MOJOK.CO – Diskriminasi adalah suatu perbuatan atau kebijakan yang memperlakukan seseorang atau kelompok secara berbeda dan saya akrab dengan hal ini.
Selama menjadi seorang recruiter lima tahun terakhir, cukup sering saya mewawancara pelamar kerja yang rentang usianya berkisar antara 35 sampai 45 tahun. Tidak sedikit juga di antara mereka yang masih berstatus sebagai karyawan biasa, alih-alih menempati suatu jabatan tertentu yang cukup bergengsi.
Dalam proses wawancara tersebut, mereka, kandidat yang berusia di atas 35 tahun, selalu punya kalimat template yang nyaris selalu saya dengar. Kalimatnya seperti ini:
“Sekarang, saya kerja apa juga mau, Pak. Soalnya, udah kepentok usia juga. Masuk dalam kualifikasi aja udah syukur.”
Melalui kalimat tersebut, mereka terjebak dalam zona ketidakpercayaan diri. Salah satunya karena justifikasi lawas. Lebih tepatnya karena diskriminasi usia atau ageism yang sudah menjadi “semacam budaya” di lingkungan profesional. Padahal diskriminasi adalah virus yang sepatutnya diobati. Bukan didiamkan, bahkan dimaklumi.
Tahukah kamu, secara pengalaman sekaligus kemampuan yang dimiliki, calon pekerja di usia 35 ke atas itu boleh diadu dengan para lulusan baru. Mereka juga siap diadu dengan calon pekerja di rentang usia tertentu. Intinya, sih, mereka masih kompetitif.
Namun, rendahnya rasa percaya diri mengubah kepribadian mereka. Dari kalimat tersebut juga, ada tiga hal yang kemudian saya garis bawahi. Pertama, “kerja apa juga mau”. Kedua, “kepentok usia”. Ketiga, “masuk kualifikasi aja udah syukur”.
Jika dikerucutkan, semuanya akan kembali kepada kualifikasi yang terdapat dalam info lowongan pekerjaan, yang dibuat oleh banyak perusahaan di Indonesia. Sulit dimungkiri bahwa, di sekitar kita, masih banyak info lowongan pekerjaan yang diskriminatif. Salah satu yang sering ditemui, soal batasan usia tadi. Sebuah fakta bahwa diskriminasi adalah “barang biasa” di lingkungan kita.
Sebagai perekrut, jujur saja, saya, mungkin juga HRD atau recruiter lainnya, belum bisa berbuat banyak. Lantaran, batasan usia pada info lowongan pekerjaan, tidak jarang akan kembali kepada perusahaan, kebijakan pemangku jabatan, atau orang yang berkepentingan (bisa user atau klien).
Sudah menjadi rahasia umum bahwa, sebagian HRD atau recruiter, ada kalanya memberi masukan kepada user, klien, atau manajemen, untuk tidak menggunakan alasan sekaligus batasan usia sebagai patokan utama dalam memilih karyawan. Apalagi jika memang kandidat tersebut potensial. Namun, lantaran diskriminasi adalah “budaya” kita, masukan itu mental begitu saja.
Iya, tidak semua usaha bisa langsung membuahkan hasil. Di sisi lain, ada kalanya saran yang diajukan, hanya menjadi bahan pertimbangan atau bahkan ditolak mentah-mentah.
Perlu kamu ketahui, usaha para HRD atau recruiter dalam memberi usulan soal menghilangkan batasan usia pelamar kerja tentu bukan dalam rangka malas mencari kandidat yang sesuai kualifikasi. Lebih kepada mau sampai kapan perusahaan melewatkan begitu saja kandidat potensial hanya karena usia, yang dianggap kontra produktif berdasarkan asumsi?
Persoalan lainnya adalah jawaban dari perusahaan sendiri perihal diskriminasi adalah wajah perekrutan di Indonesia. Jawaban mereka terdengar diplomatis. Misalnya, “Perusahaan nggak mau ambil risiko soal usia kandidat yang tergolong kurang produktif.”
