MOJOK.CO – Membayangkan upah Jogja setara dengan upah Jakarta memang terdengar utopis. Namun, masak bermimpi saja mau ditanya KTP-nya mana?
Ketika Anda membaca judul di atas, mungkin yang terbesit adalah, “Ah ngimpi!” Ya benar, memang mimpi, karena dengan realitas hari ini, upah minimum di Jogja kelewat jauh dibanding Jakarta.
Namun, mari membayangkan skenario ini. Pada suatu masa, upah minimum Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta) setara dengan Jakarta. Bayangin saja dulu, tidak usah bilang mustahil!
Sekarang mari coba membayangkan situasi Jogja ketika upah minimum mereka sejajar dengan orang-orang yang bikin iri di ibu kota. Apakah akan terjadi chaos? Atau lebih baik dari hari ini? Saya menawarkan salah satu kemungkinan yang terjadi. Sebuah kemungkinan yang membuat Anda berpikir, “Lah, kenapa tidak dari dulu UMP naik?”
Tentu saja saya tidak akan menawarkan dongeng 1001 malam. Semua ini tetap berlandaskan realitas hari ini dan kemungkinan di masa mendatang. Jadi inilah skenario upah minimum Jogja setara Jakarta menurut Prabu Yudianto.
Butuh 13 tahun sampai upah minimum Jogja setara Jakarta
Sebelum membayangkan yang muluk-muluk, mari kita melihat potensi upah minimum Jogja bisa setara Jakarta. Kita harus memperhatikan poin pertama ini, yaitu aturan kenaikan upah. Menurut Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No.18/2022, ambang batas kenaikan upah per tahun adalah 10%. Sementara itu, prediksi kenaikan upah tahun 2024 adalah 3%.
Besarnya kenaikan upah ini beragam tiap daerah. Dulu, yang menentukan kenaikan upah adalah besar angka Kriteria Hidup Layak (KHL). Namun, saat ini, menggunakan PP Nomor 51 tahun 2023, kita menghitung kenaikan upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Aturan baru ini tentu memupuskan mimpi upah minimum Jogja bisa meroket.
Nah, mari kita lupakan sejenak aturan baru itu. Mari membayangkan jika kenaikan upah Jogja sebesar 10% setiap tahun. Sementara itu, kenaikan upah Jakarta mengikuti prediksi, yaitu 3%. Kira-kira, kapan upah keduanya akan setara?
Menurut hitungan kasar saya, upah Jogja baru setara dengan upah Jakarta setelah 13 tahun, yaitu di angka Rp7,5 juta. Bahkan dengan skenario paling positif dan utopis, butuh satu dekade lebih agar warga Jogja bisa bersaing dengan Jakarta. Dengan catatan warga Jakarta legowo dengan kenaikan 3% dan warga Jogja bisa menekan pemerintah untuk menaikkan upah sampai 10% selama 13 tahun. Tapi lupakan kemustahilan itu sejenak.
Jika upah minimum Jogja bisa terus naik hingga sejajar Jakarta, apa yang terjadi? Apakah ketakutan para pembela upah murah jadi kenyataan? Atau harapan para buruh untuk hidup lebih baik yang terjadi.
Baca halaman selanjutnya: Hal menarik apa saja yang terjadi ketika upah Jogja setara Jakarta?
Para pekerja bisa menjangkau biaya hidup di kota pelajar
Perkara pertama yang sering mengganggu isu kenaikan upah adalah urusan biaya hidup. Apakah dengan kenaikan upah yang signifikan, biaya hidup di Jogja akan ikut meroket? Berdasarkan realitas, jawabannya adalah tidak!
Jogja hari ini mengalami defisit gaji. Artinya, upah yang diterima belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, bahkan kurang. Namanya saja defisit. Makanya, kenaikan upah yang signifikan hanya untuk menutup defisit ini. Jadi jangan mengira kenaikan 10% bisa membuat warga kota gudeg langsung foya-foya. Jangan lupa, biaya hidup di sini mulai setara dengan kota-kota besar.
Perkara pangan bisa menjadi contoh sederhana. Rerata kenaikan pangan 3 tahun terakhir sebesar 5,3%. Berarti, angka kenaikan ini lebih besar daripada kenaikan upah minimum. Kenaikan kebutuhan hidup lain malah lebih parah. Misal kenaikan biaya pendidikan yang menyentuh angka 15%. Jadi, kenaikan upah minimum bukan berarti hidup bergelimang harta. Semata-mata hanya membawa hidup masyarakat menjadi lebih layak.
