MOJOK.CO – Seburuk itukah skema pay as you go di mata Sri Mulyani, si Sales Bank Dunia? Urusan dana pensiun, urusan rakyat, memang selalu belakangan.
Secara teknis, sistem pengelolaan dana pensiun memang ribet. Seribet mendengarkan sales asuransi yang sedang menjelaskan ilustrasi pengelolaan dana nasabah. Dana ini sebagian akan diinvestasikan di sini, sebagian lagi di sana, dan sebagian lagi nggak tahu ke mana. Lalu jika dicairkan di tahun ini hasilnya jadi segini. Jika dicairkan di tahun itu hasilnya akan segitu. Atau jika terjadi ini dana tanggungannya akan segini. Dan seterusnya dan seterusnya.
Apalagi, pengelolaan dana pensiun melibatkan distribusi dan redistribusi dana iuran asuransi lintas generasi. Lintas generasi? Iya. Mulai agak rumit toh urusanya. Karena apa? Karena memang tak cukup jika dana pensiun yang diterima secara bulanan oleh para pensiunan jika diambil dari potongan bulanan yang mereka bayar selama kerja. Misalnya di Indonesia, potongan bulanan sebesar 8 persen dari gaji pokok tak akan cukup menutupi dana pensiun bulanan para pensiunan yang berkisar 80 persen gaji pokok. Coba saja hitung?
Itu belum dibagi dengan dana Jaminan Hari Tua yang biasanya diterima di saat mulai pensiun dengan jumlah yang besar. Dana JHT PNS tersebut diambil dari potongan iuran pensiun PNS bulanan. Jadi, dari 8 persen potongan, sekitar 3 koma sekian persen lari ke Taspen untuk pembayaran JHT PNS (disebut lump sum biasanya). Nah, yang ikut ditanggung negara adalah dana pensiun yang diterima para pensiunan setiap bulan ditambah dengan dana kelolaan 4 koma sekian persen dari sisa potongan tadi.
Nah, karena itulah dibutuhkan skema pengelolaan yang baik agar pembayaran dana pensiun untuk para PNS yang sudah tidak produktif bisa tetap terbayarkan. Jadi di sinilah kita akan bertemu skema pay as you go (PAYGO, ingat ya bukan GOPAY) atau fully funded yang sedang ramai itu.
Perbedaan pay as you go dan fully funded
Dengan skema PAYGO, misalnya, dana pensiun generasi A akan berasal dari kontribusi dana pensiun generasi B plus kontribusi APBN, kalau memang kontribusi generasi B kurang cukup. Pensiun generasi B akan ditanggung oleh kontribusi dana generasi C plus kontribusi APBN. Dan seterusnya. Dalam praktiknya, nyatanya dana iuran PNS selama produktif tersebut memang kurang cukup, sehingga negara harus ikut berkontribusi setiap tahunya. FYI, satu generasi di sini bermakna sepuluh tahun.
Pada skema fully funded, logikanya sebenarnya tetap sama, yakni pembiayaan lintas generasi. Tapi dalam pengelolaan dananya, akan melibatkan gaya perusahaan investasi keuangan swasta yang menginvestasikan dana kelolaannya di pasar finansial dengan harapan mendapatkan Return of Investment (ROI) atau imbal hasil yang lebih besar.
Dengan lain perkataan, seluruh dana iuran pensiun bulanan para PNS aktif akan ditransaksikan di berbagai produk pasar keuangan, seperti surat utang negara, surat utang perusahaan swasta bonafide atau BUMN kelas atas, obligasi negara atau swasta, atau saham-saham yang track record pembagian dividennya tinggi. Artinya, negara akan melibatkan pihak ketiga, yakni perusahaan pengelola aset atau perusahaan investasi lainnya. Logikanya apa? Jika ROI-nya besar, otomatis akan menambah jumlah dana pensiun yang diterima pensiunan di satu sisi, tapi juga mengurangi beban APBN di sisi lain.
