MOJOK.CO – Kalau bisa bayar influencer puluhan juta, pasti bisa menghargai dosen lebih dari Rp300 ribu. Iya, dosen sudah terlalu sering ikhlas dan terbiasa kecewa.
Pagi ini, sebelum dunia bergegas menuju kekacauan jam mengantar anak ke sekolah, saya duduk di meja makan dengan secangkir kopi arabika Banyuwangi honey. Aromanya manis, ada rasa floral yang lembut, semacam bujuk rayu yang membuat kita percaya bahwa hidup masih baik-baik saja.
Jari tangan saya lincah menggulir Instagram. Sampai tiba-tiba berhenti di satu unggahan dari sayan @junaydfloyd Mas Ahmad Junaidi, dosen di UnRam yang sekilas mirip vokalis Dewa 19, Marcello Tahitoe alias Ello. Saya dan beliau, sesama dosen atau buruh akademik, kenal dari jauh. Namun, kami terasa dekat karena profesi ini memang lebih banyak cerita sedih dan rintihan.
Isi postingannya membuat saya ingin mengelus dada pelan-pelan, tanpa irama. Hanya untuk meyakinkan diri bahwa saya masih punya dada yang bisa dielus.
https://t.co/vRIeVUvh8N pic.twitter.com/MKH4HvbO7D
— IG @burhanuddinmuhtadi (@BurhanMuhtadi) November 6, 2025
Ceritanya sederhana, tapi pedih. Seorang dosen diundang menjadi pembicara sebuah acara mahasiswa. Acara itu berbayar, dengan ratusan peserta, dan ada influencer yang diundang dengan riders, hotel, dan honor belasan juta.
Sementara beliau, dosen dengan gelar Ph.D., “sang” yang bertahun-tahun kuliah di Monash University Australia, riset, publikasi, mengabdi, sebagai bonus punya follower yang banyak juga! Setelah acara tersebut, dia pulang membawa 300 ribu rupiah.
Tiga. Ratus. Ribu!
Saya sempat terdiam lama. Rasa kopi saya mendadak berubah menjadi seperti robusta paling pahit diseduh pakai mesin espresso. Sebagai sesama dosen, saya langsung tahu perasaan itu.
Bukan tentang uangnya
Kalau soal berbagi ilmu gratis, banyak dari kami sudah melaksanakannya belasan tahun. Kami mengisi KKN, pelatihan masyarakat, ceramah masjid, jadi moderator dadakan, bahkan menjadi panitia plus pembicara plus dokumentasi dalam satu tubuh. Kami sudah sangat akrab dengan kata “ikhlas”.
Tapi yang sering bikin nyesek bukan nominalnya. Yang bikin perih itu ketidaksetaraan rasa hormat.
Karena ketika seorang influencer mendapat bayaran belasan juta dengan alasan “mereka bisa menarik massa”, tapi dosen dibayar tiga lembar uang biru dengan alasan “Ini acara mahasiswa, mohon maklum ya, Pak”, ada pesan simbolik yang diam-diam ditanam:
Bahwa pengetahuan tidak dianggap punya nilai. Ilmu itu bisa dicari di Google, jadi buat apa menghargai orang yang mempelajarinya bertahun-tahun? Sertifikat kompetensi dan ijazah kalah dengan jumlah followers.
Influencer dan dosen: Hilangnya otoritas pengetahuan
Kalau Tom Nichols membaca ini, mungkin beliau akan tepuk jidat sambil menarik napas panjang. Seperti orang yang baru membaca komentar netizen di TikTok.
Karena ini persis seperti yang dia tuliskan dalam The Death of Expertise. Bahwa kita hidup di zaman ketika orang merasa semua pendapat itu setara. Bahkan ketika satu pendapat lahir dari 10 tahun riset, dan satu lagi lahir dari 10 menit nonton YouTube.
Tidak ada lagi “otoritas pengetahuan”. Yang ada hanya “siapa yang paling rame”.
