MOJOK.CO – Jika tidak butuh-butuh amat, apalagi untuk menyambung perjalanan ke luar provinsi, saya malas untuk menggunakan jalan Tol Dalam Kota Jakarta.
Hari-hari berkomuter di Jakarta bukan kegiatan yang menyenangkan bagi beberapa orang. Apalagi ketika harus menggunakan transportasi publik. Kondisi ini membuat beberapa warga Jakarta yang lebih mampu memilih untuk menggunakan mobil pribadi maupun taksi. Maka dari itu, mengingat kemacetan dan jarak yang masih bisa ditempuh dalam hitungan jam, biaya jalan tol menjadi hal yang lumrah di kota ini.
Jalan tol utama di kota ini tentu adalah jalan Tol Dalam Kota atau Bahasa Inggrisnya adalah Jakarta Inner Ring Road. Sesuai namanya, tol ini hanya mencakup titik-titik di tengah kota dengan trek berbentuk sirkuit.
Pagi di hari Lebaran pertama menjadi momen yang bagus untuk berkeliling. Kamu bisa muter-muter berulang dengan sekali bayar. Daya tarik yang bisa dilihat penumpang adalah Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta International Stadium, Kompleks DPR-MPR dan Taman Ria Senayan, empat mal serangkai di sepanjang trek Tomang-Grogol (Taman Anggrek, Central Park, Neo Soho, Citraland), serta Jayakarta Hotel di kawasan Kota Tua.
Sayangnya, jalan Tol Dalam Kota Jakarta ini cenderung macet juga
Yah, tentu saja kecuali di pagi buta, sebelum masyarakat mulai berangkat kerja atau tengah malam. Saking banyaknya mobil di Jakarta, meskipun sistem ganjil-genap berlaku, jalan raya dan jalan Tol Dalam Kota sering sama macetnya di jam sibuk. Belum lagi jika pintu keluar tol ada di titik-titik dengan kemacetan parah. Bagaimana mobil dari tol bisa keluar dengan nyaman?
Misalnya, keluar di Pintu Tol Semanggi dari arah Grogol bisa memakan waktu hingga lebih dari setengah jam di pagi hari. Ini buat keluar jalan tol saja, lho.
Lalu, pengemudi dari arah Senayan ke Grogol di sore hari harus berjibaku dengan kemacetan di sekitar Slipi. Penumpang lain yang hendak menyambung ke tol Jakarta-Tangerang itu cukup banyak. Mereka memperebutkan jalur di jalan layang penghubung yang hanya berlebar satu mobil.
Tantangan lain harus dirasakan oleh mereka yang berkutat di area Kelapa Gading, Tanjung Priok, Sunter, Kemayoran, sampai Ancol. Yah, siap-siap saja bertarung dalam kemacetan bersama tumpukan truk kontainer.
Baca halaman selanjutnya
Pintu Tol Dalam Kota relatif kecil dan pendek…
Pintu Tol Dalam Kota Jakarta yang relatif kecil dan pendek
Masalah pasti terjadi ketika ada pengemudi mengalami kesulitan melakukan tap kartu e-toll. Biasanya makin parah ketika si pengemudi kekurangan saldo. Kejadian ini bisa menyebabkan antrean panjang. Pasti bikin sebal semua yang mau masuk tol dan pengguna jalan raya biasa. Semua faktor ini membuat sulit sekali bagi pengemudi di Tol Dalam Kota Jakarta untuk memenuhi ketentuan kecepatan minimum selama jam sibuk. Sudah tidak murah, tetap macet pula, kan menyebalkan.
Bagaimana dengan mereka yang tinggal di pinggiran kota? Warga Cengkareng yang sertifikat rumahnya ada di Jakarta Barat harus membayar biaya tambahan di jalan tol Prof. Sedyatmo, atau yang lebih dikenal dengan tol Bandara Soekarno-Hatta.
Warga Taman Semanan Indah, yang rumahnya juga di Jakarta Barat, perlu membayar biaya tambahan di jalan tol JORR dan Prof. Sedyatmo atau Jakarta-Tangerang. Demikian pula warga Lebak Bulus atau Jakarta Garden City, siap-siap membayar tol tambahan JORR. Khususnya, tol JORR ini usianya masih relatif muda alias pembebasan lahannya mahal sehingga tarif juga mahal sekalipun untuk jarak sangat pendek.