Privatisasi halus pengelolaan dana pensiun
Karena gaya pengelolaannya demikian, secara tidak langsung sebenarnya memigrasikan skema PAYGO ke fully funded setara dengan privatisasi halus pengelolaan dana pensiun. Nah, jika setara dengan privatisasi, walaupun Bu Sri Mulyani dan stafsusnya enggan menyebut kata itu, maka sebagaimana perbedaan kuliah di swasta dan negeri, hehehe, mau tak mau nominal potongan atau iuran pensiun setiap bulan dari PNS aktif perlu dinaikan, walaupun hari ini kuliah di swasta dan negeri biayanya “beti” alias beda tipis.
Mengapa? Pertama, biaya operasional pengelolaan dana pensiun lebih mahal karena melibatkan pihak ketiga. Dan kedua, sebagaimana logika di pasar finansial, semakin besar dana kelolaan akan semakin berpeluang mendapatkan ROI yang besar, yang akan berimbas pada besaran dana pensiun yang diterima para calon pensiunan nanti sekaligus memperbesar kocek perusahaan pengelola dana via potongan komisi dan berbagai pos potongan lainya. Tapi toh ini baru ilustrasi asumsi. Tentu ilustrasi asumsinya semanis mulut sales Bank Dunia, eh mulut sales asuransi maksudnya.
Layaknya korban-korban asuransi Jiwasraya atau asuransi lainya, yang tempo hari sempat berteriak-teriak soal dana asuransinya yang jumlahnya justru menurun, skema fully funded juga lebih berisiko dibanding PAYGO. Namanya high return, biasanya punya pasangan high risk. Mau untung besar tanpa risiko, ya dana pensiun dititipkan di dukun penggandaan uang saja toh. Namun demikian, meski berisiko, nanti risiko itu ditanggung APBN, jika ternyata di tahun-tahun tertentu pasar finansial lagi buruk alias demam atau sakit perut dan muntah-muntah atau pahit-pahitnya collapse karena krisis akut.
Seberapa besar niat negara?
Jadi pendeknya, perdebatan tentang skema dana pensiun PNS apakah tetap menggunakan skema pay as you go (PAYGO) atau fully funded adalah perdebatan soal seberapa besar negara ingin terlibat dalam menanggung dana pensiun. Dengan skema PAYGO seperti hari ini, negara akan tetap terlibat dalam menanggung sebagian besar kontribusi untuk dana pensiun yang diterima setiap bulan oleh para pensiunan PNS, terutama dana pensiun yang diterima secara bulanan oleh para pensiunan.
Sementara itu, dengan skema fully funded, dana pensiun yang diterima setiap bulan oleh pensiunan akan dideduksikan dari jumlah total potongan penghasilan para pensiunan selama mereka masih bekerja yang kemudian diinvestasikan di pasar finansial dengan harapan tanpa keterlibatan APBN, atau setidaknya sesedikit mungkin keterlibatan APBN. Dengan kata lain, pada skema fully funded, kontribusi pekerja akan meningkat dan pengelolaannya sebagian besar akan diarahkan ke investasi pasar finansial, yang dianggap berpeluang memberikan return lebih
Pemerintah mengkamuflasekan niatan peningkatan kontribusi tersebut dengan istilah pemotongan berdasarkan take home pay sebagai ganti dari “gaji pokok.” Dengan kata lain, pemerintah menginginkan basis perhitungan dari potongan dana pensiun PNS lebih besar, karena take home pay biasanya jauh lebih besar dari gaji pokok PNS. Arti lainnya, pemerintah menginginkan kenaikan potongan dana pensiun agar beban yang selama ini ditanggung APBN bisa dipindahkan ke pundak PNS sendiri, di mana akumulasi dananya dikelola secara profesional alias gaya perusahaan investasi swasta.
Pada sisi inilah mengapa saya katakan bahwa perdebatan soal skema dana pensiun adalah soal kesediaan negara untuk tetap terlibat dalam menanggung dana bulanan para pensiunan atau melepaskan begitu saja setelah para pensiunan dianggap tidak produktif lagi.
Sistem yang cocok untuk negara dengan utang tinggi
Memang, isu semacam ini jamak di negara-negara yang mulai kewalahan dengan beban utang yang tinggi yang menggerogoti anggaran negara, sehingga mencari-cari cara untuk melepaskan beberapa pos tanggungan negara. Kebijakan semacam ini biasa dikenal dengan kebijakan austerity atau penghematan.
