Cerita Saya, Kurir Paket yang Antar Amanah sampai ke Pelaminan

Menjadi kurir paket harus siap antar barang pada situasi apapun. Dari situasi rawan, berbahaya, sampai situasi yang… hehe.

Cerita Saya, Kurir Paket yang Antar Amanah sampai ke Pelaminan (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COCerita pengalaman kurir paket biasa yang atas dedikasi luar biasanya, bisa mengantarkannya sampai ke atas pelaminan. Selamat ya, Mas!

Setelah briefing kurir dan doa bersama, saya tersenyum melihat keranjang yang berisi paket-paket. Langsung aja saya melakukan routing yang berarti menentukan rute supaya saya tahu paket mana yang akan lebih dulu dikirim dari urutan pertama sampai terakhir.

Routing akan mempengaruhi susunan paket kita. Paket yang paling atas adalah paket yang lebih dulu dikirim. Prinsipnya first in, last out

Routing ini memang pekerjaan kunci agar rute sekaligus otak kita nggak kusut di jalan. Di saat sedang routing, saya menemukan sebuah alamat perkampungan yang belum pernah saya dengar. Namanya kampung Sungai Niri.

Kampung itu masih di area pengiriman saya: Desa Segarajaya, Kec. Tarumajaya, Kab. Bekasi. Kalau kamu tanya itu di bumi bagian sebelah mana? Tenang! Lagu kebangsaan kita masih sama; Indonesia Raya.

Saya coba bertanya ke senior saya, namanya Bang Ival. Kurir senior.

Bang Ival ini udah kayak kunci jawaban ketika saya sedang bingung dalam melakukan pekerjaan. Terutama saat mencari alamat. Seringkali ketika saya sedang nyasar di kampung orang, saya selalu menelpon video ke Bang Ival buat minta petunjuk jalan keluar. 

“Bang Ival, ini Sungai Niri dimana, ya?”

Bang Ival nggak langsung menjawab. Dia malah tertawa. Melihat dari cara dia tertawa, saya mulai khawatir. Bang Ival lalu menjelaskan rute yang harus saya antar itu.

Saya cuma bisa diam dan saya sudah lelah duluan mendengar Bang Ival menjelaskan. Saya kaget, betapa luar biasa sekali jaraknya.

Dari Kantor/gudang penyimpanan aja jaraknya udah 6,1 KM. Kalo dari rumah saya di Bekasi Timur, kota Bekasi, tambah jauh lagi, 26 KM. Saya nggak mau coba-coba nyari tahu lagi seberapa jauh jaraknya kalau dari Mekkah.

Bang Ival memperhatikan raut wajah saya dan kemudian dia memberi sebuah kalimat motivasi, “Lan, Tetap menyerah. Jangan Semangat! Hahaha.”

Kemudian saya melanjutkan pekerjaan agar segera berangkat. Untuk area perumahan, saya sudah lumayan hafal. Untuk area perkampungan saya masih merasa agak sulit.

Sebagai kurir yang lebih junior, saya coba ikuti saran dari Bang Ival yakni mengabarkan via WA penerima paket. Terus saya meminta tolong untuk dibantu share lokasi/titiknya dan–syukurlah–saya mendapatkan itu.

Selanjutnya tinggal betot gas aja. Titik akurat sudah saya pegang. Perihal akurasi ini memang cukup krusial, tanpa saya ketahui akurasinya dan ancer-ancernya saya akan membuang-buang waktu pekerjaan ketika mencari satu alamat.

Maka dari itu, sebagai kurir, saya sebisa mungkin harus diminimalisir dengan cara konfirmasi alamat ke penerima paket lewat nomor yang tercantum. Ya, minimal kita bisa tahu ancer-ancernya.

Saya sudah berjalan jauh sedari masuk kampung Kelapa. Sejauh mata memandang adalah hamparan sawah yang luasnya berhektar-hektar.

