MOJOK.CO – Saya kepikiran nasib orang kecil yang sudah bertahun-tahun menggantungkan rezekinya di Parkiran Abu Bakar Ali dan Malioboro.
Saya orang Jogja tulen. Kadang lewat Malioboro hanya sekadar untuk ngangsu suasana. Ketika melintas di Parkiran Abu Bakar Ali, ada rasa getir yang muncul. Pasalnya, pemerintah berencana membongkar Parkiran Abu Bakar Ali (ABA).
Yang lebih bikin saya cemas, bukan karena tempat parkirnya yang kelak hilang. Saya kepikiran akan nasib orang-orang kecil yang sudah bertahun-tahun menggantungkan rezekinya di situ. Rasa-rasanya mereka terombang-ambing tanpa kepastian.
Sebelum melangkah lebih jauh, mari kita luruskan peta kegetiran ini. Jadi, Parkiran Abu Bakar Ali itu lahir untuk mendukung Malioboro. Tujuannya biar nggak sumpek gara-gara motor dan mobil parkir sembarangan.
Sejak 2013, Parkiran Abu Bakar Ali menjadi tempat resmi buat wisatawan numpuk kendaraan sebelum plesiran ke Malioboro. Luasnya sekitar 9.600 meter persegi, menampung ratusan kendaraan, termasuk bus pariwisata. Praktis, parkiran ini bukan sekadar lapangan parkir, tapi nadi perputaran ekonomi kecil-kecilan.
Tapi semua itu tampaknya akan jadi cerita lama. Mulai April 2025, pekerja akan resmi membongkar Parkiran Abu Bakar Ali. Ini bagian dari misi besar. Jogja ingin mengembalikan Sumbu Filosofi dan mendukung status warisan dunia UNESCO yang baru disematkan buat Jogja tercinta.
Intinya, pemerintah mau mengubah Parkiran Abu Bakar Ali jadi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Saya tidak anti-RTH. Jangan salah, ya. Oksigen itu penting. Pohon rindang buat ngadem di tengah gempuran suhu 34 derajat Jogja dan Malioboro jelas sangat dibutuhkan.
Tapi, kalau pohon-pohon baru ini berdiri di atas reruntuhan nasib rakyat kecil, bukankah itu juga ironi yang kudu kita pikirkan?
Siapa yang kena getah dari pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali?
Banyak orang yang mencari rezeki di sekitaran Malioboro dan Parkiran Abu Bakar Ali. Mulai dari juru parkir, pedagang minuman, tukang souvenir, sampai tukang becak yang ngetem di sana. Setidaknya, ada ratusan orang yang terlibat langsung dalam ekosistem ekonomi ABA ini.
Mereka bukan orang-orang yang tiba-tiba bisa pindah profesi kayak main The Sims. Ada yang sudah puluhan tahun ngurus parkiran di situ. Anak-anak mereka sekolah dari uang parkir. Mereka bisa mencicil uang kontrakan dari jualan es teh kepada wisatawan.
Para pedagang dan juru parkir sendiri sudah menyatakan sikap. Mereka menolak rencana pembongkaran ini. Ironisnya, salah satu pengurus ABA bilang kalau tahu rencana ini justru dari media massa, seperti dilansir Detik.
Kalau tiba-tiba disuruh hengkang, sementara solusi masih setengah matang, ya tentu saja banyak yang gundah gulana. Parkiran Abu Bakar Ali memang sudah sepenting itu bagi mereka.
Ada yang mungkin dengan enteng berkata: “Kan bisa pindah ke tempat lain?”
Iya, di atas kertas bisa. Tapi dalam praktik, ya ampun, persaingan lahan parkir itu keras banget. Tempatnya sedikit, yang butuh banyak.
Baca halaman selanjutnya: Sedih melihat Parkiran Abu Bakar Ali hilang, tapi bisa apa….
Apakah solusi pemerintah untuk pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali sudah cukup?
Pemda DIY katanya sudah menyiapkan alternatif untuk parkiran Malioboro. Mereka akan “memecah” Parkiran Abu Bakar Ali ke beberapa tempat, yaitu Ketandan, Ngabean, Beskalan, dan Senopati.
Oke, menurut saya, kita harus menghargai inisiatif ini. Tapi ya gitu, Ketandan itu misalnya. Saat ini saja sudah sesak saat akhir pekan sebelum Parkiran Abu Bakar Ali dibongkar. Apalagi nanti?