Yunani, saat dihantam krisis utang beberapa tahun lalu, dituntut untuk melepaskan peran negara dalam menanggung dana pensiun. Negara-negara Eropa sebagai kreditor utama Yunani meminta Yunani untuk melakukan penyesuaian struktural secara ketat, terutama mengubah skema dana pensiun dari pay as you go ke fully funded, selain meminta negara itu melepaskan semua subsidi atas barang publik, sebelum dana talangan dari Eropa digelontorkan.
Angela Merkel, sebagai salah satu pentolan utama Uni Eropa, bersikeras memaksa Yunani untuk menerapkan kebijakan austerity. Kalau tidak, Uni Eropa tidak akan memberikan dana talangan ke Yunani. Untung bagi Yunani, Obama ketika itu, bersama dengan pengamat ekonomi penerima nobel, Paul Krugman, mengkritik keras sikap Merkel, yang kemudian membuat lunak sikap Uni Eropa terhadap Yunani.
Kebetulan sekali saat ini, isu perubahan skema dana pensiun ini berbarengan dengan isu rencana pelepasan subsidi negara atas BBM. Pemerintah memang sedang gencar melakukan penyesuaian struktural (structural adjustment), alias bahasa lainya liberalisasi ekonomi, agar semuanya sesuai dengan harga pasar. Isu lanjutannya biasanya privatisasi, di mana berbagai perusahaan negara nanti berlomba-lomba menyatakan punya tumpukan utang atau tumpukan rugi, sehingga opsi privatisasi akan muncul dengan sendirinya. Sayangnya Yunani tidak punya pasal 33 untuk menolak permintaan tersebut.
Jadi intinya, apakah negara bersedia melepas tanggung jawab moralnya atas keikutsertaan dalam menanggung dana pensiun bulanan para pensiunan atau tetap menganggapnya sebagai tanggung jawab konstitusional pemerintah? Itu aja sebenarnya masalahnya. Mengapa? Karena itulah inti perbedaan antara skema pay as you go atau fully funded. Dan inti komplain Bu Sri Mulyani bukanlah soal perbedaan kedua skema itu, tapi besarnya tanggungan pemerintah atas dana pensiun. Jadi jangan terlalu fokus pada dua skema itu.
Seburuk itukah skema pay as you go di mata Sri Mulyani?
Kedua skema memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Di Amerika yang dikenal sebagai negara kampiun kapitalisme liberalisme, skema dana pensiunnya masih skema PAYGO, di mana kontribusi negara bisa mencapai 70 persenan. Bahkan Kanada punya skema pay as you go yang bagus, yang berlaku untuk semua kalangan, baik karyawan swasta maupun entrepreneur (biasa dikenal dengan CPP alias Canadian Pension Plan), layaknya sistem pendidikannya yang keren juga.
Singkat kata, Sri Mulyani sebenarnya bersuara sesuai ideologi ekonomi yang selama ini beliau anut. Rizal Ramli melabeli beliau dengan sebutan sales Bank Dunia. Jadi sangat wajar Sri Mulyani mengendorse skema fully funded, karena akan mengurangi beban negara di satu sisi dan mengurangi kekhawatiran para kreditor di sisi lain.
Semakin sehat anggaran negara, semakin cerah prospek surat utang negara di mata kreditor, dan semakin lancar pembayaran cicilan dan bunga utang Indonesia kepada para kreditor. Kalau anggaran negara dianggap kurang sehat, terlalu banyak pengeluaran, tentu para kreditor khawatir nanti Indonesia tak bisa bayar cicilan dan bunga utang yang setahun bisa mencapai Rp300 sampai Rp400 triliun.
Dan saat ini, APBN mulai tertekan, mulai kurang sehat, anggaran subsidi BBM besar, tanggungan dana pensiun besar, harus dilakukan penyesuaian struktural alias austerity agar para kreditor tidak cemas. Urusan rakyat, hmmm, kayaknya belakangan. Urusan ideologi Ekonomi Pancasila? Jangan-jangan Pancasila, seperti kata Iwan Fals, hanya dianggap tak lebih dari rumus kode buntut. Jangan-jangan lho, ya. Semoga tidak.
BACA JUGA Pensiunan PNS: Dulu Disayang, Sekarang Malah Dianggap Beban Negara
dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P Sasmita
Editor: Yamadipati Seno