MOJOK.CO – Sebetulnya aku juga orang Jawa. Tapi, sebagai calon pendeta, aku tetap saja masih kaget dan heran ada yang minta doa untuk motor barunya.
Aku memperkenalkan diri sebagai seorang calon pendeta. Anggap saja sudah punya banyak bayangan apa yang akan dilakukan ketika sudah berada di sebuah gereja untuk melayani kerohanian jemaat.
Mulai dari memimpin ibadah, mendoakan keluarga yang sedang berduka, hingga menemani anak-anak sekolah minggu bernyanyi. Namun, satu hal yang tak pernah kuduga datang. Suatu kali, aku diminta datang ke sebuah rumah, yang letaknya jauh dari perkotaan. Tepatnya di satu wilayah pegunungan di kota kabupaten itu.
Awal mula kisah kebiasaan orang Jawa yang bikin heran
Aku akan memulai dari asal tempatku lahir. Ini penting supaya pembaca paham kenapa kisah ini jadi aneh untuk aku.
Jadi, aku berasal dari salah satu kota besar di Jawa Timur. Keluargaku punya latar belakang keluarga Kristen yang taat. Aku memang berdarah Jawa, tapi tidak akrab dengan tradisi-tradisinya. Semata karena memang tidak diperkenalkan dari kecil kecuali mengubur ari-ari sembari memberinya penerangan kecil selama 40 hari.
Singkat cerita, aku bercita-cita menjadi seorang pendeta. Aku memulai perjalanan ini dengan kuliah di salah satu kampus teologi di Jogja.
Perjalanan kuliah menjadi unik karena aku berkenalan dengan iman Kristen dengan tradisi yang lain. Contonya Kristen dengan tradisi gereja berdasarkan kesukuan ( batak, gereja Toraja, gereja Jawa, dan lain sebagainya). Dari perkuliahan inilah akhirnya aku mengenal tradisi serta kebiasaan orang Jawa dan mulai berproses di dalamnya.
Hidup di gereja dengan tradisi Jawa yang kental
Pada akhirnya aku berhasil melewati kuliah dan berproses di salah satu gereja yang tidak jauh dari Jogja. Nuansa gerejanya sangat khas Jawa, dengan beberapa peribadatan dilakukan dengan menggunakan Bahasa Jawa. Mulai dari khotbah hingga lagu pujian.
Tak jarang juga menggunakan musik keroncong dan gamelan yang khas Jawa banget. Aku sebagai orang Jawa yang sudah ilang jawane setengah bingung dan kagum.
Bingung, karena tidak bisa menggunakan Bahasa Jawa yang baik. Seperti umumnya menggunakan Krama Inggil terhadap orang yang lebih tua. Untuk ibadah juga sama karena menghayati berjumpa dengan Yang Ilahi.
Kagum, karena akhirnya aku menemukan kembali jati diriku sebagai “Wong Jowo”. Aku memulainya dengan akrab dan belajar dengan Bahasa Jawa yang lebih halus.
Bagaimanapun, bahasa ini penting dengan status yang aku sandang sebagai calon pendeta gereja Jawa. Meskipun dalam banyak pertemuan, Bahasa Jawa yang aku pakai masih campur aduk dengan ngoko dan dialek “Jawatimuran”. Ngomong dho jadi do, ngomong tha’ jadi ta, dan lain sebagainya. Percayalah, bunyi sesimpel itu ternyata cukup menggelitik bagi orang yang mendengarnya.
Baca halaman selanjutnya: Kebiasaan yang bikin kaget.
Sebuah permintaan aneh buat calon pendeta
Semuanya kulalui dengan asik dan enjoy. Semuanya berjalan baik dan lancar. Hingga suatu ketika datang permintaan yang agak aneh untuk seorang calon pendeta. Bahkan aku sampai berpikir apakah kebiasaan orang Jawa ini adalah benar.
Suatu sore, seorang jemaat menelepon saya. Dia meminta aku datang ke rumahnya yang letaknya cukup jauh dari kota. Rumahnya ada di area pegunungan dan butuh waktu cukup lama untuk sampai ke sana.
Beruntung, aku sudah pernah ke rumah itu sebelumnya. Aku berangkat tanpa pikiran aneh. Begitu sampai, bapak pemilik rumah menyambut dengan hangat. Rumahnya sendiri memang memancarkan aura budaya Jawa yang kental.