Yang ironis, acara-acara seperti ini sering mengangkat tema “pengembangan diri”, “critical thinking”, “membangun kualitas SDM unggul”, atau slogan-slogan futuristik. Yang kalau dibaca cepat terasa seperti tagline startup yang sudah tutup dua tahun lalu.
Dan di dalam ruangan itu, ada seorang dosen berdiri, menjelaskan dengan penuh hati, menjawab pertanyaan peserta dengan sabar. Dia memberi contoh konkret, menyusun narasi yang runtut, sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh influencer, orang yang hanya bermodal kemampuan memikat kamera depan.
Lalu seminggu kemudian, panitia mengirimkan dm sopan:
“Izin mengirimkan uang transport, Pak. Terima kasih banyak ya.”
Dan transport yang dimaksud adalah Rp300 ribu. Bahkan belum tentu cukup untuk transportasi jika berasal dari luar kota.
Dosen seperti badut pendidikan
Entah kenapa, rasanya seperti dosen sedang menjadi badut berpendidikan. Tapi kami bertahan.
Kami tetap bangun setiap pagi. Lalu, kami membaca, menulis, mempersiapkan materi kuliah. Tak lupa menyusun RPS, membimbing skripsi, dan ikut rapat evaluasi kurikulum yang tidak pernah selesai. Dan kami, tetap masuk kelas dengan suara yang dibuat bersemangat meskipun jiwa kadang ingin diam saja.
Kenapa?
Karena ada momen-momen kecil yang anehnya mampu membuat semua kelelahan itu terasa berarti. Misalnya:
Seorang mahasiswa yang akhirnya menemukan topik skripsi yang dia cintai.
Seorang alumni yang tiba-tiba kembali hanya untuk bilang, “Terima kasih, dulu Bapak/Ibu pernah bilang sesuatu yang mengubah cara saya melihat hidup.”
Seorang mahasiswa yang pada minggu pertama tidak berani bicara, tapi minggu ke-14 tiba-tiba bisa presentasi dengan percaya diri.
Itu tidak bisa dibayar. Tidak ada invoice-nya. Tidak bisa dihitung dalam e-Money.
Negara yang kurang menghargai pengetahuan
Momen-momen itu semacam rapalan mantra yang membuat dosen tetap bertahan. Yah, meski kadang rasanya seperti hidup di negeri yang tidak benar-benar ingin menghargai pengetahuan.
Tapi bukan berarti kita tidak boleh marah. Justru harus, karena penghargaan pada dosen bukan hanya soal uang tapi soal martabat.
Dan mahasiswa harus belajar bahwa menghargai pengetahuan adalah bagian dari membangun peradaban. Kalau dari kampus saja mereka diajari bahwa ilmu itu murah, lalu besok ketika mereka jadi pejabat, pengusaha, manajer, atau pemimpin organisasi, kira-kira apa yang akan terjadi?
Kita tahu jawabannya. Kita sudah melihatnya di layar televisi setiap hari.
Jadi, kalau ada satu pesan yang ingin saya sampaikan kepada adik-adik penyelenggara acara kampus, dengan segala respek dan kasih sayang sebagai kakak tingkat yang sudah terlalu sering ikut rapat:
Belajarlah menghargai pengetahuan. Dan hormatilah orang yang mengabdikan hidupnya untuk itu.
Kalau kamu bisa bayar influencer belasan juta, kamu pasti bisa menghargai dosen lebih layak dari Rp300 ribu. Kalau kamu tidak bisa bayar, tidak apa-apa katakan dari awal, terang-terangan. Jangan bungkus dengan kalimat manis yang ujung-ujungnya bikin luka.
Karena kami para dosen sudah terlalu sering ikhlas.
Tapi jangan sampai kami terbiasa kecewa.
Penulis: Fuadi Afif
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Derita Jadi Dosen Muda, Disepelekan Mahasiswa dan Dosen Tua dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.











