MOJOK.CO – Kenaikan harga rokok perlu dipertimbangkan ulang, supaya badai krisis ekonomi yang dialami rakyat setidaknya dapat diringankan.
Belum lama ini, pemerintah secara resmi telah menetapkan harga rokok baru 2022. Artinya, terjadi kenaikan cukai. Alasan paling menggelitik pemerintah, melalui Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan, adalah perokok itu beban negara dan menghabiskan anggaran BPJS sampai Rp15 triliun.
Angka yang fantastis dan tidak tanggung-tanggung. Namun, yang perlu disorot adalah bagaimana bisa rakyat, sebagai salah satu syarat berdirinya sebuah negara, dianggap oleh negaranya sendiri sebagai beban.
Alih-alih koruptor, pemilik perusahaan cangkang, jalan-jalannya pejabat ke luar negeri, pembelian PCR besar-besaran, malah rakyat yang harus membayar mahal. Salah satunya dengan menjadi “korban” naiknya harga rokok.
Apakah keputusan menaikkan harga rokok lewat cukai sudah tepat sesuai Undang-Undang Dasar 1945? Duh, sebelum membawa UUD 1945, mungkin perlu diingatkan bahwa hak kesehatan juga diatur secara internasional melalui Universal Declaration Human Rights (UDHR) Pasal 25, yang kurang lebih bunyinya seperti ini:
“Setiap orang berhak atas standar hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan hak atas keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, menjanda, lanjut usia, atau kekurangan mata pencaharian lainnya dalam keadaan di luar kendalinya.”
Baru kita masuk Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik, dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Masih kurang? Baiklah, kita bisa mengutip Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang bunyinya seperti ini; “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Dari kutipan peraturan di atas, tidak ada istilah terkecuali perokok atau peraturan ini memiliki syarat dan ketentuan berlaku bagi perokok yang semacam promo-promo kekinian. Jelas tertulis bahwa setiap orang. Sekali lagi, setiap orang!
Artinya, pemenuhan kesehatan itu mengikat. Bentuk tanggung jawab negara tanpa terkecuali kepada rakyat (bisa dilihat di jurnal berjudul “Tanggung Jawab Negara Terhadap Jaminan Kesehatan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”. Bukannya malah rakyat dianggap menjadi beban negara. Kalau rakyat marah gimana, coba? Padahal penutup defisit Rp15 triliun dari BPJS itu, salah duanya ditutup melalui Rp164,87 triliun dari tembakau dan Rp7,3 triliun dari minuman beralkohol. Panjang umur perokok dan pemabuk!
Terus apa sih itu kesehatan, sampai-sampai Ibu Sri Mulyani menggerutu? Berikut isi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan:
“Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis.”
Ada definisi lainnya jika pembaca tidak percaya dengan UU tersebut, misalnya definisi kesehatan dari WHO:
“Kesehatan adalah keadaan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang lengkap dan bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan.”
Yah, kalau membaca dua penjelasan di atas, kok kayaknya saya skeptis ada manusia yang masih dalam keadaan sehat di situasi pandemi seperti sekarang. Jika merujuk pada Fromm di dalam bukunya yang berjudul Memiliki dan Menjadi, bahwa masyarakat modern hanya akan menciptakan individu-individu yang sakit.
Artinya, selama negara ini memiliki ketidakwarasan dalam melihat situasi maupun kondisi, hal itu hanya akan menyebabkan patologi di masyarakat. Bahkan, anggapan perokok adalah seorang pesakitan yang menghabis-habiskan jaminan kesehatan nasional merupakan satu argumentasi ketidakwarasan sehingga harga rokok harus naik. Tampaknya negara ini perlu memberikan pengobatan terhadap cara pandang jajarannya.
Kembali lagi ke alasan perokok yang disalahkan menghambur-hamburkan uang negara tadi. Alasan tersebut menjadi dasar menaikkan cukai sebesar 12%. Cukai tersebut digunakan untuk pengendalian konsumsi, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja, dan mencegah peredaran rokok ilegal. Mari kita bahas satu per satu kiranya apakah program cukai, yang sejak dahulu kala ada memang berhasil?
Pengendalian konsumsi
Pengendalian konsumsi adalah salah satu aspek yang memiliki tujuan baik. Perlu digarisbawahi di sini, negara memiliki andil besar untuk mewujudkannya. Ingat, sering kita dengar bahwa naiknya harga rokok (cukai) dapat menurunkan prevalensi perokok.
Namun, sebenarnya, naiknya harga rokok (cukai), tidak memiliki relevansi dengan pengendalian konsumsi rokok. Itu cuma bualan di siang bolong. Menurut hasil survei Prakarsa dengan 1.440 koresponden perokok di enam wilayah (Malang, Lampung Selatan, Tangeran, Gowa, Bandung, dan Banyumas) pada 2018 dan termuat dalam Policy Brief “The Effect of Large Cigarette Price Increase on Smoking Behaviour in Indonesia: What Smoker Tell Us” memaparkan bahwa kenaikan harga rokok mencapai 50% hanya akan menghasilkan 87,93% tetap merokok dan 12,07% berhenti merokok.
Dari 87,93% itu, sejumlah 58,46% tetap merokok dengan merek yang sama. Rata-ratanya, 27,81% tetap merokok seperti biasa dan 30,65% mengurangi konsumsi rata-rata. Sejumlah 29,47% mengganti merek rokoknya yang lebih murah, kemudian 12,62% tetap dengan kesamaan konsumsi rata-rata–dengan ganti merek tadi. Sisanya, 16,85%, mengurangi rata-rata konsumsi rokok. Itu baru naik setengahnya dari harga rokok. Perokok akan tetap merokok, meskipun harga rokok naik dua kali lipat. Bisa dibayangkan betapa tidak berfaedahnya kenaikan cukai dalam mengurangi jumlah perokok.
