Bisakah Seorang Muslim Bersahabat dengan LGBT?

Bisakah Seorang Ukhti Bersahabat dengan LGBT?

Bisakah Seorang Ukhti Bersahabat dengan LGBT?

MOJOK.COUkthi-ukhti ini masih berhubungan baik dengan temannya yang lesbian, gay, dan biseksual. Kurang transgender aja sih kalau singkatannya mau pas jadi LGBT.

Seorang teman tiba-tiba tanya, “Can a person be a muslim and a gay at the same time?”

Ingin rasanya saya jawab tegas: bisa, dong. Kalau dia tanya lagi: tapi bukannya perilaku LGBT kayak gitu dosa? Tinggal saya jawab: jadi muslim bukan berarti nggak boleh berdosa, dong. Kan ada tuh muslim koruptor, muslim pezina, muslim pencuri, dll. Sama-sama dosa, cuma beda bentuk.

Seandainya jawaban itu bisa dengan mudah meluncur dari mulut ini, mungkin umat Islam akan mendapat jamaah baru. Sayangnya, teman saya pun terlalu filosofis untuk menerima penjelasan pragmatis semacam itu.

Sejak dalam pertanyaan, dia sadar betul Islam bermakna ketundukan pada aturan Allah. Sedangkan salah satu aturan-Nya adalah larangan menjalani orientasi seksual kaum Nabi Luth tersebut. Maka menjadi gay muslim adalah kontradiktif sejak dalam istilah.

“Laah… kamu gay? Yaah, sayang banget. Kenapa sih cowok-cowok ganteng sukanya sama cowok? Kalian nih nggak mikirin nasib kami. Masak harus saingan sama cowok?” kata saya akhirnya, memilih bawel khas sobat bucin hopeless.

***

“Kamu nggak papa nih nongkrong sama kita?” tanya teman yang lain pada suatu siang.

“Ya nggak apa-apa. Kenapa, memangnya?” tanya saya balik.

“Kan kamu ukhti-ukhti. Masak mainnya sama gay?” katanya lagi.

“Ya gimana. Mau main sama dekne nggak bisa,” jawab saya bucin.

***

Meski secara orientasi seksual berbeda, saya memang berhubungan baik dengan beberapa teman lesbian, gay, dan biseksual. Selain mereka baik, cerdas dan humoris sehingga asyik untuk diajak bergosip berteman, agama saya juga mengajarkan untuk menyayangi mereka sebagai sesama manusia.

Atas sebab sayang juga lah saya selalu mendoakan teman-teman ini. Soalnya, saya tidak suka menceramahi mereka perihal being gay is sinful karena konsep Tuhan dan Agama kami berbeda. Apalagi tidak semua teman gay saya merupakan praktisi sexual intercourse alias hanya cinta dalam hati.

Menurut tipe ini, perasaan suka sesama jenis adalah ujian bagi nafs mereka sebagai manusia. Sama halnya dengan pezina yang diuji dengan nafsu seksual atau koruptor yang diuji dengan nafsu material.

Baik seks maupun harta bukannya diharamkan dalam agama, tapi hadir beserta segenap aturan. Individu diuji dengan nafs dalam dirinya untuk mengetahui sejauh mana tidak melampaui batas aturan tersebut.

Masyaallah… sungguh gay yang saleeeh.

Pemahamannya soal nafs jauh melampaui ukhti medioker seperti saya. Nggak heran ia begitu berjuang agar ujian hati itu tidak tergelincir menjadi ujian bodi. Kepada teman-teman tipe ini doa saya kencang sekali.

Terlebih saya tahu beberapa gay yang berubah atas izin Allah. Maka sebagai teman saya memilih mendoakan daripada menghinakan ujian mereka. Toh Allah Maha Kuasa, tidak ada yang mustahil dalam kehendak-Nya.

Meski begitu ternyata masih banyak muslim yang bingung bersikap atas fenomena ini. Dalam sebuah diskusi, seorang peserta bertanya: bagaimana cara menunjukkan kalau kita menolak LGBT? Terlebih pada zaman sekarang menolak perbedaan seperti itu dianggap kolot. Padahal sebenarnya kita hanya menjalankan ajaran agama.

