MOJOK.CO – Di Jakarta, saya merasa seperti fungsi. Di Bekasi, saya merasa seperti manusia, seorang pencerita, pendengar, dan bagian dari perjalanan orang lain.
Mari kita merevisi pandangan usang tentang Bekasi, kota tercinta ini. Lupakan sejenak citra Bekasi sebagai planet antah berantah dengan kawah di mana-mana. Bagi saya, Bekasi sudah jauh lebih menyenangkan ketimbang Jakarta.
Sebagai sopir GoCar yang setiap hari menjadikan aspal kota ini sebagai kantor, saya bersaksi. Infrastruktur Bekasi Kota kini sudah mumpuni. Jalanan Bekasi itu sudah mulus. Lalu, taman kotanya selalu ramai. Bahkan deretan kafe estetik di sini sudah bisa bikin minder anak Jakarta Selatan.
Selain itu, di tengah kemajuan ini, saya menemukan sebuah anomali baru yang lebih menarik. Jadi, yang saya dapatkan dari penumpang di Bekasi, secara konsisten, lebih royal dan terasa lebih “manusiawi” dibandingkan saat saya harus menembus belantara beton Jakarta.
Kalau dulu alasannya karena solidaritas menaklukkan jalan rusak. Sekarang apa? Inilah teori ngawur versi terbaru saya.
Pertama, mari kita bicara soal Jakarta. Menjadi sopir GoCar di Jakarta itu seperti menjadi bagian dari sistem sirkulasi darah raksasa. Cepat, fungsional, tapi tanpa perasaan.
Penumpang masuk dengan “Pagi, Pak,” mata tetap ke layar ponsel, dan turun dengan “Makasih, ya,” yang terdengar seperti notifikasi otomatis. AC mobil saya mungkin dingin, tapi interaksinya lebih dingin lagi. Tip seringnya hanya berupa pembulatan ongkos, sebuah transaksi efisiensi, bukan apresiasi.
Lalu kita kembali ke Bekasi yang kini sudah bersolek. Kenapa di sini berbeda?
Baca halaman selanjutnya: Bekasi unggul dari Jakarta.
Teori kearifan lokal masyarakat urban Bekasi yang santai
Ini poin utamanya. Karena infrastruktur Bekasi sudah nyaman, kultur warganya pun ikut berubah. Penumpang di Bekasi mayoritas tidak sedang terburu-buru mengejar rapat dewan direksi di lantai 50. Tujuan mereka lebih santai. Misalnya, main ke mall, ke rumah saudara, atau ke salah satu dari ribuan kedai kopi yang tersebar.
Ritme hidup yang lebih tenang ini membuat interaksi di dalam mobil jadi lebih hidup. Sering terjadi saya tidak hanya sekadar menjadi sopir. Saya sering menjadi teman ngobrol, pendengar keluh kesah soal kerjaan, bahkan penasihat soal jalan tikus terbaik. Ada ruang untuk menjadi manusia, bukan sekadar fungsi.
Di Jakarta, semua orang seperti sedang dalam mode bertahan hidup. Di Bekasi, orang-orang sedang dalam mode menikmati hidup di pinggiran kota.
Tempo yang lebih lambat inilah yang membuka ruang untuk apresiasi. Mereka punya waktu sepersekian detik lebih banyak untuk melihat kita sebagai sesama manusia, lalu dengan ringan hati menekan tombol tip sebagai bentuk ucapan terima kasih yang tulus.
Kesimpulannya, jika dulu tip di Bekasi lahir dari rasa kasihan dan solidaritas di tengah penderitaan bersama, kini lahir dari budaya dan kenyamanan. Ini adalah bentuk etiket sosial masyarakat urban Bekasi yang mapan. Yah, sebuah pengakuan bahwa di kota yang nyaman ini, kita semua adalah bagian dari komunitas yang saling menghargai.
Dan jujur saja, tip Rp10 rupiah yang diberikan tulus oleh penumpang Bekasi setelah kami ngobrol ngalor-ngidul soal film terbaru, rasanya jauh lebih kaya makna daripada pembulatan ongkos tanpa senyum di tengah hiruk pikuk Jakarta. Aspalnya boleh sama-sama hitam, tapi rasanya jauh berbeda.
Menjadi driver GoCar di Jakarta
Mungkin pada akhirnya, tesis ini bukan lagi soal Bekasi atau Jakarta. Bukan pula soal nominal yang masuk ke dompet digital.
Ini tentang sesuatu yang kita semua cari di tengah laju kehidupan yang semakin cepat: sebuah pengakuan kecil bahwa kita ada dan usaha kita terlihat.
Di Jakarta, saya merasa seperti fungsi, sebuah unit yang menyelesaikan tugas. Di Bekasi, saya lebih sering merasa seperti manusia, seorang pencerita, pendengar, dan bagian dari perjalanan orang lain, walau hanya sebentar.
Karena ternyata, yang paling kita butuhkan di akhir hari bukanlah sekadar upah, tapi rasa bahwa kita dihargai. Dan untuk itu, saya berterima kasih pada kota ini, yang di tengah segala kemajuannya, tidak lupa caranya untuk tetap menjadi manusia.
Penulis: Akhmad Yunus Vixroni
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bekasi, Daerah yang Paling Cocok Ditinggali Dibanding Kota Penyangga Jakarta Lain dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.
