Jalan Satu Arah Stasiun Lempuyangan Jogja Gagal, Makin Macet dan Terjadi Banyak Pelanggaran

Hindari Jalan Satu Arah Stasiun Lempuyangan Jogja Macet Parah! MOJOK.CO

Ilustrasi Hindari Jalan Satu Arah Stasiun Lempuyangan Jogja Macet Parah! (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSistem jalan satu arah di depan Stasiun Lempuyangan Jogja harusnya jadi solusi kemacetan. Namun kini, sistem tersebut terbukti gagal. 

Salah satu usaha untuk memperlancar arus lalu-lintas adalah sistem satu arah. Ada kata “usaha” di kalimat tersebut. Dan namanya “usaha”, bisa berhasil, bisa juga nggak. Nah, salah satu contoh kegagalan sistem satu arah di Jogja adalah jalanan di depan Stasiun Lempuyangan. 

Nama resmi untuk satu ruas jalan di depan Stasiun Lempuyangan adalah Jalan Lempuyangan. Seperti yang saya singgung di paragraf awal, satu ruas jalan yang pendek ini adalah wujud kegagalan “usaha” pemerintah Kota Jogja untuk mengurai kemacetan di sana.

Pemerintah Kota Jogja tentu punya semacam “dosa” di sini. Namun, di sini, kita harus sadar bahwa mereka tidak sepenuhnya bersalah. Selalu ada andil masyarakat di sebuah fenomena yang tidak seharusnya terjadi. Yah, mau nggak mau, kita harus mengakui itu dulu sebagai usaha penyadaran akan pentingnya perubahan. Iya, “usaha” aja dulu. 

Sistem satu arah di depan Stasiun Lempuyangan

Sebagian besar warga lama Kota Jogja pasti akrab dengan kemacetan yang selalu terjadi di depan 2 stasiun: Tugu dan Lempuyangan. Salah satu usaha untuk mengurai kemacetan itu adalah menggunakan sistem satu arah. Niatnya, supaya tidak terjadi penumpukan di depan stasiun, khususnya di jam-jam kedatangan dan keberangkatan kereta api.

Sistem satu arah di Stasiun Lempuyangan sendiri berlaku sejak 2016. Warga hanya bisa melintas dari barat. Meski awalnya agak merepotkan, ternyata warga menyambut positif usaha ini. Maklum, saat itu, lalu-lintas menjadi lebih lancar. Ingat, ruas jalan di sana memang sempit untuk 2 arah.

Dua tahun kemudian, pada 2018, Antara mencatat bahwa di depan Stasiun Lempuyangan sering terjadi pelanggaran arah. Artinya, ada “perubahan sikap” dari pengguna jalan. Dari yang awalnya memaklumi sistem satu arah sebagai solusi kemacetan, menjadi (mungkin) kesal dan malas untuk taat aturan.

Pelanggaran yang terjadi

Ada beberapa ragam pelanggaran yang terjadi di sistem satu arah Stasiun Lempuyangan. Saya rasa, semuanya dilakukan oleh pengendara sepeda motor yang lebih “fleksibel” untuk bermanuver melawan arus lalu-lintas. Kalau mobil melawan arus, kok rasanya sulit. Meski mungkin ada saja tapi saya tidak tahu.

Pelanggaran pertama yang jamak terjadi adalah pengguna jalan malas untuk memutar ketika hendak menuju Jalan Hayam Wuruk atau Jalan Tukangan. Mereka lebih memilih melawan arus, melipir di sisi kiri jalan.

Aksi ini sangat mengganggu dan sungguh berbahaya. Mereka yang melawan arah membuat pengendara yang melintas di depan Stasiun Lempuyangan jadi gelagapan. Sudah begitu, karena menyebabkan penumpukan kendaraan, di depan stasiun malah muncul kemacetan baru. Apalagi, mereka yang melawan arah ini biasanya lebih galak ketimbang yang tertib.

Pelanggaran kedua, masih melawan arah, adalah menuju stasiun itu sendiri. Mereka ini biasanya hendak bepergian naik KRL atau menjemput seseorang. Memang, memutar lewat Kota Baru rada jauh. Memutar lewat selatan, malah lebih jauh kalau tidak tahu jalan pintasnya.

Makanya, mereka memilih nggak peduli dengan keselamatan. Mereka akan melipir dan berhenti di depan Stasiun Lempuyangan. Ada juga yang langsung masuk tempat parkir. Kalau langsung masuk tempat parkir, artinya mereka sudah melawan arah, masih harus menyeberang pula. Ribet sekali.