Optimalisasi cukai rokok sebagai sumber pendapatan negara
Benar saja, dari data bea dan cukai, komposisi pendapatan negara cukai rokok telah menyumbang 14% dari jumlah penerimaan negara. Bahkan data dari Kementerian Keuangan, data yang diambil dari tempatnya Ibu Sri Mulyani, menyebutkan bahwa cukai hasil tembakau memberikan sumbangan sebesar 95–96% dari total penerimaan cukai di Indonesia.
Di tengah pandemi, sumbangan untuk penerimaan dengan porsi seperti itu sangatlah besar. Padahal, industri pengolahan tembakau sedang mengalami badai minus pada 2020 sebesar -5,78%, sementara pada Q1 dan Q2 2021 juga mengalami minus yang masing-masing sebesar -9,58% dan -1,07%.
Bayangkan jika dalam keadaan surplus, mungkin atlet-atlet Indonesia akan banyak menjuarai kompetisi lintas galaksi seperti Dragon Ball, atau acara-acara musik di Indonesia lebih meriah dari Woodstock Festival. Tidak ada lagi gigs dengan modal kolektif.
Lalu, pernyataan Ibu Sri Mulyani sangat aneh. Bagaimana bisa disebut meningkat sedangkat industrinya saja sedang mengalami defisit. Tuduhan yang disangkakan oleh Ibu Sri sebaiknya segera dikoreksi.
Selain itu, klaim Ibu Sri Mulyani terhadap kerentanan perokok terhadap Covid-19 sangatlah terburu-buru. Dalam jurnal yang berjudul “Is there a smoker’s paradox in Covid-19” menyebutkan bahwa perlu penelitian lebih dalam dan berhati-hati sebelum menyimpulkan mengenai kerentanan perokok terhadap Covid-19, begitupula sebaliknya terhadap kekebalannya yang selama ini didengungkan.
Terakhir, tenaga kerja di ekosistem pertembakauan ini selalu luput disorot meskipun harga rokok naik terus. Jika cukai dinaikkan, tentu produksi rokok akan berkurang. Imbasnya, PHK massal bakal terjadi. Porsi DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau) yang dinilai tidak efektif ternyata betul-betul terjadi.
Tentang rokok ilegal
Peredaran rokok ilegal memang sulit ditangani. Negara saja tidak mampu membendung permintaan film atau lagu bajakan yang merugikan produsen serta artis, apalagi rokok ilegal. Rokok ilegal, menurut PPKE FEB UB, merupakan komoditas alternatif di tengah melambungnya harga rokok yang disebabkan oleh naiknya cukai.
Mungkin, dalam penelitian Prakarsa yang telah disebutkan sebelumnya, mereka yang beralih merek rokok berkemungkinan beralih mengisap rokok ilegal. Sementara wacana yang muncul pada 2019 melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menyebutkan rokok berada di peringkat kedua setelah beras yang memberikan sumbangan besar terhadap garis kemiskinan; beras (20,35%), rokok kretek filter (11,17%). Data ini memiliki dua tafsir, pertama tidak masuk akal, kedua menciptakan pilihan rasional (alternatif).
Pertama, jika memang dianggap penyumbang kemiskinan, kenapa rokok masih dijadikan lumbung penerimaan negara? Sejatinya segala penerimaan yang masuk ke kas negara memiliki tujuan untuk menyejahterakan. Sementara rokok dengan tingkat konsumsi tinggi malah menciptakan kemiskinan. Ini bukan lagi paradoksal, namun akan memunculkan kecurigaan publik lebih besar terhadap negara.
Kedua, para perokok akan mencari alternatif yang lebih murah, bisa saja rokok ilegal. Sebab menurut PPKE FEB UB, setiap kenaikan 1% jumlah peredaran rokok ilegal, berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9% dalam jangka pendek, sedangkan dengan kenaikan yang sama dapat menurunkan jumlah pabrikan rokok secara signifikan sebesar 4,31% dalam jangka panjang.
Pangsa pasar rokok ilegal jelas, yaitu masyarakat miskin yang tidak mampu membeli rokok legal karena harga rokok terus naik. Data BPS menyebutkan bahwa orang miskin di Indonesia itu 27,54 juta, sangat menguntungkan sekali bagi produsen rokok ilegal.
Ibu Bendahara harusnya sadar, mengetahui, dan memahami bahwa rokok adalah hal yang penting bagi masyarakat Indonesia. Imbas kebijakanmu berdampak pada sosial, ekonomi, budaya, politik, hingga psikologis rakyat. Bagi rakyat, rokok menjadi pelepas penat yang menenangkan, di tengah hiburan-hiburan rakyat mulai tiada.
Selama pandemi ini, malah tidak bisa kemana-mana, ekonomi pun juga mengalami paceklik. Namanya kebijakan, seharusnya bersifat dan bersikap bijak, bukan malah “menggencet” rakyat.
Kenaikan harga rokok perlu dipertimbangkan ulang, supaya badai krisis ekonomi yang dialami rakyat selama pandemi ini setidaknya dapat diringankan. Bukannya malah mengeluh dan menyalahkan rakyat sebagai subjek beban negara.
BACA JUGA Ada Hal Prinsip yang Dilupakan Kubu Antirokok dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Biko Nabih Fikri Zufar
Editor: Yamadipati Seno