Nah, mahal dan macetnya Tol Dalam Kota ini sering membuat perjalanan menjadi tricky. Sepanjang saya menjadi warga Jakarta, pengetahuan “jalan tikus” dari pengemudi online, rental mobil, taksi, atau Google Maps bisa menghemat biaya tol, waktu tempuh, dan bahkan jarak tempuh. Dengan terbatas dan mahalnya lahan, sulit menambah luas jalan tol (ditambah memakan jalan raya). Membuat jalan tol susun seperti MBZ juga merepotkan dan terlihat tidak layak untuk Jakarta. Jadi?
Sebaiknya kudu bagaimana?
Pemda DKI Jakarta tidak bisa memberikan solusi instan untuk membuat jalan tol lebih lengang. Sudah begitu, jalan tol di Jakarta ini lebih banyak dimiliki oleh pihak swasta. Mereka ini tentu senang kalau jalan tol penuh. Sehingga, aksi koboi dengan menggratiskannya oleh Pemda seperti yang pernah dilakukan Pak Dahlan Iskan harus dilakukan dengan hati-hati. Tarif tol yang naik juga hanya akan membuat pengemudi menjerit di awal meski ujung-ujungnya akan tetap menggunakannya juga.
Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemda untuk membuat jalan tol lebih lengang adalah, pertama, memperbaiki transportasi publik. Ini sudah teori yang paling benar untuk semua jenis masalah transportasi.
Kedua, memberikan disinsentif untuk pengguna mobil secara keseluruhan setelahnya. Tindakan semena-mena tanpa kalkulasi yang matang hanya akan menaikkan biaya transportasi. Nantinya malah menimbulkan efek domino ke biaya masyarakat yang lain sekalipun mereka tidak mengemudi.
Ketiga, membuat skema tarif tol yang lebih adil berdasarkan jarak tempuh. Tujuannya supaya kemacetan seperti yang pernah muncul di Pintu Tol Karang Tengah tidak perlu terjadi. Keempat, Pemda dan pengelola jalan tol perlu mempertimbangkan menggunakan sistem ERP, onboard unit (OBU) untuk pembayaran tanpa perlu berhenti, dan pengenaan tarif berdasarkan jarak.
ERP bukan barang baru di Jakarta. Namun sayang, implementasinya entah kapan. OBU sudah pernah ada, tetapi tidak sukses karena harga perangkat mahal. Sementara itu, pengenaan tarif berdasarkan jarak pernah dilakukan tetapi dihapus oleh kebijakan satu tarif.
Saran dari saya untuk Tol Dalam Kota Jakarta
Ketika pengelola hendak melakukan perbaikan atau peningkatan kualitas yang tidak bersifat darurat, sebaiknya dilakukan di jam sepi. Ya, lagi-lagi ini sulit karena membutuhkan tenaga penerangan eksternal.
Penerapan tilang elektronik (e-TLE) untuk menindak mereka yang lalai berlalu lintas akan membantu mengurangi kemacetan. Misalnya tilang yang sering terjadi ketika pengemudi dari arah Jelambar harus memutuskan mau belok kiri ke arah Bandara Soekarno-Hatta atau kanan ke Jembatan Tiga dan malah membuat macet.
Satu lagi. Untuk pengelola, boleh minta tolong pagar pembatas jalan tol di sekitar Kompleks DPR/MPR ditinggikan lagi? Beberapa pengemudi pasti cemas ketika unjuk rasa terjadi. Nah, biar sama-sama enak antara pengguna jalan dan yang sedang unjuk rasa, sebaiknya jalan tol tetap steril. Begitu.
Sekian cerita saya mengenai jalan Tol Dalam Kota Jakarta. Jujur, jika tidak butuh-butuh amat, apalagi untuk menyambung perjalanan ke luar provinsi, saya malas untuk menggunakannya.
Bahkan, saya lebih rela untuk berjibaku di kepadatan transportasi publik daripada lelah mengemudi di ibu kota. Meskipun demikian, saya tetap peduli kualitas jalan tol demi tetangga, saudara, rekan kerja, dan Anda semua warga Jakarta yang sehari-hari mengemudikan mobil. Semangat!
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jalan Layang MBZ, Mimpi Buruk Pengguna Jalan Tol Jakarta-Jawa Barat dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.