Meski awalnya kaget, belakangan pertanyaan sejenis makin banyak muncul. Terlebih tanggal 17 Mei adalah Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia (IDAHOBIT).

Bagi teman-teman yang hidup di tengah aktivisme LGBT tentu menjadi dilema tersendiri untuk bersikap. Terlebih baru-baru ini terdapat kasus pembakaran dan prank YouTuber sampah terhadap komunitas transgender. Mau menampakkan diri menolak orientasi LGBT rasanya akan auto-dicap tidak toleran. Padahal menolak orientasi dan menolak manusianya adalah dua hal berbeda.

Sebenarnya cara menunjukkan penolakan terhadap LGBT mudah sekali: katakan kalau nggak setuju. Bilang saja: it contradicts with my belief. Selesai.

Harusnya sesimpel itu. Tapi entah kenapa di lingkungan modern yang konon lebih open-minded, menunjukkan perbedaan pendirian seperti itu justru terasa lebih sulit. Entah karena lingkungan yang judgemental, atau diri sendiri yang kurang meyakini prinsipal.

Saya teringat ketika mengikuti intensive course mengenai pluralisme di negara dengan salah satu aktivisme LGBT terbsesar. Dalam forum-forum dialog lintas iman, kami belajar untuk lebih menerima perbedaan secara ideologis, bukan hanya basa basi toleransi. Sehingga biasa saja bagi kami untuk agree to disagree.

Nah berdasar pengalaman berinteraksi pula, teman-teman LGBT sebenarnya sangat mengampanyekan perbedaan. Jadi secara ideologis mestinya juga biasa saja terhadap orang-orang yang memilih berbeda sikap dengan tidak latah menyetujui LGBT hanya agar dibilang toleran atau berkemajuan.

“Tapi, apakah harus menunjukkan pendirian kita? Kenapa nggak cukup diam saja biar nggak menyakiti?” tanya netijen kemudian.

Sayangnya, kalau kata Gus Baha: tidak cukup.

Pada zaman ketika nilai kebenaran begitu relatif, menunjukkan keberpihakan adalah keharusan. Kalau menurut Gus Baha, netral itu bukan sikap seorang muslim. Sebab tidaklah sama kebenaran dan kejahilan.

Jika memilih netral alias “gue no comment deh” pada perkara bathil, kita telah dianggap berpihak pada yang bathil atau setidaknya menempatkan benar dan salah dengan setara.

Padahal Rasulullah teladan utama kita dihadirkan sebagai al-Fariq, pemisah haqq dan bathil. Risalahnya, Al-Quran, juga dikenal sebagai al-Furqon, pembeda kebenaran dan kejahilan. Jadi ketika syariat menyatakan A adalah benar, ya itu nggak cuma buat aksesoris keyakinan. Tapi benar-benar untuk membedakannya dengan B yang salah.

Lebih lanjut Gus Baha menjelaskan, setiap pilihan sikap harus memiliki penjelasan. Ketika kita menolak A, harus jelas alasannya kenapa. Pun ketika memilih B juga harus jelas alasannya kenapa. Sebab ciri utama kebenaran adalah menyatakan pilihan dengan jelas bahwa A salah sedangkan B benar.

Kita tidak bisa mengatakan keduanya sama saja, sebab menurut beliau ini merupakan ciri utama kesalahan, yaitu menyetarakan haqq dan bathil. Dan untuk bisa melakukan pemilihan keberpihakan secara syar’i ini memang diperlukan ilmu.

Masalah sebenarnya justru di sini: apakah selama ini kita sudah benar-benar beragama dengan keilmuan sehingga bisa cukup percaya diri untuk dianggap berbeda karena menjaga keyakinan?

Sebab jangan-jangan bukan karena teman-teman gay baperan terhadap perbedaan lantas kita takut menampakkan ketidaksetujuan atas orientasi mereka yang menyalahi syariat. Melainkan kita yang defisit keilmuan sehingga tidak percaya diri bahkan sekadar untuk mempertahankan keyakinan pada zaman edan.

Karena keberanian hanya akan hadir beserta pengetahuan.

BACA JUGA Enam Argumentasi Sia-Sia seputar Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau tulisan soal LGBT lainnya.

Exit mobile version