Hidup Tak Semudah ‘Cocote’ Deddy Corbuzier

Hidup Tak Semudah ‘Cocote’ Deddy Corbuzier

Hidup Tak Semudah ‘Cocote’ Deddy Corbuzier

MOJOK.COBeberapa hari lalu saya dipertemukan kalimat-kalimat motivasi dari Master Deddy Corbuzier. Waaw, hidup memang semudah ituuu.

“Oke, gua mau cerita, jujur cerita ini belum pernah gua ceritain sebelumnya…” adalah kalimat pembuka yang biasa kita temukan dalam cerita dewasa.

Tapi bukan, kali ini kata-kata itu bukan keluar dari tulisan stensilan, melainkan muncul dari mulut seorang doktor plus master yang podcast-nya laku keras, merajai tangga YouTube Indonesia, Master Deddy Corbuzier, Ph.D.

Dalam video berdurasi tiga menitan layaknya video 3gp zaman pubertas, beberapa hari lalu blio berkisah sekaligus memotivasi orang untuk tetap hidup sehat pada masa pandemi ini.

Monggo disimak sebelum kita lanjutkan, Lur;

Gimana, Gaes, positif banget kan?

Memang, celotehan Om Deddy Corbuzier ini vibes-nya positif untuk membangkitkan semangat orang-orang kaya, meski yaaah tetap saja ada hal yang mengganjal.

Sangat mengganjal seperti posisi orang miskin di pangkuan oligarki ini. Kayak kerikil yang bikin kesandung, dicari cuma buat nahan boker. Pas lega ya dibuang lagi.

Based on cocote him, blio menceritakan bahwa dirinya tidak terpapar covid padahal blio merawat empat orang sanak familinya yang positif.

Isolasi mandiri dilakukan di rumah Deddy Corbuzier dengan protokol kesehatan yang ketat, home care paling optimal, dan Deddy di PCR dua hari sekali. Sekali lagi dibaca, PCR dua hari sekali.

Wow, selamat Anda telah membacanya dalam satu tarikan napas! Itu artinya saturasi Anda bagus sekali!

Ya hal ini menjadi wajar sebab dengan penghasilan seorang pesohor kondang seperti dirinya, PCR yang hampir separuh UMR Jogja itu nggak ada apa-apanya. Berarti dua kali PCR Om Deddy Corbuzier sudah bisa menghidupi kawan saya, si Alex, dari Banguntapan. Alhamdulillah, berkah Covid!

Deddy Corbuzier pun kemudian mengungkapkan bahwa pemerintah kita (baca: Pemerintah Republik Indonesia ya, bukan Pemerintah Burkina Faso) sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menangani pandemi ini.

Lantas blio juga mengatakan kalau seyogyanya kita ini tidak serta merta menyerahkan tanggung jawab ini kepada Pemerintah. Memang betul, tidak seyogyanya kita pasrahkan tanggung jawab ke pihak lain, terutama sekali Yogya sendiri sudah pasrah nggak kuat mbayari rakyatnya.

Huvt, izinkan saya menenggak air mawar sebelum menanggapi master satu ini

Om Deddy yang baik hati… dalam teori klasik politik manapun, kita sebagai rakyat mau itu miskin ataupun kaya berlindung di bawah payung yang sama bernama negara. Nah dalam negara ini, ada orang-orang yang diberikan mandat oleh rakyat untuk melayani mereka, sebutannya pemerintah.

Tugasnya melayani rakyat dalam urusan kesehatan, perlindungan keamanan, pendidikan, kesejahteraan yang semuanya tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Ini pelajaran PPKN Kelas 5 SD, Om. Ya kali aja Om Deddy lupa.

Masalahnya, Pemerintah kita ini (meskipun saya KTP Selandia Barat), belum menjalankan tugas dan kewajiban tersebut secara optimal menghadapi pandemi yang sudah berumur 16 bulan ini, bahkan cenderung denial.

Dari mulai joget anti-covid, kelakar para menteri yang penuh premis tanpa punchline tentang corona, sampai review sinetron oleh seorang menteri. Tak mau kalah yang kiwari adalah rencana anggota dewan yang terhormat, mendapat fasilitas isoman di hotel bintang tiga.

Yaaah, like they’re doing their craziest thing they can do lah like you said Oom Dedi.

Pandemi ini membuka mata kita loh Om Dedi bahwa sebetulnya ada bias kelas yang jurangnya semakin lebar karena perekatnya lepas.

Nah, perekat itu tadi namanya Pemerintah. Idealnya, Pemerintah harus bisa merangkul semuanya, tapi terkadang yang dibantu dan dilayani hanya segilintir doang. Bukan terkadang sih, Om Deddy. Sering.

Saat pejabat tinggi negara menyempatkan hadir di pernikahan Atta Halilintar, kita yang sebagian besar tergolong rakyat kecil sibuk bahu-membahu membantu sanak saudara atau kenalan yang kebetulan positif Covid-19 dengan kemampuan seadanya.

