MOJOK.CO – Haus kasih sayang membuat Mirna “terjebak” dalam fenomena kumpul kebo. Sebuah fenomena yang menjadi tren mahasiswa Kota Malang.
Saya dan Mirna (23 tahun) mengobrol agak panjang tentang fenomena living together atau kumpul kebo. Fenomena ini pagi jadi tren di tengah mahasiswa Kota Malang. Mirna menganggap banyak mahasiswa yang nggak paham arti dari fenomena ini. Khususnya mahasiswa baru.
“Kalau mahasiswa baru kayaknya banyak yang nggak tahu (artinya),” kata Mirna. Sebetulnya saya hendak merekam pernyataan Mirna sebagai bahan tulisan ini. Namun, Mirna menolak. Pokoknya nggak ada merekam atau ngobrol via WhatsApp. Saya setuju saja. Dan sambil minum susu cokelat, Mirna melanjutkan kisahnya.
Kumpul kebo di kehidupan Mirna
Mirna dari keluarga yang biasa-biasa saja. Orang tuanya masih lengkap dan sehat, Alhamdulillah. Tapi dia mengaku tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari mereka, khususnya dari bapak. Soal poin ini, Mirna nggak mau banyak cerita. Intinya, dia merasa kurang mendapat kasih sayang.
Dia bertemu dengan Rudi (22 tahun) saat ospek maba sebuah kampus di Malang, tiga tahun silam. Rudi berhasil menarik hati Mirna hingga mereka berdua memutuskan untuk berpacaran.
“Saya mikir waktu pacaran. Saya bakal bisa mengenal dia lebih dalam kalau kumpul kebo, Mbak. Ya mulai ngekos bareng, masak bareng, dan belajar mengelola keuangan bareng. Saya terinspirasi teman-teman satu sirkel yang begitu juga, Mbak,” Kata Mirna kepada saya.
Sebelum memutuskan untuk kumpul kebo, Mirna sudah melakukan banyak survei kosan di Malang. Dia bahkan bisa menyebutkan beberapa nama kos di sekitar tiga kampus besar di Malang, yang mengizinkan penghuninya untuk kumpul kebo. Mulai dari lokasi sampai harga, Mirna tahu semua.
Memahami risiko
Obrolan kami soal risiko kumpul kebo bagi mahasiswa Malang berjalan datar. Saya merasa mereka sudah siap dengan segala risikonya. Salah satunya adalah menjadi korban kekerasan.
Mirna sendiri merespons soal risiko ini dengan wajah datar. Saya bertanya soal kasus kekerasan, bahkan pembunuhan, karena fenomena kumpul kebo di Kota Malang.
“Saya sudah paham rasanya, Mbak. Risikonya ya itu, saya sering jadi korban kekerasan Rudi. Pemicunya itu hal-hal kecil saja sebetulnya. Misalnya dia pulang malam banget alasannya nugas, sampai nggak bantu bayar beberapa kebutuhan,” aku Mirna.
Mirna sendiri mengaku belum bisa meninggalkan Rudi karena beberapa hal. Dia merasa masih sayang. Sudah begitu, Rudi sudah mengambil kesucian Mirna. Dua alasan ini yang sering menjadi alasan banyak mahasiswa di Malang nggak bisa melepaskan diri dari situasi kumpul kebo.
“Apakah nggak kepikiran untuk menikah saja?” Saya mencoba menyenggol topik pernikahan.
Mirna menjelaskan kalau tuntutan zaman sekarang itu berbeda. Dia merasa tidak akan mudah mendapatkan restu dari orang tuanya. Apalagi Mirna dan Rudi masih menyandang status mahasiswa di Kota Malang. Keduanya juga belum bisa menghasilkan uang sendiri.
Sudah begitu, kuliah di Malang membawa beban tersendiri bagi Mirna. Kedua orang tua Mirna menuntut dia untuk lulus kuliah, lalu lanjut daftar BUMN. Tuntutan ini terasa berat bagi Mirna. Nah, segala keluh kesah itu hanya bisa dia curahkan kepada Rudi ketika keduanya kumpul kebo.
Kumpul kebo demi mendapatkan kasih sayang, tapi…
Salah satu tujuan Mirna mau kumpul kebo dengan Rudi adalah mendapatkan kasih sayang. Dia mengiyakan jika dengan kumpul kebo, tangki kasih sayang yang tidak dia dapatkan dari orang tuanya bisa didapatkan lewat Rudi.
Banyak “perhatian kecil” dari Rudi yang membuat Mirna nyaman. Misalnya seperti perhatian yang Rudi tunjukkan ketika Mirna sakit. Perhatian seperti ini yang Mirna idamkan dari sosok seorang pria.
Mirna memang mendapatkan kasih sayang. Namun, di sisi lain, dia juga harus menanggung segala risikonya ketika ikut tren kumpul kebo di Kota Malang ini. Risiko yang kita bahas di sini adalah kekerasan.
Jadi, Rudi memang belum matang secara emosional. Hal ini diakui Mirna sendiri. Banyak pertengkaran berasal dari masalah sepele seperti yang saya singgung di atas.
Masalahnya, kekerasan yang terjadi bagi dua mahasiswa Malang ini sudah sampai ke taraf main fisik. Rudi pernah memukul Mirna karena masalah sepele. Namun masalahnya, Mirna juga melakukan kekerasan kepada Rudi.
Kondisi ini yang membuat Mirna dilema. Dia memang mendapatkan kasih sayang dari Rudi. Namun, dia harus menderita karena kekerasan. Suatu kondisi di mana Mirna tak pernah merasakannya dari kedua orang tuanya.
Sudah begitu, kekerasan yang terjadi selama kumpul kebo ternyata berdampak ke psikologis Mirna. Salah satunya berdampak ke prestasi Mirna selama kuliah di Malang. Sering bertengkar, bahkan main fisik, membuatnya kesulitan fokus dan tidak semangat untuk mengerjakan tugas kuliah.
Fenomena kumpul kebo di Kota Malang
Tentu saja, segala tindak kekerasan bisa dilaporkan ke polisi. Namun, bagi anak muda yang menjalani fenomena kumpul kebo di Kota Malang, tidak semudah itu.
Salah satu teman Mirna pernah melapor kepada polisi. Kasusnya adalah dia hamil di luar nikah dan pacarnya tidak mau tanggung jawab. Yang dia kejar hanya tanggung jawab.
Mirna sendiri sangat ragu jika menempuh jalur yang sama. Kalau melapor, kerugian terbesar ada di dirinya. Selain karena ini kesalahannya dari awal, dia bisa mendapat masalah dengan orang tuanya. Kosannya juga kena karena yang kumpul kebo di sana nggak hanya dia dan Rudi.
Yang terjadi kemudian adalah Mirna nggak mau mempermasalahkan kekerasan dari Rudi. Meski dia juga sadar kalau situasinya bisa semakin parah.
Hasil akhir
Niat awalnya Mirna memilih kumpul kebo adalah supaya bisa mendapatkan kasih sayang. Dia juga ingin mengenal Rudi lebih dalam. Katanya sembari berkelakar, ini bisa menjadi simulasi pernikahan.
Namun, pada akhirnya, Mirna tidak akan menikahi Rudi. Kasih sayang itu ada, tapi diiringi oleh kekerasan. Makanya, dia tidak mau terjebak ke dalam sebuah kondisi yang mengikat.
Saya sempat bertanya soal penyesalah dan untung/rugi living together. Mirna tidak banyak berkata. Dia hanya menjawab pendek, “Resikoku wesan, Mbak.”
Mirna menutup obrolan dengan sebuah harapan. Saat ini, dia ingin segera lulus, lalu pergi dari Kota Malang. Dia ingin menata hidup dan menjalani kehidupan tanpa kehadiran Rudi.
Penulis: Aprilia Dwi Rasdiyanti
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Hari-hari Mahasiswa Malang yang Jalani Kumpul Kebo: Latihan Berumah Tangga, Hidup Layaknya Suami Istri meski Tak Siap Menikah dan catatan keresahan lainnya di rubrik ESAI.
