MOJOK.CO – Ada stigma bahwa kalau orang hafal Al-Quran ya ia hanya cocok jadi guru agama. Lah apa salahnya kalau ia jago perkalian dan jadi fisikawan?
Seorang wali murid datang ke saya untuk menanyakan perkembangan anaknya di sekolah. Saya pun memberitahunya bahwa si anak sangat kesulitan mengikuti pelajaran matematika karena tidak hafal perkalian. Saya juga memintanya untuk membimbing si anak supaya belajar menghafal perkalian di rumah, mengingat si anak sudah kelas 5 SD.
Namun ia kemudian melontarkan pernyataan yang tak disangka-sangka yang tak pernah saya pikirkan sebelumnya, “Nggak apa-apalah ya, Bu, anak saya tidak hafal perkalian, toh nanti di alam kubur malaikat nggak bakal nanyain 5 x 5 berapa kan?”
Jika Anda berada di posisi saya, apa yang sebaiknya Anda lakukan?
A. Menghubungi alodokter untuk mendapat konseling dari psikolog
B. Berhenti menjadi guru
C. Pura-pura mati
Pada akhirnya saya pun melakukan opsi D, yaitu menulis di Mojok untuk melampiaskan kekesalan yang terpendam sekalian supaya bisa dapat honor.
Sebelum menjadi guru saya sering kali mengikuti kelas yang membahas berbagai pemikiran dan ideologi dari perspektif Islam. Salah satu topik yang sering dibahas adalah sekulerisme dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah Islam.
Dalam setiap kajian, pemeran antagonisnya—tentu saja—pemerintah, dalam hal ini kemendikbud yang dipercaya ingin memisahkan antara muatan agama dengan muatan umum. Sebab itulah, berbekal semangat ala ukhti-ukhti baru hijrah saya berniat menjadi salah satu martir dalam menumpas sekulerisme pendidikan dengan alih profesi menjadi guru sekolah dasar.
Sayangnya baru sebentar menjadi guru di sekolah Islam saya justru ingin segera mengibarkan bendera putih. Kenyataan di lapangan rupanya tak seburuk yang diceritakan, karena kenyataannya jauh lebih buruk.
Bahkan saya mendapati berbagai kondisi yang solusinya belum pernah tertuang dalam kitab Islam dan Sekulerisme karya Syekh Muhammad Naquib Al-Attas yang sering dijadikan rujukan oleh dosen saya. Contohnya adalah pernyataan seperti yang dilontarkan oleh wali murid tadi.
Selama ini saya hanya tahu pihak sayap kanan Islam selalu menuding pihak sayap kiri sebagai dalang utama sekulerisme yang terjadi dalam dunia pendidikan. Dengan mudahnya mereka berkata bahwa orang-orang sayap kiri terlalu mengedepankan akal sehingga melupakan agama, terlalu mendewakan ilmu dunia namun tidak mau belajar ilmu agama.
Saya tak menyangkal pendapat mereka karena nyatanya memang banyak orang seperti itu, bahkan mungkin saya juga masuk ke dalam kriteria orang sekuler versi mereka karena lebih sering belajar ilmu dunia sementara ilmu agama segitu-segitu saja.
Namun, yang membuat hal ini jadi lucu, seringnya orang yang menuding pihak lain sekuler rupanya tak kalah sekuler. Saat mereka menuding orang memisahkan ilmu agama dengan ilmu dunia nyatanya mereka pun melakukan hal yang sama. Tidak mau belajar sains karena takut jadi atheis, tidak mau belajar teknologi karena disinyalir buatan orang kafir, dan setumpuk alasan lainnya.
Pokoknya tiap disuruh belajar selain mengaji atau tidak ada kaitannya dengan agama langsung antipati. Tapi giliran sakit masih berobat ke dokter, ada barang rusak masih nyari mekanik. Jadinya orang yang mengantagoniskan orang lain malah jadi pemeran antagonisnya sendiri.
Siswa yang saya ceritakan di atas juga seperti itu. Mungkin tidak ada yang menyangka jika anak yang saya ceritakan di atas merupakan anak yang telah hafal 3 juz Al-Quran. Siswa ini begitu semangat setiap mengikuti pelajaran mengaji. Orang tuanya pun begitu getol mendidik anaknya supaya hafal Al-Quran, tapi giliran belajar soal “dunia” semangat keduanya langsung meredup. Dan anak seperti itu bukan cuma ada satu tapi masih ada lagi lainnya.