Lantas, ketika rakyat sudah bekerja keras sendirian itu, ujug-ujug Pemerintah datang sambil mengapresiasi, bahwa yang kami lakukan sebagai wujud gotong royong. Terus muncul baliho politisi di tempat kami, seolah-olah gotong royongnya kami adalah kontribusi dia. Seolah muncul dari kebijakan dia.

Lah, lah? Kan bulldog banget itu ya, Om, ya?

FYI aja ya Om Deddy, seorang sejarawan besar Indonesia, Prof. Bambang Purwanto mengungkapkan kalau gotong royong itu merupakan respons atas liberalisme ekonomi abad ke-19.

Solidaritas komunal ini menjadi mekanisme masyarakat untuk saling berbagi resiko krisis ekonomi namun kemudian dimistifikasi oleh penguasa sebagai pengalih inkompetensi mereka, terutama saat Orde Baru berkuasa.

Jadi simpelnya, kita “gotong royong” itu akibat realitas absennya penguasa pada saat rakyat menghadapi krisis. There’s nothing new under the sun right, Om?

Seandainya tujuan utama penanganan Covid-19 ini adalah demi kesehatan serta keselamatan rakyat bukan wakil rakyat, yakin deh Om Deddy nggak perlu ngundang mantan Menteri Kesehatan yang cuma disuguhi air mineral khas Madura, Le Minerale.

Karena bagaimanapun Om, saat membaca kalimat “innalilahi” semudah geser ke kiri instastory, di situ lah sebenarnya mulai ada pejabat-pejabat yang tuli atas tragedi.

Pandemi membuka kotak pandora yang selama ini kita kunci rapat-rapat. Om Deddy hidup dengan privilese sebagai pesohor yang kita bisa saksikan sehari-hari melalui YouTube, pasti berbeda dengan Dedi Ojol, Dedi Serpis Kompor, atau Dedi Pijet yang saat ini mereka bahkan nggak kelihatan batang hidungnya.

Apakah mereka bisa makan hari ini atau mengikuti saran Om Deddy yang Ph.D ini, untuk diet tapi nggak tahu sampai kapan ujungnya?

I can survive until now, that’s why you can,” kata ciamik khas motivator ini memantik kita untuk membayangkan duduk dalam kursi serta meja makan yang sama seperti Om Deddy Corbuzier.

Makan tiga kali sehari dengan menu 4 sehat 5 sempurna jangan lupa ditutup dengan minum suplemen multivitamin. Waaaw, sedap betul.

Membiasakan workout, beberapa buruh di Cikarang sudah mengawali dengan work out akibat pandemi dan UU Ciptaker. Membayangkan isoman di rumah mewah sesuai anjuran pemerintah untuk tetap #dirumahaja selayaknya Om Deddy.

Padahal, banyak dari kita yang masih hidup di rumah tipe 4L (lu lagi, lu lagi) alias kontrakan petak dengan kamar mandi multifungsi (tempat cuci, tempat mandi, cum wadah jemur nasi). Sampai hype anjuran minum susu beruang yang memang beruangnya nggak ada.

Om Deddy Corbuzier juga mengingatkan kalau kita harus jaga imun salah satu caranya dengan olahraga setiap hari.

Iye Om Ded, Dedi kuli panggul Pasar Induk Cipinang saban hari juga olahraga ngangkutin beras naek turun lante tiga. Cuma bedanya dia ngelakuin bukan buat naikkin imun kayak situ, tapi emang cari penghidupan. Lagian, apa sih gunanya imun kalau nggak bisa hidup?

Pada akhirnya, Deddy Corbuzier mengingatkan kita akan pepatah lawas Banyumas, homo homini lupus, siapa yang kuat akan terus, yang lemah akan mampus, lha piye negara kon ra urus.

Lagipula, asal Om Deddy Corbuzier tahu aja. Hidup di masa pandemi gini, kata-kata motivasi tak akan membuat rakyat lebih hidup, karena sejak awal memang hidup rakyat tak pernah mengandalkan kata-kata motivasi.

Kalau hidup di masa pandemi memang semudah cocote Om Ded, nggak bakal ada itu PSBB dan PPKM, apalagi sampai ada level-levelannya segala.

Dan di akhir, ada kalimat pamungkas yang paling saya suka dari celotehan Om Deddy Corbuzier, Survival for the fittest, what else do you wait?”

Om, saat kematian manusia hanya tersaji dalam data kemudian dilukis dalam kurva tanpa ada rasa bersalah negara, maka saya cuma mau komentar; “We are waiting until the God will calling. DPR first as soon as possible.”


BACA JUGA Hidup Memang Tak Semudah ‘Cocote’ Mario Teguh dan tulisan Bambang Widyonarko lainnya.

Exit mobile version