Pemandangan yang memanjakan mata ditambah sepoi-sepoi angin sawah yang membuat mata saya mengantuk saat berkendara. Sampai di suatu titik saya mulai ragu. Ragu dengan penjelasan Bang Ival, ragu dengan petunjuk G-Maps. Ragu selayaknya hubungan asmara yang gitu-gitu aja.

Saya bukan tipikal orang yang manut dengan sebuah kalimat “Ya udah, jalanin aja dulu”. Perkaranya nih, kita udah jalan dari tadi, tapi tujuan kita nggak sampe-sampe. Dari persawahan ini emang nampak ada sebuah perkampungan. Tapi rasanya, kok, semakin saya kejar, perkampungan itu semakin menjauh.

Sampai kemudian, di pinggir jalan sekaligus di pinggir sawah juga, saya bertemu kakek-kakek dengan pakaian serba putih, eh, nggak deng. Pakaian kakek-kakek itu persis seperti petani dengan caping kayu di kepalanya.

“Permisi, Pak. Maaf mau nanya Kampung Sungai Niri di mana ya?”

“Masih jauh, Tong.”

Saya siap-siap menyimak penjelasan dari Pak Petani itu dengan khusyuk.

“Nih, ini namanya masih kampung Kelapa. Otong lurus lagi, terussss, sampe ketemu sawah. Abis itu ketemu kampung dah tuh …”

“Di situ kampungnya, Kong?”

“… bukannnn. “Etdah ya, bocah. Dengerin dulu kalo orang tua ngasih tai, eh, ngasih tau!”

“Iya, Kong. Maaf.”

“Engkong ulangi, ya. Nih, ini namanya kampung Kelapa. Otong lurus lagi, terus lurus sampe ketemu sawah. Abis itu ketemu kampung. Masih lurus. Abis itu ketemu sawah lagi. Ketemu kampung lagi, dah sampe tuh.”

“Berarti masih harus melewati dua sawah sama satu kampung ya, Kong?”

“Pokoknya kampung ini, sawah ini, kampung lagi, sawah lagi, terus kampung Niri. Dah sampe tuh.”

“Oh, iya, Kong. Makasih banyak ya, Kong.”

“Emang mau nganter barang ke rumah sapah, Tong?”

“Oh, ini atas nama Ayu Adindah. Note-nya: Rumah Haji Duloh (nama saya samarkan. Padahal mah ya, saya lupa namanya siapa gitu).”

“Oh, rumah Haji Duloh. Ngomong kek, dari tadi. Itu mah temen Engkong. Noh, yang lagi hajatan. Di depan ada janur kuningnya sama tenda biru.”

“Iya, Kong. Terima kasih ya, Kong.”

“Ya udah, iya.”

Saya segera bergegas. Menarik motor dengan cepat tapi tetap hati-hati. Beruntung sepanjang jalan ini sudah rapi meskipun di tengah-tengah jalan terdapat retakan yang ditumbuhi oleh rumput-rumput.

Setelah mengikuti petunjuk Google Maps sekaligus petunjuk jalan dari Kakek Petani itu, saya jadi yakin bahwa jalan yang dijelaskan Bang Ival dari awal adalah jalan yang benar. Saya nggak tahu lagi udah jalan berapa kilometer.

Sayup-sayup suara musik dangdut terdengar di telinga saya. Ini khas sekali, ketika di suatu kampung ada yang hajatan, musik penghibur tamunya adalah dangdut. Bukan musik pop yang disajikan oleh band profesional atau Wedding Organizer.

Akhirnya saya melihat janur kuning. Di janur kuning itu ada petunjuk arah belok kiri. Saya ikuti dan tiba-tiba saya berhenti lalu diarahkan oleh seorang Hansip untuk parkir di parkiran para tamu.

Saya bertanya ke Hansip itu, “Permisi, Pak. Mau nganter paket buat Ayu Bp Haji Duloh.”

“Oh, Ayu. Ya udah masuk aja.”

“Hah, masuk ke mana, Pak?”

