Inilah Akibatnya Kuliah di Madinah Gara-Gara Nonton Ayat-Ayat Cinta

Inilah Akibatnya Kuliah di Madinah Gara-Gara Nonton Ayat-Ayat Cinta

Inilah Akibatnya Kuliah di Madinah Gara-Gara Nonton Ayat-Ayat Cinta

MOJOK.CO – “Kenyataan tak seindah di film Ayat-Ayat Cinta.”

Saya lihat-lihat Mojok jadi mimbar ekspresi beberapa oknum mahasiswa dalam menumpahkan kekesalannya. Mulai dari Teknik Mesin, Teknik Perkapalan, sampai Sastra Jawa. Saya ingin katakan kepada mereka, tak baik, Kawan, berkeluh kesah dengan keadaanmu itu. Tengok sana, masih banyak, bahkan ada jutaan, pemuda-pemudi di negeri kita yang tidak berkesempatan nelen bangku kuliah kayak kalian-kalian ini. #pesanmoral

Kebalikan dari mereka-mereka, saya justru akan sharing dunia mahasiswa kami di sini. Jadi sekali lagi, biar jelas, saya hanya bercerita, bukan berkeluh kesah. O ya, sebelumnya perkenalkan, saya adalah mahasiswa Jurusan Hadis di sebuah universitas negeri milik Kerajaan Saudi Arabia. Kalau kalian pernah dengar ceramah Ustadz Kholid Basalamah atau pernah milih PKS yang ketua dewan syuranya Ustadz Salim Segaf Jufri, nah itu senior-senior saya. Untuk status sendiri saya single fighter, member dari klub Jomblo Sampai Halal, dan penikmat buku Ustadz Felix Udah Putusin Aja!.

Jujur, bagi saya, ketika film KCB yang merupakan kepanjangan dari Ketika Cinta Bertasbih diputar, tetiba muncul di relung diri saya yang paling dalam keinginan untuk bisa keluar negeri guna menuntut ilmu. Apalagi sebelumnya saya dijejali film Ayat-Ayat Cinta dengan Fahri, Aisyah, dan Maria-nya. Maka, makin mantaplah niat saya harus bisa ke luar negeri.

Alhamdulillah, Allah YME mengabulkan cita-cita saya ini. Sebelum keberangkatan, bayangan-bayangan indah tentang sosok Fahri menggema di pikiran saya. Karakter Fahri serasa begitu dekat dengan saya. Saya kadang membatin, apakah saya akan bisa menjadi the next Fahri? Sosok yang berwibawa, cerdas, tutur katanya yang menghunjam hati, ditambah lagi posisinya sebagai wakil ketua DPR. Eh, Fahri siapa dah yang di Ayat-Ayat Cinta? Ya sudah lupakan.

Sosok Fahri yang ditodong beberapa akhwat untuk menikahinya, dari Aisyah, Maria, Noura, Salmafina, Ya Raaab… inikah yang disebut surga sebelum surga itu? Bayangan-bayangan sosok Azzam tokoh utama KCB yang bertemu jodoh di bumi tempat ia menuntut ilmu juga membuat saya senyum-senyum sendiri di kesunyian malam.

Dan harapan tinggallah harapan. Nyatanya, di kampus kami tidak ada mahasiswi asing (luar Saudi), begitu juga dengan kampus-kampus lain di KSA. Mahasiswi pribumi asli Saudi banyak, tapi yaaa gimana ya ngomongnya…. Intinya, muamalah kami dengan para mahasiswi bisa dibilang nol besar alias nothing. Terlebih di kampus saya sendiri sama sekali blas nggak ada mahasiswi. Baik pribumi, asing, apalagi aseng.

Kami tinggal di asrama dan semuanya itu laki-laki. Ada sih perempuan, tapi itu kucing yang emang lumayan banyak di lingkungan asrama kami. Jadi, buat antum-antum yang berprinsip sambil menyelam nyeduh teh tarik atau sambil belajar juga mencari jodoh dan dikagumi mahasiswi-mahasiswi, baiknya direnungkan kembali niat kuliah di Saudi-nya.

Ada salah satu scene dalam film KCB yang begitu melekat di pikiran saya. Yaitu, momen dalam sebuah bus ketika Ukhti Ana yang kelak jadi istrinya Azzam bilang ke si Azzam pada awal perkenalannya. “Anta Andunisiy? Kamu orang Indonesia ya?”