Aku dipersilahkan duduk, disuguhi teh panas dan beberapa jajanan pasar. Semuanya berjalan normal dan perbincangan berjalan hangat, hingga satu hal yang mengganggu muncul dari ucapan sang tuan rumah.
“Nuwun sewu, ingkang sepindah kula ngaturaken panuwun awit panjenengan kersa rawuh wonten griya kula.” Aku berusaha mendengarkan dengan seksama. Melihat mukaku yang kebingungan, sang tuan rumah melanjutkan dengan Bahasa Indonesia.
“Jadi, maksud kami mengundang Mas pendeta untuk datang ke sini adalah mohon doanya untuk motor baru yang baru saja datang.” Ujarnya.
Lantas, dengan muka yang masih bingung, aku menoleh ke teras. Di sana memang ada motor baru yang beberapa bagiannya masih terbungkus plastik. Aku mengangguk dan bertanya dengan nada paling sopan yang aku tahu untuk orang Jawa.
“Maksudnya saya mendoakan Honda Forza itu? Untuk apa didoakan?” Aku sendiri tidak ingat pernah diajarkan mendoakan benda mati.
“Oh, jadi maksudnya itu sebagai ucapan syukur dan diberkati supaya motor ini berkah dan selalu dalam lindungan Tuhan. Begitu juga pengendara senantiasa ingat bahwa ini adalah pemberian Tuhan. Kebetulan besok anak kami akan pulang ke Jakarta untuk kembali bekerja. Supaya dalam perjalanan dilindungi Tuhan. Intinya kami bersyukur dan lebih marem kalau didoakan Mas Pendeta,” jawab tuan rumah.
Apakah ini rasa syukur khas orang Jawa?
Saya mulai menangkap maksudnya dan mulai berdoa. Tentu berdoa untuk rasa syukur yang dirasakan keluarga, untuk keselamatan perjalanan ke Jakarta menggunakan motor baru, dan supaya keluarga terus merasakan kasih Tuhan dalam kehidupannya, termasuk dalam berkat yang diterima dalam bentuk Honda Forza.
Singkat cerita aku pulang ke rumah dan sambil merenung serta mencerna apa yang baru saja terjadi. Satu hal yang tidak pernah aku duga adalah calon pendeta mendoakan Honda Forza.
Ternyata, dalam tradisi Jawa, rasa bersyukur itu bisa spesifik diwujudkan. Salah satu contohnya adalah dengan berdoa untuk kendaraan supaya pengendaranya selalu ingat Tuhan dan berhati-hati.
Begitu juga rasa syukur diwujudkan dalam bentuk tumpeng yang melambangkan jagad raya yang sudah Tuhan sediakan bagi manusia. Relasi manusia masih terjaga dengan keyakinan-keyakinan karena kita pasti membutuhkan orang lain, setidaknya untuk saling mendoakan.
Ternyata, relasi interpersonal sangat penting bagi kehidupan masyarakat Jawa. Alih-alih melihatnya sebagai sinkretisme antara kepercayaan Jawa dengan Kristen, tapi tentang bagaimana Orang Jawa mengedepankan “rasa” yang muncul dari “… kami marem didoakan Mas Pendeta…” Padahal bisa saja berdoa dan didoakan sendiri. Sesuatu yang tumbuh di batin itu menjadi penting bagi orang Jawa.
Rasa syukur harus diwujudkan
Rasa syukur itu, bagi orang Jawa, harus diwujudkan bukan hanya berhenti di dalam hati atau ungkapan dalam doa. Namun juga diwujudkan dalam bentuk memberikan segelas teh panas, jajanan pasar, dan obrolan yang ramah.
Dalam konteks yang lebih besar seperti kelahiran, sehabis panen, dan lain sebagainya, diwujudkan dalam bentuk slametan. Biasanya menghadirkan tetangga sekitar dan undangan untuk turut merasakan rasa syukur itu.
Slametan adalah ritus dan ritus adalah dimensi ekspresif dari yang dipercayai. Slametan yang merupakan ritus ini memiliki dua dimensi yang tak bisa dipisahkan. Pertama, adalah hubungan seseorang dengan yang lain. Kedua, adalah hubungan seseorang dengan Yang Ilahi. Satu hal yang saya hayati dari tradisi Jawa adalah rasa syukur, pentingnya rasa, dan kebersamaan.
Penulis: Rivaldi Anjar Saputra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Cerita di Balik Sekolah Teologi: Calon Pendeta Juga Manusia Biasa dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