“Itu, masuk aja. Ayu yang lagi jadi manten.”

(((lagi jadi manten)))

“Waduh.”

Saya coba melangkah mendekati tenda hajatan itu dan akan menitip paketnya di pagar ayu tapi ternyata di acara itu nggak ada meja pagar ayu. Yang ada sederet bapak-bapak yang duduk berbaris dan menyalami para tamu yang berdatangan.

Saya yakin bapak-bapak penerima tamu ini adalah keluarganya Ayu. Ya udah, beres, saya akan titip di salah satu bapak-bapak itu. Kemudian mengabarkannya via WhatsApp, tapi perkiraan saya itu salah.

“Permisi, Pak. Maaf mau nitip paket buat Ayu.”

Melihat ada kurir paket masuk di acara kondangan, bapak-bapak ini langsung berbinar matanya.

“Yaelah, itu ada orangnya, pake dititip segala. Kasihin aja langsung.”

“Titip aja, Pak. Saya malu.”

“Yeee… Pake malu segala. Udah masuk aja.”

Astagaaa megatron.

Saya malah diantar oleh salah satu dari bapak penerima tamu itu untuk naik ke atas pelaminan. Yang bikin saya nggak enak hati, si Bapak itu berjalan sambil memanggil Ayu dengan nada yang cukup keras, “Yu, Ayu. Ada kurir paket nih.” 

Nggak banyak yang bisa saya lakukan kecuali mengikuti langkah demi langkah si Bapak itu. Ya, Allah, ya, Tuhan…

Saya yang berbadan kurus, berbaju warna magenta (bukan pink), pake tas kurir yang gede banget, ditambah masih pakai helm Bogo yang buletnya sungguh nggak proporsional di badan saya, menuju ke atas pelaminan bukan buat ngasih amplop kondangan, tapi ngasihin paket.

Sementara itu, semua mata para tamu tertuju ke saya, kurir paket yang sungguh mencolok di antara lautan tamu undangan. Hal absurd apa lagi ini ya, Gusti.

“Nah, tuh, Bang, yang namanya Ayu. Naek, Bang, naek.”

Saya naik ke atas pelaminan. Para tamu menyaksikan pertemuan kurir paket dengan Mbak Ayu. Si mempelai menghampiri saya beberapa langkah untuk menerima paketnya.

“Aduh, maaf, Kak. Saya nggak bermaksud merusak suasana. Maaf, Kak, ini paketnya,” kata saya.

“Oh iya, nggak apa-apa, Bang. Udah makan apa belom, Bang?”

“Belom, Kak. Tapi terima kasih banyak.”

“Makan dulu, Bang.”

Saya berusaha menolak, sebab masih ada beberapa paket yang belum terkirim. Tapi kedua mempelai di atas panggung itu meminta tolong ke panitia untuk mengantar kurir salah kostum ini ke meja sajian makanan. 

“Mang, itu tolong Abang Kurir disuruh makan dulu.”

“Oke siap, Neng,” sahut si Mamang, “ayo, Bang, makan dulu,” lanjutnya berkata kepada saya.

Saya diantar ke meja makan, sambil masih diliatin tamu-tamu undangan. Sampai di meja sajian makanan, saya berbisik ke Mamang itu.

“Mang, maaf, saya lagi buru-buru nih.”

“Jadi, nggak mau makan nih? Udah jauh-jauh ke sini loh. Pasti laper.”

Saya bingung, berpikir keras agar penolakan saya nggak terkesan menolak rezeki sekaligus menyakiti hati.

“Eee, bisa dibungkus, Mang?”

Mamang-mamang ini sempat kaget dengan request saya.

“Siapppp. Bisa!”

Lah, lah, kok malah bisaaaa?

BACA JUGA Diskonan Shopee dan ShopeeFood yang Merepotkan Ojol dan Merchant atau tulisan Allan Maullana lainnya. 

Penulis: Allan Maullana

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version