Aaarrrgh, saya membayangkan sengilu-ngilunya sambil mempersiapkan jawaban-jawaban jika kelak peristiwa demi peristiwa itu terjadi pada diri saya.

Na’am. Saya emang beberapa kali ditanya “Anta Andunisiy?”. Masalahnya, yang nanya bukan Ana, Aisyah, atau siapa pun yang pernah saya harapkan, tapi soal tadi ditanyaken oleh orang Arab, baik yang mukim alias tinggal di sini ataupun jemaah umrah yang lagi berkunjung ke Nabawi.

Salah satunya adalah kek begini. “Anta Andunisiy?” lalu pertanyaan tadi dilanjutkan dengan soal lain, “Ente bisa mijet? Atau ada kenalan yang bisa mijet?” What the hell is going on? Indonesia bangsa yang besar dengan ribuan pulau dan ente cuman nanya bisa mijit apa kagak?

Atau selain mijit tadi, kadang saya ditanya, “Ente Indonesia ya? Yang makanannya Indomie?” Oh, Tuhan, inginku berkata kasar.

Pertanyaan-pertanyaannya adalah,

Anta Andunisiy? Berapa kira-kira duit yang dibutuhkan perjalanan dari sini ke Puncak?”

Anta Andunisiy? Saya cari perempuan Indo nih buat jadi istri?”

Rasa-rasanya saya pengin bacain Ayat Kursi di ubun-ubunnya orang-orang model tadi.

Etapi, nggak semua begitu, banyak juga kok yang bilang, “Anta Andunisiy? Masyaallah, Indonesia kuwais (bagus)!” sambil kasih jempol.

Kekerasan verbal tak hanya dilakukan oleh orang-orang Arab, namun juga oleh kaum sendiri. Baik yang di Indonesia ataupun yang mukim di Saudi.

Pas lagi pulang kampung saat liburan musim panas, misalnya. Ketika ada beberapa oknum manusia Indonesia datang ke rumah. Beberapa tamu itu kadang nanya ke daddy setelah ayah saya bilang, “Ini anak saya dari Madinah lagi pulang kampung.” Ekspresi wajar sebagai ayah yang bangga sama anaknya.

“Oooh, kerja di mana, Pak?” kata si tamu.

“Kuliah, Pak, alhamdulillah,” jawab ayah saya.

Aseeem jawaaa, batin saya berbisik.

Ternyata, mindset people kita itu kalau di Saudi ya pasti TKI. Saya bukannya memandang rendah para TKI, tapi saya ini kan emang bukan TKI. Di paspor saya ada visa yang dikasih oleh pemerintah Saudi dan itu tulisannya visa belajar, luuur, bukan visa kerja.

Jemaah umrah asal Indonesia juga kalau nanya persis sama. Kalau udah kek begitu, saya biasanya jawab, “Iya, Pak, ada kerjaan di daerah situ,” sambil menunjuk arah kampus. Biar dia puas dengan dan nggak banyak nanya lagi. Nyatanya, malah kadang ada yang nanya berapa gajinya. What.

Yang orang Indonesia mukimin alias tinggal di sini juga kadang kalau buka obrolan pasti nanya, kerja di mana, Mas? Gajinya berapa? Malah temen saya pas jawab bahwa kita per bulan dapat sekian ratus riyal Saudi tanpa menjelaskan bahwa status kita pelajar, si doi ini malah dengan pedenya bilang,

“Wah kekecilan itu, Mas. Kalau segitu mending kerja ikut saya aja.”

Duh, Gusti, rasanya mau bilang, “Mas belom pernah kelilipan batang korma ya?”

Padahal saya udah nulis buku antologi bareng kawan-kawan Persatuan Pelajar Indonesia a.k.a. PPI Dunia. Padahal juga saya udah masuk grup WhatsApp tim elit Penulis Mojok guna panjat sosial biar dikenal banyak orang. Kemudian saya terhenti pada satu titik perenungan: apa saya harus buat IG terus posting-posting video baca Quran atau ceramah sambil kasih keterangan “mahasiswa Madinah”, lalu nikahin akhwat selebgram biar semua orang pada tahu kalau saya ini mahasiswa? Hah?

Exit mobile version