Baca halaman selanjutnya: Semua gara-gara parkir yang nggak pada tempatya.

Sistem satu arah dan tempat parkir

Rizky Prasetya, salah satu kru Terminal Mojok, menulis bahwa sistem satu arah itu ironis. Niatnya bikin lancar, tapi biasanya malah jadi runyam karena keberadaan “parkir liar” di kiri dan kanan jalan. Pada derajat tertentu, saya setuju dengan pendapat Mas Rizky ini.

Adalah Stasiun Lempuyangan yang menjadi contoh ironi itu. Sistem satu arah ingin membuat jalanan jadi lega. Sehingga, kendaraan bisa melaju dengan nyaman. Namun, yang terjadi justru “ironi” itu. Kiri dan jalan Jalan Lempuyangan, bahkan pas di depan pintu masuk, menjadi arena tempat parkir.

Di depan stasiun persis, kamu bisa menemukan tukang parkir menata motor dengan rapi. Bahkan bisa sampai 2 lapis ketika ramai. Sementara itu, di sisi selatan, sudah sejak dulu menjadi barisan warung, parkir, dan penyewaan kendaraan. Jadi maklum kalau sisi selatan pasti penuh oleh motor yang berjejer. Yang bikin saya risih adalah “tempat parkir liar” di depan stasiun persis.

Saya katakan “liar” karena sisi jalan itu seharusnya steril. Kalau ada yang menumpuk motor di sana sampai 2 baris, jalanan pasti tersendat. Apalagi para pengantar yang naik mobil juga berhenti di sana. Alhasil, pemandangan serba kacau terjadi.

Sampai di sini, para pemangku kebijakan dan pihak stasiun seharusnya segera membenahi tata ruang Stasiun Lempuyangan. Kasihan mereka yang menggantungkan hidup dari menjadi tukang parkir. Namun, aktivitas mereka malah menjadi gangguan bagi pengendara.

Memaklumi Stasiun Lempuyangan

Sebetulnya saya ingin memaklumi kondisi ini. Beneran. Saya maklum kalau “kekacauan” ini terjadi. Pertama, tempat parkir yang “resmi”, yang berada di lingkungan Stasiun Lempuyangan, memang super kecil. Padahal, animo KRL di stasiun ini sangat besar. Masuk akal kalau parkir resmi tidak mampu menampung motor.

Sementara itu, di sisi selatan Stasiun Lempuyangan juga lama-lama penuh juga. Nasibnya sama seperti tempat parkir resmi. Dan sudah sejak lama kondisi ini terjadi. Apakah pihak stasiun dan PT KAI tidak memprediksi hal ini?

Seharusnya para pemangku kebijakan itu bisa memprediksi. Masyarakat pasti akan beradaptasi demi bertahan hidup. Kalau parkir resmi dan parkir di selatan penuh, seperti air mengalir ke curahan, motor-motor itu akan memenuhi ruang kosong: di depan pintu masuk stasiun!

Dua hal terakhir dari saya. Pertama, kondisi jalanan di depan Stasiun Lempuyangan bukti kegagalan sistem satu arah. Ada “dosa” pemerintah di sana. Namun, masyarakat juga ada andil. Jadi, supaya sama-sama enak, kalian duduk bersama, lah. Cari jalan keluar paling enak, menguntungkan semua pihak, termasuk pengguna jalan yang hanya ingin melintas.

Kedua, ini menjadi bukti kegagalan transportasi publik di Kota Jogja dan sekitarnya. Kalau sistem transportasi publik sudah ideal (yang mana saya pesimis bakal kejadian), orang nggak perlu bawa motor atau mobil kalau mau ke Stasiun Lempuyangan. Sesederhana itu, kan? Iya, lah, sederhana. Ngapain dibuat ribet?

Dan pada akhirnya, yang menempati posisi “paling rugi” atau “menjadi korban” pasti masyarakat. Karena masyarakat pasti akan sampai titik di mana mereka akan bilang: “Mau gimana lagi?”

Ya karena kami, warga negara, nggak mendapat pilihan yang enak. Nektar warga bernama pajak terus mengucur, tapi kemudahan jauh dari kata subur.

Penulis: Moddie Alvianto W.

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kasta Miskin Stasiun Lempuyangan Jogja yang Sudah Lebur dan Nggak Lagi Kalah dari Stasiun Tugu Jogja dan analisis menarik lainya di rubrik ESAI.

Exit mobile version