Konon salah satu alasan Bapak Presiden kita Joko Widodo untuk menghukum mati adalah statistik yang mengatakan ada 50 orang mati tiap hari karena narkoba. Setahun ada 18.000 orang yang meninggal. Ini angka fantastis. Sungguh, jika melulu statistik yang jadi pertimbangan, maka ini angka yang teramat kecil dibandingkan angka kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Lho, kok bisa?
Setidaknya 120 kematian terjadi tiap harinya, jika dikalkulasi pertahun ada 38.400 kematian. Angka ini naik dari 2013 sebanyak 26.464 kasus, menurun dari 2012 sebanyak 29.544 dan 31.234 kasus pada 2010. Nah kalo statistik memang yang digunakan sebagai pembenaran eksekusi mati, maka para produsen kendaraan bermotor, terutama roda dua, di Indonesia harus dihukum mati. Mereka membunuh lebih banyak daripada bandar narkoba.
Eh tunggu dulu? Menyamakan korban narkoba dengan kecelakaan lalu lintas? Ini kan tidak adil. Korban kecelakaan kan tidak sengaja, mereka tidak punya pilihan. Ya mana ada orang mau mati? Mana ada orang yang pengen naik motor terus mati. Mereka hanya sial saja. Sial tidak pakai helm, tidak pelan pelan, tidak sengaja ditabrak, dan tidak sengaja masuk jurang karena mengendarai motor saat mabuk.
Tapi korban narkoba? Mereka itu dipaksa oleh bandar, ya dipaksa pake narkoba, dipaksa over dosis, dipaksa mati, mereka saat itu tidak sadar memakai narkoba. Mereka yang pakai narkoba pasti karena ingin mati. Mereka pasti dipaksa make narkoba, pokoknya dipaksa, bukan karena keinginan sendiri. Mereka dijebak. Mereka adalah korban. Pokoknya tidak mungkin seseorang pakai narkoba secara sadar. Tidak mungkin orang mencari narkoba, pasti bandar yang maksa. Kalo tidak pasti diancam dibunuh.
Untuk itu, para bandar ini pantas dihukum mati. Alasannya? Ya karena memaksa orang tidak bersalah memakai narkoba. Ratu Narkoba seperti Mary Jane Veloso ini pantas mati, gembong narkoba yang kaya raya, penghasilannya miliaran. Nah belakangan ketahuan kalau di Filipina, rumah Mary Jane ini bobrok kaya kandang ayam. Ah, itu pasti pencitraan. Wong portal berita Detik saja udah kasih gelar Ratu Narkoba. Pasti kaya, dong?
Orang yang menolak hukuman mati bandar narkoba sudah jelas adalah pendukung peredaran narkoba. Lho jelas, tho? Bandar Narkoba itu merusak negerasi bangsa, jadi mereka yang nolak bandar dieksekusi regu tembak pasti bagian dari sindikasi narkoba itu sendiri. Sama dengan pendukung perlindungan hewan itu pasti hewan, orang yang pro kretek pasti merokok, dan pendukung hak-hak LGBT pasti gay.
Pokoknya, kalo mendukung itu mesti sama dengan apa yang didukungnya. Tidak bisa tidak.
Nah, kalo misalnya nih, misalnya, sistem dan aparatus hukum Indonesia masih bermasalah gimana? Emangnya hukuman mati itu bisa dibenarkan? Ya mosok mau membersihkan kamar berdebu dengan sapu berlumpur. Sistem peradilan kita ini, produk hukum yang memberi vonis mati, lahir dari sistem yang sama dengan vonis yang memenangkan gugatan pra peradilan Budi Gunawan dan menghukum ringan Rasyid Rajasa.
Oh, tidak bisa. Hakim Sarpin itu mesti dikritisi, tapi kalo hakim-hakim vonis narkoba mah pasti bener. Mana mungkin mereka salah? Mereka itu wakil Tuhan di bumi, maksum, dan terbebas dari salah. Makanya, penyanyi warga negara asing kayak Anggun itu gak usah didengerin. Pasti dia itu juga bagian dari sindikat narkoba. Suratnya Anggun itu kan minta agar presiden memberikan grasi kepada Sergei. Grasi itu artinya membebaskan dan mendukung peredaran narkoba, kan? Pasti itu.
Kita harus bikin surat terbuka buat Anggun. Kurang ajar, sudah bukan warga negara Indonesia, penyanyi, sok-sokan bikin surat terbuka memohon grasi. Pasti dia itu ingin merusak generasi bangsa dengan membebaskan Sergei. Ya mosok grasi itu artinya memohon ampunan hukuman mati dan menggantinya dengan hukuman seumur hidup? Grasi artinya dibebaskan. Titik!
Kita harus serang kewarganegaraanya. Mentang-mentang sekarang orang Prancis, bela warga Prancis yang mau dihukum mati. Pokoknya gak mungkin Anggun itu membela karena alasan kemanusiaan.
Kamu harus jadi orang Jepang untuk peduli bencana yang ada di Jepang. Kamu mesti jadi orang Palestina untuk peduli sama Palestina. Salah satu syarat wajib kepedulian itu adalah status kewarganegaraan. Lainnya tidak.
Nah, satu lagi Australia. Itu Australia itu apa gak bisa menghormati hukum di Indonesia? Sok-sok mau boykot, sok protes. Padahal dulu pas zaman Amrozi diem aja. Giliran warganya mau dieksekusi, protes. Sekarang mereka mau menarik duta besarnya. Negara kok ngambekan? Kayak pemerintah Indonesia, dong! Dua warganya dieksekusi diam-diam di Arab Saudi, kita biasa aja. Gak menarik duta besar juga. Padahal sudah banyak yang dieksekusi di Arab Saudi. Kita udah biasa aja, jadi ya gak perlu narik-narik.
Pokoknya bandar narkoba itu harus dihukum mati. Tapi ya enggak semua. Kita ini jangan kejam-kejamlah. Kita ini negara yang menghormati HAM, kok. Contohnya Freddy Budiman. Dia kan berhak mengajukan PK, itu hak asasi manusia. Jadi tunggu dia ngajukan PK dulu, baru dieksekusi. Kita ini negara hukum, jadi mesti patuh hukum. Semua terpidana mati berhak mendapatkan PK, kecuali apes kayak berkas PK Zainal Abidin yang sudah dihukum itu.
Ya namanya juga manusia, bisa bikin salah. Maaf, ya, Almarhum Zainal Abidin… Gak sengaja nih, berkasnya keselip 10 tahun.