Ada juga opsi parkir swasta. Pemerintah membuka peluang buat swasta mendirikan tempat parkir berizin. Tapi, apa rakyat kecil yang sudah biasa pegang lahan parkir bisa langsung bersaing sama pengusaha modal gede?
Pemerintah juga akan mengandalkan moda transportasi ramah lingkungan. Mulai dari bus listrik, becak listrik, sampai sepeda sewa. Ini menarik sih, ideologi kotanya keren, yaitu Jogja menuju zona rendah emisi. Tapi mari jujur sebentar.
Kalau wisatawan dari luar kota sudah kadung bawa mobil pribadi dan susah parkir, apakah mereka rela muter-muter cari tempat parkir jauh? Apakah mereka mau sambung transportasi lagi?
Ini tantangan besar bagi Jogja karena bukan hanya perkara menyediakan lahan parkir. Jogja juga harus memikirkan tata kota. Saya rasa, Trans Jogja, misalnya, belum cukup menjadi alternatif wisatawan. Banyak dinamika di sana tetapi biarlah jadi perdebatan di lain hari.
Karena kalau perkara lahan dan tata kota tak terselesaikan, malah bisa jadi efek domino. Wisatawan kapok, UMKM sepi, ekonomi rakyat malah ngos-ngosan. Jogja dan Malioboro siap?
Pilihan dilematis antara menyelamatkan Malioboro atau menyelamatkan perut?
Saya ngerti kok, kenapa pemerintah ngebet membongkar Parkiran Abu Bakar Ali. Sumbu Filosofi itu bukan perkara sepele.
Di dunia modern yang serba ngebut ini, keberhasilan Jogja mempertahankan warisan budaya adalah sesuatu yang patut mendapat tepuk tangan. Tapi, untuk urusan perut, yang bisa langsung merasakan “penggusuran” itu pasti beda cerita. Ruang Terbuka Hijau itu efeknya jangka panjang. Sementara lapar itu efeknya instan.
Ini bukan berarti saya menolak pembongkaran Abu Bakar Ali. Tidak sama sekali.
Saya justru mengajak kalau bisa, perubahan itu dirancang bukan sekadar dari atas meja pejabat, tapi juga dari suara rakyat kecil. Mereka yang hidup dari parkiran, seharusnya ikut terlibat dalam peta jalan solusi. Misal, bisa dibikinkan lahan parkir baru yang dikelola koperasi parkir milik mereka sendiri, bukan diserahkan ke investor besar.
Atau, membuat program pelatihan keterampilan baru buat para mantan juru parkir Parkiran Abu Bakar Ali. Pemerintah jangan cuma bilang “Sudah disediakan tempat baru kok,” lalu lepas tangan. Kasih pelatihan, akses modal usaha kecil, supaya mereka tidak sekadar jadi korban perubahan.
Karena kalau tidak, perubahan ini cuma memperindah kota buat foto Instagram. Namun, Jogja melakukannya sambil menumpuk luka-luka sosial yang diam-diam menggerogoti.
Apakah kita masih harus menimbang ulang slogan Jogja berhati Nyaman?
Jogja itu konon kota “berhati nyaman.” Tapi nyaman buat siapa? Kalau nyaman cuma buat turis, sementara rakyat kecil tersingkir dari Malioboro dan Parkiran Abu Bakar Ali, ya nyaman itu akhirnya hanya slogan tempelan.
Malioboro tanpa Abu Bakar Ali, mungkin akan lebih rapi, lebih estetik, lebih green. Tapi, akankah seindah itu di mata mereka yang kehilangan mata pencaharian?
Saya percaya, Jogja masih punya semangat gotong royong yang kuat. Saya juga percaya, bahwa rakyat dan pemerintah bisa saling dengar, bukan saling mematung.
Karena dalam soal ruang kota, yang harus kita perjuangkan bukan sekadar ruang hijau untuk pohon, tapi juga ruang hidup untuk manusia. Maka saya, sebagai anak Jogja, bukan menolak perubahan.
Saya hanya berharap, perubahan itu jangan sekadar merapikan kota untuk tamu-tamu, sambil diam-diam mengusir warganya sendiri dari ruang kehidupan. Kalau Jogja mau tetap jadi kota istimewa, rakyat kecilnya harus tetap punya tempat.
Bukan sekadar jadi penonton di trotoar Malioboro yang baru, sambil menatap langit kosong di atas bekas Parkiran Abu Bakar Ali.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Taman Parkir Abu Bakar Ali Malioboro Akan Ditutup, Berubah Jadi Ruang Terbuka Hijau dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
