Dear Ernest Prakasa: Tebak-tebakan Bukan Materi Pengecut

Lantas Ernest Prakasa, seorang komika yang kelucuannya nggak usah diragukan lagi, urun pendapat dalam kapasitasnya sebagai juri. Menurutnya, main tebak-tebakan tidak bisa dijadikan senjata melulu. Sampai sini, saya setuju. 

Untuk Ernest Prakasa, dari Pemuda Kabupaten Pecinta Tebak-tebakan MOJOK.CO

Ilustrasi surat terbuka Untuk Ernest Prakasa, dari Pemuda Kabupaten Pecinta Tebak-tebakan. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COErnest Prakasa menilai materi tebak-tebakan itu materi pengecut. Sebuah pendapat yang terasa menusuk di hati pemuda kabupaten.

Entah disepakati atau enggak, bagi anak-anak tongkrongan di kabupaten, baik itu di warkop atau di cakruk desa, tebak-tebakan adalah jalan pintas menemukan kelucuan. Struktur komedinya jelas, nggak ada setup lantas punchline, karena adanya ya sat-set lantas tawa sebebas-bebasnya.

Benar, saya sedang ngomongin Gautama peserta SUCI X perihal materi tebak-tebakan yang dikatai Ernest Prakasa sebagai materi pengecut. Bagi mas-mas yang juga mencintai tebak-tebakan, dan menjadikan tebak-tebakan sebagai bahan survive untuk melucu di tongkrongan, omongan Ernest itu tega sekali.

Tebak-tebakan sebagai persona

Hemat kata, pendapat Gutama perihal materi tebak-tebakan yang digandrungi warga Kabupaten Jepara, berlaku juga bagi saya, salah satu warga Kabupaten Bantul. Karena tiap melebur dalam tongkrongan, orang yang tiba-tiba ngebanyol satirical tentang rezim itu jarang sekali. Adanya ya aliran listrik, aliran listrik apa yang menguasai Indonesia? Megawatt….

Gautama menjadikan tebak-tebakan dan bapak-bapak funny menjadi persona sebagai seorang komika. Seperti halnya komika lain yang mengusung kondisi finansial (Marcel dengan kemiskinan), etnis atau ras (Boris Bokir dengan ke-Batak-an miliknya), alat-alat penunjang (seperti biola milik Dodit Mulyanto) dan juga sifat-sifat keseharian (Coki Anwar dengan sisi maskulinitas).

Lantas Ernest Prakasa, seorang komika yang kelucuannya nggak usah diragukan lagi, urun pendapat dalam kapasitasnya sebagai juri. Menurutnya, main tebak-tebakan tidak bisa dijadikan senjata melulu. Sampai sini, saya setuju. 

Menjadi, dewan juri memiliki penilaian yang bersifat subjektif. Toh, benar pendapat Ernest Prakasa, bahwa audisi SUCI memang bersifat maraton dan banyak tema yang harus peserta kaji. Kalau mengandalkan satu senjata saja, komika bakal kehabisan bensin di tengah jalan.

Dear Ernest Prakasa, Gautama nggak lagi “cari gampang” saja

Yang membuat saya tergelitik untuk ikut berkomentar adalah, ketika Ernest Prakasa melempar masalah materi tebak-tebakan ke ranah Twitter. Namun sekali lagi, layaknya dewan juri dalam pentas audisi, berkicau di Twitter juga sifatnya subjektif sekali. Namun, komentar Ernest ini yang membuat saya geli sendiri. Salah satu kalimatnya berbunyi begini, tebak-tebakan itu “cari gampang” ketika orang lain serius belajar. Lantas, dia bilang, ada yang serius nulis bit, ada juga yang cuma main tebak-tebakan.

Ada kata “cuma” yang kok ya rasanya nyelekit sekali. Seolah, Gautama yang menggunakan tebak-tebakan adalah mereka yang liyan. Jelas-jelas Gautama di awal kompetisi bilang, beberapa orang tertentu sudah pusing dengan tema-tema stand-up comedy yang isinya keresahan, kritik sosial, dan what if.

Mungkin Ernest Prakasa lupa, konsep utama sebuah komedi itu harus lucu. Upaya-upaya apa yang akan dicari untuk memperoleh lucu, bisa dibongkar dan disusun kembali. Maksud saya, Gautama dalam materi miliknya, minggu ini hanya menggunakan dua tebak-tebakan doang.

Minggu-minggu sebelumnya juga bahkan Gautama mengutarakan keresahannya tentang warga Jepara yang masih doyan tebak-tebakan. Gautama tidak menggunakan lima menit waktunya untuk full tebak-tebakan. Bahkan ada teknik bernama roasting di materinya.

Begini lho, membawakan tebak-tebakan juga butuh skill. Di desa saya ada lho bapak-bapak random yang tiba-tiba datang lalu bilang begini, “Pion pion apa yang anaknya penguasa Indonesia? Pion Maharani.” Dan setelahnya anak-anak muda seperti saya tertawa sampai sakit perut.

