MOJOK.CO – Guru, kata suatu hikmah yang kerap dinisbatkan pada Sayyidina Ali, adalah siapa saja yang mengajari kita walau satu huruf.
Saya menulis ini di “Hari Guru”, 25 November yang lalu. Awalnya saya menulis untuk caption di Instagram pribadi. Saya sedang membagikan foto-foto dan video perjalanan dengan salah satu guru saya, yakni Habib Jindan bin Jindan. Tapi karena jadinya bisa panjang, saya lanjutin aja di Mojok.
Tentu, bukan berarti saya fanatik satu guru. Sudah fanatik, tidak mau ceritakan atau apalagi tak hormati guru-guru saya yang lain. Di Putcast, saya pernah cerita tentang guru saya yang lain, yakni Cak Nun (kita berhenti sejenak di sini untuk mendoakan kesembuhan dan kesehatan Beliau).
Di video-video YouTube saya di berbagai channel atau channel pribadi, saya sering bercerita tentang guru saya yang lain lagi, yang tak lain adalah ayah saya sendiri. Bahkan saya sengaja membiarkan orang salah sebut nama saya yang sebenarnya “Husein” menjadi “Ja’far”. Jadi, nama “Ja’far” tak lain adalah nama ayah karena bagi saya, semua capaian ilmu dan dakwah saya yang secuil ini karena dari ayah saya.
Sebab, fanatisme adalah kebutaan yang menyebabkan kita tak bisa melihat sesuatu selain yang kita fanatiki. Sementara itu, Nabi Muhammad mengajarkan kita melihat segala sesuatu agar bisa menemukan hikmah atau pelajaran yang terselip untuk kita pungut. Semua hikmah adalah harta karun orang beriman yang hilang. Jadi, harus dipungut di mana saja kita menemukannya, meski dari mulut orang munafik sekalipun.
Oleh sebab itu, saya mau menegaskan dulu bahwa guru saya begitu banyak dan beragam. Mulai dari pesantren, kampus, media sosial, hingga kehidupan.
Hikmah guru
Guru, kata suatu hikmah yang kerap dinisbatkan pada Sayyidina Ali, adalah siapa saja yang mengajari kita walau satu huruf. Dan, betapapun durhakanya orang tua Anda pada Anda, tetap saja mereka adalah guru Anda yang wajib Anda berbakti. Berbuat baik, bukan berarti patuh karena tak ada kepatuhan untuk kesalahan, keburukan, atau kemaksiatan.
Mustahil Anda sama sekali tak pernah belajar meski satu huruf pada orang tua. Dan, beruntunglah orang tua yang anaknya belajar berucap Bismillah dan melafalkan Al-Fatihah darinya. Setiap bacaan mulia itu dilafalkan, orang tua itu mendapat aliran pahala meski telah wafat. Amal akan terus mengalir, meskipun orang telah wafat. Itu adalah ilmu yang bermanfaat.
Kali ini saya mau memanfaatkan cerita hubungan saya dengan Habib Jindan justru sebagai rangkuman perjalanan hubungan saya dengan para guru-guru saya. Agar jadi bekal bagi kita, bukan hanya para guru, untuk menggurui agar tak salah. Karena di negeri jauh di sana, “Wakanda”, sedang ada fenomena di mana minat jadi guru rendah, tapi minat menggurui tinggi.
Malas menjadi guru karena gajinya kecil dan setiap orang harus memenuhi kebutuhannya yang kadang tak kecil. Sementara itu, minat menggurui semakin tinggi karena merasa dirinya pintar dan yang penting ego terpuaskan.
Baca halaman selanjutnya: Mencium tangan Habib Jindan…