Saya tidak sedang membandingkan mana yang lebih baik antara hafal Al-Quran tapi tidak hafal perkalian atau hafal perkalian tapi tidak hafal Al-Quran. Jelas akan lebih bagus jika hafal kedua-duanya. Hanya saja begitu disayangkan jika seorang anak yang mampu menghafal 3 juz Al-Quran atau menghafal setara berlembar-lembar kertas tidak mampu menghafal perkalian.
Rasanya seperti punya banyak uang tapi tidak bisa digunakan. Punya otak cerdas namun tidak bisa dikembangkan. Dan saya yakin bin pasti ini bukan masalah bisa atau tidak, tapi mau atau tidak.
Ketika bertemu dengan ibunya dan mendapati ibunya berkata demikian, saya jadi tahu di mana letak kesalahannya. Ini semua hanya masalah persepsi.
Banyak orang yang menganggap bahwa seseorang yang fasih membaca Al-Quran hanya cocok bekerja menjadi ustadz, muazin, guru agama, atau mentor poligami. Pekerjaan “dunia” lainnya seolah jadi haram bahkan sulit didekati. Haram karena ada yang menganggap akan merusak keimanan, sulit karena memang tidak punya keahlian di bidang lain. Akhirnya pilihan karir pun mentok di situ-situ saja.
Padahal kalau mau melek sedikit sudah banyak tokoh yang mampu menguasai keduanya, dasar agamanya bagus tapi juga menguasai bidang lainnya.
Contohnya Ali bin Ibrahim Al-Naimi seorang yang hafal Al-Quran dan pernah menjadi Direktur Produksi di perusahaan minyak terbesar di dunia yaitu Saudi Aramco hingga sempat pula menjabat Menteri Sumber Daya Minyak dan Mineral di Arab Saudi.
Indonesia juga punya Ustaz Raehanul Bahraen, seorang bergelar ustadz namun juga merupakan dokter yang kini menjadi dosen FK Universitas Mataram. Jangan lupakan juga pendiri Rumaysho, website dengan konten keislaman yang didirikan oleh lulusan Teknik Kimia UGM sekaligus Master of Polymer Engineering dari King Saud University yaitu Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal.
Pada intinya mereka yang mampu menghafal Al-Quran nyatanya memang seseorang yang sangat cerdas dan bisa saja menaklukkan ilmu “dunia” lainnya, asalkan mereka “mau” tentu saja. Jadi sangat disayangkan bila para penghafal Al-Quran ini hanya dibatasi khasanah keilmuannya sebatas hafalan Al-Qurannya saja.
Seorang wali murid saya yang berprofesi sebagai dokter gigi dan pernah belajar di pesantren berkata, “Saya heran kenapa ada orang yang menyebut ini ilmu ‘dunia’ yang ini ilmu ‘akhirat’. Bukannya dunia memang tempatnya untuk mencari pahala supaya bisa dibawa ke akhirat? Jadi segala sesuatu yang kita pelajari kalau diniatkan ibadah berati masuk kategori ilmu akhirat kan?”
Sebab itu sering saya katakan pada murid-murid saya jika matematika dan ilmu lainnya juga berguna untuk pelaksanaan ibadah. Kita tidak mungkin bisa menghitung jumlah zakat atau menghitung hak waris jika tidak bisa matematika. Sains juga berguna untuk mengetahui waktu sholat dan sistem penanggalan.
Artinya, semua ilmu memang saling terkait. Ini hanya masalah prioritas mana yang harus dipelajari lebih dulu mana yang belakangan. Mengkotak-kotakkannya atau bahkan menolak salah satunya itulah yang, menurut saya, justru layak disebut dengan sekuler.
Tentang hal tersebut saya ceritakan pada siswa bagaimana ilmuwan muslim zaman dulu seperti Ibnu Sina, Al-Biruni, atau Abbas bin Firnas semasa kecilnya. Mereka belajar Al-Quran terlebih dahulu sampai khatam baru kemudian mengembangkan keilmuannya hingga menjadi saintis yang ilmunya berguna hingga kini.
Saya berharap dengan cerita itu si anak terinspirasi untuk lebih giat belajar matematika, sampai kemudian nasihat saya dibalas…
“…tapi Bu, kata ibu saya Ibnu Sina dan ilmuwan se-zamannya itu kafir dan sesat karena termasuk ahli filsafat. Tidak boleh dicontoh!”
Oke. Daripada jadi guru, pedagang cilok sepertinya lebih mudah dilakoni.
BACA JUGA Sulitnya Hadapi Anak yang Pernah Beragama Kristen, Hindu, Buddha, lalu Islam dan tulisan Ima Triharti Lestari lainnya.