Lantas, ada pula mas-mas intelek yang tiba-tiba datang ke cakruk dan berguyon begini, “Coba bayangin apa bedanya anggota partai di Rusia dan di Yugoslavia? Kalau di Rusia mereka naik limosin miliknya, kalau di Yugoslavia para anggota partai naik limosin milik rakyat.”

Guyonan memang menyesuaikan selera

Guyonan khas The Plague of Fantasies-nya Slavoj Žižek ini memang lucu. Namun, kalau yang bawain adalah mas-mas pergerakan yang wajahnya saklek dan sepaneng, kelucuannya menjadi samar. Guyonan memang sesuai selera. Oleh sebab itu, guyonan yang baik itu adalah guyonan yang bisa masuk ke berbagai kalangan. Serta, pembawaan dari sang empu guyonan juga amat berpengaruh luar biasa.

Duh, kok saya jadi seperti menggurui salah satu pendiri stand-up comedy, ya. Mohon maaf ya, Ernest Prakasa. Maksud saya begini lho, tebak-tebakan atau banyolan itu bukan “cuma”, kok. Kalau memang stand-up comedy itu aliran komedi untuk orang-orang elite, saya nggak mungkin betah dan bertahan nontonin Uus dan Indra Frimawan.

Tebak-tebakan juga bukan artinya malas menulis. Bahkan ada tuh buku kumpulan tebak-tebakan berjudul Mati Ketawa Cara Rusia atau SMS Gaul. Proses menulis seseorang itu tidak bisa langsung berkelas dan keren banget seperti apa yang ditulis Ernest dan buku-buku karya sampeyan. Bagi beberapa orang, menulis sebuah materi tebak-tebakan itu sudah termasuk sebuah proses literasi yang harus dihargai.

Tebak-tebakan itu juga acap beredar tanpa kejelasan pengarangnya siapa. Tidak mungkin orang bertanya, “Siapa sih yang nulis tebak-tebakan ini?” Kebanyakan, mereka akan menikmati tanpa kudu berpikir.

Kata Ernest Prakasa dalam cuitannya, stand-up comedy itu adalah kesenian yang punya cirinya sendiri. Kalau boleh tahu, cirinya apa, sih, Mas? Apakah tiap bit itu harus cerdas, ya? Padahal sejak masa berburu dan meramu, yang namanya sebuah guyonan sebelum menyentuh tahap cerdas, ya harus lucu dulu. Kalau cerdas tapi nggak lucu, apa bedanya dengan pidato upacara setiap Senin?

Mewakili kreativitas dan keunikan bahasa

Membahas tebak-tebakan yang awanama, tanpa penulis, Slavoj Žižek bilang bahwa itu adalah letak misteriusnya. Mereka bersifat idiosinkratik, mewakili kreativitas unik bahasa, namun tetap kolektif. Selanjutnya, dalam “Less Than Nothing” terbitan Verso halaman 94, Žižek bilang begini: “Tuhan adalah pelawak utama.”

Komentar di Twitter liar sekali. Saya nggak bakalan bilang kok kalau Ernest Prakasa nggak suka tebak-tebakan karena trauma dengan nggak lakunya dan review buruk film Teka-Teki Tika (saya nonton lho, Mas!). 

Saya juga nggak bakalan bilang bahwa bit Ernest garing sekali (saya lihat stand-up Anda di Somasi lucu banget kok, Mas. Semangat, ya). Mungkin, Ernest memang kurang sreg saja dengan segmen guyonan tebak-tebakan.

Bahkan, saat nge-tweet pun Ernest masih sempat menyelipkan kelucuan yang mampu mengocok perut saya. Katanya, “Kalo kalian kalah sama tebak-tebakan, kekalahan kalian tetap terhormat.” Eh, ini contoh bit guyon cerdas, kan? Atau Ernest sedang serius?

Yuk, Nest, main ke Bantul

Kapan-kapan Ernest Prakasa harus singgah ke cakruk dekat rumah saya sambil main karambol atau remi sama bapak-bapak lainnya. Selain mendengar variasi guyonan ala bapak-bapak funny, bisa juga menghindarkan diri agar tidak menyerupai sifat menyebalkan yang mulai mirip-mirip seperti Rawon Pamplona.

Ya, itu semua sekadar tanggapan saya, ya, Ernest. Tentulah siapa saya, hanya orang biasa yang kalau di pos ronda mengeluarkan guyonan kenapa kerang ada di laut, kalau di darat nanti kering. Iya, kering. Sekering… Enggak, kok, kalau sekering materi Ernest. Enggak.

BACA JUGA Seni Mengkritik Anies Baswedan ala Komedian Ernest Prakasa dan bit menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Gusti Aditya

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version