Jurang kesenjangan akan menyempit
Salah satu dampak upah minimum Jogja setara Jakarta adalah perkara kesejahteraan sosial. Kita patut mengingat bahwa angka kemiskinan ekstrem di Jogja termasuk tinggi. Lebih parah lagi, angka kesenjangan sosial di sini pernah jadi yang paling parah se-Indonesia pada 2022 dan 2023. Upah minimum yang naik signifikan tentu bisa menjawab perkara ini.
Upah minimum yang lebih layak membuat kita jadi punya kemampuan belanja lebih baik. Termasuk ketika berhadapan dengan investor maupun pendatang. Misalnya, untuk perkara ruang hidup, warga Jogja kini lebih mampu membeli tanah dan hunian (agak bisa) bersaing dengan orang dari Jakarta atau kota besar lainnya. Meskipun kenaikan tanah menembus 20% tiap tahun, namun warga Jogja kini lebih mampu untuk menguasai lahan.
Jika upah minimum Jogja setara Jakarta, maka jurang kesenjangan warisan upah murah akan mulai menyempit. Syukur-syukur ikut menekan gini ratio. Kita jadi tidak lagi kesulitan memenuhi kebutuhan hidup paling dasar.
Mengalami pergeseran model industri
Salah satu “kambing hitam” rendahnya upah minimum Jogja adalah perkara industri. Sektor pendidikan, pariwisata, dan UMKM masih memegang dan menjadi kekuatan industri. Ketiga industri tersebut tidak mampu bersaing dengan industri besar di daerah lain dengan upah tinggi. Nah, misalnya, jika besaran upah menjadi setara Jakarta, industri di Jogja akan ikut bergeser.
Model industri baru dengan margin profit besar akan masuk menggantikan industri lama. Tidak harus manufaktur, namun industri lain seperti perbankan maupun fintech yang kini populer. Perusahaan teknologi multinasional juga bisa mengisi sektor baru industri. Namun ini akan jadi PR besar bagi pemerintah daerah.
Berbagai intensif yang mengundang industri harus dirilis pemerintah. Pembangunan infrastruktur pendukung juga harus dilakukan untuk menarik minat industri. Tentu pemerintah juga harus menggeser doktrin pembangunan. Dari pembangunan berbasis pariwisata menjadi ramah industri. Dari transportasi sampai teknologi harus menjadi prioritas Pemerintah DIY.
Maka, dengan begitu, Jogja akan punya wajah baru. Mungkin tidak lagi romantis seperti dongeng-dongeng influencer, tapi lebih efisien bagi masyarakatnya. Eits, tenang saja, masih ada UU Keistimewaan yang menjaga kita semua, kok. Ya, kan? Ya, dong! Masak warganya nggak dijagain, sih?
Menjadi harapan baru
Upah Jogja yang setara Jakarta juga akan menggerakkan daerah di sekitarnya. Terutama kabupaten satelit DIY seperti Klaten, Magelang, dan Kebumen. Tentu masyarakat Jawa Tengah akan berbondong-bondong mencoba peruntungan di Jogja. Daerah Istimewa ini akan berubah, dari tanah lahir perantau menjadi tujuan perantau.
Sebenarnya perkara ini tidak akan jadi kejutan sosial yang besar. Mengingat selama ini, Jogja juga sudah menampung banyak perantau dari luar daerah. Namun dengan upah minimum setara Jakarta, pasti akan membuat persaingan kerja juga semakin keras. Tentu kita sudah punya modal awal dan lebih siap mengingat kita sudah jadi produsen banyak tenaga ahli di kota-kota besar.
Saya bisa saja membahas lebih jauh tentang skenario ini. Namun yang pasti, Jogja akan jadi lebih baik. Tidak ada salahnya upah minimum naik, bahkan bersaing dengan Jakarta. Pertanyaannya, apakah Jogja siap untuk itu? Dari pemerintah daerah sampai masyarakat harus memantaskan diri untuk hidup lebih layak dan sejahtera.
Saya pikir masyarakat sudah siap, bahkan rindu hidup sejahtera. Kini tinggal pemerintahnya. Siap tidak membawa Jogja ke masa lebih sejahtera? Nek kene onone mung siap, ndan!
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Menjelaskan ke Orang Jakarta bahwa Jogja itu Bukan Murah, tapi Agak Salah Urus dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.