Celakanya, lebih jauh lagi, ageism atau diskriminasi berdasarkan usia seseorang dalam dunia kerja, disadari atau tidak, malah menempatkan, sekaligus melihat para pekerja hanya sebagai objek. Usia 35 tahun ke atas dianggap tidak akan produktif lagi, sulit beradaptasi dengan yang muda, lambat dalam bekerja, sekaligus kurang layak untuk menempati suatu posisi. Belum lagi adanya anggapan soal, “Usia segitu kok masih jadi staf? Harusnya udah jadi supervisor dan manajer.”
Diskusi dengan rekan sesama HRD pun cukup alot. Hanya berujung pada, “Ya, usia segitu (35-45 tahun) bisa apa, Bro. Belum lagi mepet pensiun. Buat jangka panjang, kayaknya nggak, deh.”
Maksud saya, jika memang kemampuannya masih cocok dengan kualifikasi dan memenuhi syarat, meski levelnya masih staf, senior staf, dan belum menjadi supervisor atau manajer, kenapa nyaris selalu tidak masuk dalam pertimbangan?
Persoalan yang kemudian menguap adalah, bagaimana para pekerja bisa merasa diri mereka sebagai aset, jika eksistensinya hanya dianggap sebatas objek?
Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan agar bisa menerapkan anti-ageism, menghilangkan fakta bahwa diskriminasi adalah virus yang sulit dicari antivirusnya, dan nggak jalan di tempat seperti sekarang ini?
Pertama, bisa dimulai dari hal kecil. Pada info lowongan kerja yang disebar di berbagai media maupun situs pencari kerja, hilangkan kriteria usia. Hal positif yang bisa didapat, CV yang masuk melalui email dan/atau portal pencari kerja akan lebih banyak. Kandidat dari berbagai beragam usia akan merasa lebih leluasa untuk melamar. Sekaligus mereka punya kesempatan bekerja di posisi yang sama seperti sebelumnya atau mencoba hal baru.
Kedua, poin pertama tidak bisa dijadikan sebagai formalitas yang terpampang di iklan lowongan kerja saja. Perlu keseriusan dalam menghilangkan ageism, sejak awal melakukan screening CV, interview, sampai proses akhir.
Seperti New York yang belakangan menerapkan anti-ageism. Walau usia sudah mencapai 60 tahunan, seseorang sah-sah saja jika pengin melamar di posisi tertentu. Penghalangnya bukan lagi usia, melainkan kualifikasi lain yang lebih berkaitan dengan kemampuan teknis, apakah cocok dengan posisi yang dilamar atau tidak.
Film The Intern, yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Anne Hathaway, barangkali bisa menjadi inspirasi. Bagaimana Ben, seorang lansia, yang masih punya semangat kerja tinggi, akhirnya memutuskan untuk ikut serta dalam program magang di suatu perusahaan. Tentu saja, Ben, kurang familiar dengan teknologi. Tidak seperti pekerja muda lainnya. Namun, Ben bisa mengkolaborasikan pengalaman bekerja di masa lalu dengan pengambilan keputusan yang bisa diterapkan kepada para pekerja muda.
Suka atau tidak, film tersebut bisa memberi insight sederhana bagi perusahaan, bagaimana pekerja senior berkolaborasi dengan pekerja muda. Ketika diskriminasi adalah hal kuno dan tidak lagi relevan di dunia kerja.
Hasilnya, sangat menarik untuk dinantikan. Namun, perlu disadari juga, hal tersebut membutuhkan keluwesan dan pikiran yang terbuka. Jangan sampai terjebak dalam ruang: yang senior pengin selalu dihormati, sedangkan yang muda anti jika diberi masukan.
Lain di New York, lain film The Intern, tentu lain juga di Indonesia. Siapa saya, hanya seorang recruiter biasa, berharap agar Indonesia bisa mengikuti jejak New York dalam kampanye anti-ageism. Atau paling tidak, bisa mengadaptasi banyak hal dari film The Intern di ruang lingkup pekerjaan. Mungkin nggak, ya?
BACA JUGA Orang Melamar Kerja dan Nggak Keterima kok Dibilang ‘Belum Rezeki’? Katakan Saja Alasan Logisnya! dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno