Dear Viva.co.id, Lain Kali Kalau Melakukan Pembodohan Publik…

Dear Viva.co.id, Lain Kali Kalau Melakukan Pembodohan Publik...

Dear Viva.co.id, Lain Kali Kalau Melakukan Pembodohan Publik...

Kepada

Yth. Dedy Priatmojo, Zahrul Darmawan, dan Jajaran Editorial viva.co.id

di tempat

Kalian tahu, kemarin siang mood saya yang awalnya terasa menyenangkan mendadak ambyar setelah seorang teman merusaknya dengan mengirimkan tautan berita sensasional rilisan tiga hari lalu di viva.co.id (selanjutnya akan saya sebut kalian secara kolektif sebagai viva.co.id):

Waspada, 5.791 Pria Gay di Depok Intai Toilet Umum!

Saya sangat kaget, viva.co.id. Sebagai seorang mahasiswi yang bernaung di Depok, tentu saya harus melek dengan segala berita terkait keamanan di kota saya. Dan judul berita kalian membuat saya merasa bahwa ada sebuah situasi genting di sini. Bayangkan, ada 5.791 pria homoseksual yang mengintai toilet umum!

Dengan cepat saya membaca berita pendek buatan kalian. Dan ketika mata saya sedang menelusuri tiap baris berita ini, pandangan saya tertumpu pada sebuah nominal: 5.791. Wow, berani juga.

Saya kagum, viva.co.id, kalian tidak bersembunyi di balik persentase asal-asalan seperti banyak situs berita lainnya. Dengan gamblang kalian pajang sebuah nominal eksak: 5.791. Namun, keberanian ini juga tentu perlu ditanyakan: darimana kalian mendapat nominal fantastis ini?

Saya rasa, kalian akan berdalih dengan berkata bahwa angka ini didapatkan dari Komisi Penanggulangan AIDS (AIDS, ya, viva.co.id. Bukan Aids. Kita berbicara soal penyakit, bukan sekumpulan bantuan) Kota Depok. Namun tidakkah angka ini membingungkan kalian, viva.co.id? Darimana mereka mendapat angka 5.791? Dari surveikah? Bila benar begitu, metode apa yang digunakan? Tidakkah pertanyaan-pertanyaan ini semestinya membangunkan gairah jurnalistik kalian, viva.co.id?

Saya pun kemudian mengirimkan tautan berita tersebut kepada salah seorang teman yang merupakan seorang pria gay dan berdomisili di Kota Depok. Sontak ia berkomentar, “wah, sialan! Gue nggak merasa didata, tuh!”. Bahkan dengan dalih ‘estimasi jumlah’, rasanya sulit untuk menjustifikasi angka spektakuler ini tanpa bertanya mengenai loncatan angka yang cukup jauh dari 4.932 per tahun 2014 ke 5.791 per Agustus 2015.

Apa yang direfleksikan oleh pergeseran angka ini, viva.co.id? Apakah sejak tahun 2014 ada pergerakan masif pria-pria homoseksual dari berbagai daerah ke Kota Depok? Atau mungkin ada dukun iseng di kota ini, yang dengan seenak jidat ‘menyulap’ nyaris seribu pria-pria heteroseksual untuk kemudian mencandu dada bidang dan suara bariton? (Saya sedang bercanda itu, lho, viva.co.id. Sedang nyindir kalian. Jangan sampai pernyataan iseng saya itu kemudian jadi tajuk berita barumu: “Waspada, Dukun Iseng di Depok ‘Menyihir’ Pria-Pria Menjadi Doyan Cowok!”)

Lalu tentang judul beritamu, viva.co.id. Intai? Kalian pikir pria-pria homoseksual itu sekumpulan singa yang siap menerkam mangsanya? Sadarkah kalian akan penggunaan diksi yang kalian pakai? Dari angka 5.791 dan pernyataan Henry Kuntowo bahwa mereka biasanya singgah di toilet umum, kalian itu sesungguhnya telah melakukan lompatan logika yang luar biasa absurd dan tak masuk akal!

Memangnya ada berapa banyak toilet umum di Depok? Sudah tercatat berapa banyak kasus sodomi yang terjadi di Depok? Berapa jumlah korban? Adakah penelitian komperhensif mengenai hal ini?

Meski kemudian Herry Kuntowo itu mengklarifikasi pernyataan yang kalian kutip, berita tersebut sudah terlanjur tersebar luas. Tapi, ah, kalian hanya menganggap semua itu sekadar kesalahan elementer biasa, toh yang diberitakan hanya soal kaum gay. Warga negara kelas lima di negeri ini. Nggak penting. Iya, kan?

Ada pesan khusus apa, sih, yang kalian sampaikan lewat berita itu, viva.co.id? Lagi pula, bolehkah kalian sebagai insitusi media, dalam tataran kode etik jurnalisme, menyampaikan pesan yang mendiskriminasi kelompok tertentu? Atau jangan-jangan kalian para awak viva.co.id justru tidak paham mengenai hal tersebut?

Sudah lama saya cuma bisa urut dada atas kelalaian situs-situs berita sensasional akan data yang mereka pajang. Percuma saya menjerit soal pasal 3 dari kode etik jurnalisme yang mewajibkan wartawan untuk melakukan penafsiran data atau soal keharusan untuk mengecek ulang data yang disajikan. Lebih percuma lagi saya berkoar-koar soal kewajiban wartawan untuk melakukan pemberitaan berimbang dengan tidak mencampuradukan antara fakta dan opini. Saya cukup sadar diri bahwa suara saya tidak seberapa signifikan dibanding gempuran berita media online yang nyaris tanpa jeda itu.

Tapi, tolonglah, viva.co.id, lain kali kalau kalian mau melakukan pembodohan publik, ya, nggak begini caranya. Masih banyak cara yang lebih elegan, canggih, atau kurang lebih nggak kelewat absurd seperti berita itu. Atau kalian perlu dibuatkan “gerakan 1000 koin membantu viva.co.id belajar pembodohan publik tingkat dasar” dulu biar nalarnya jalan?

Itu cuma pertanyaan, jadi nggak usah dijadikan berita. Paham? Bagus.

Terima kasih

Luna Siagian

Exit mobile version