Jogja yang hendak mematok harga sesuka hati.

Mau nggak mau, teknologi akan hadir juga di antara kita. Jika bisa memanfaatkannya dengan baik, teknologi juga akan memberi hasil baik. Kita sama-sama tahu bahwa pemasukan dari parkir wisata itu nilainya besar. Jika oknum tukang parkir mematok harga secara ngawur, wisatawan bakal kapok. Jika kelak kunjungan wisatawan turun, kita tidak bisa mencegah orang menyalahkan oknum tukang parkir brengsek di mana saja di Indonesia.

Bagi Jogja, saya berharap kamu segera berbenah. Bagi Bunga dan banyak orang Purwokerto lain, kamu masih tujuan wisata yang diidamkan. Jangan mengecewakan, ya. 

Penulis: Edelin Gultom

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Harga Parkir dan Makanan ‘Nuthuk’ di Jogja Adalah Warisan Feodal Paling Ra Mashok dan pengalaman menyebalkan lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version