MOJOK.CO – Berkaca dari Ir. Soekarno, lulusan kampus ITB, si tukang bikin perkara kepada siapa saja dan kapan saja. Kelahi dengan Hatta di momen Lebaran, misalnya.
Kalian tiba-tiba saja berubah menjadi peminta dan pemberi maaf saat Lebaran tiba setelah sebelumnya bertengkar hebat tanpa jeda. Bahkan, ada yang sama sekali risih saat khotib omong-omong politik elektoral di mimbar Lebaran (kalah misal ada).
Bung dan Bing, jangan pernah kendor untuk bertengkar, berdebat, dan memberi stempel kepada lawan bebuyutanmu dalam pandangan politik. Selagi ada kesempatan dan jaringan internet sehat, udahlah gaspol saja. Yang muda dan tua, silakan saling gasak.
Namun, dalam pertengkaran berkobar-kobar itu, tolong, jangan mudah mutung dan kemudian memanggil polisi. Jadinya nggak asyik. Walaupun tetap perlu untuk selingan menaikkan tensi di babak berikutnya.
Pendiri negara ini sudah memberikan contoh bahwa bertengkar tak kenal waktu itu pemandangan biasa-biasa saja.
Berkacalah Ir. Soekarno, lulusan kampus ITB yang tukang bikin perkara kepada siapa saja, termasuk kepada sarjana lulusan Universitas Erasmus, Rotterdam.
Soekarno orangnya begitu. Bertengkar bukan saja kepada pemundak kekuasaan kolonial, tetapi kepada sesama pengerek bendera perjuangan.
Mari membuka kalender 1933. Soekarno bukannya tak tahu Lebaran itu adalah hari perdamaian. Dia juga mendaku dan memberi disclaimer bahwa dirinya sosok yang suka damai.
Dalam bahasa Soekarno sendiri yang saya kutipkan secara verbatim:
“Saja adalah orang jang terkenal senang akan perdamaian dengan sesama bangsa. Saja adalah malahan sering-sering mendapat praedicaat ‘mabok akan persatuan’, ‘mabok akan perdamaian’. Saja tjinta sekali akan perdamaian nasional, dan selamanja akan membela pada perdamaian nasional itu. Tetapi saja pandang soal non-cooperation itu kini belum selesai difikirkan dan dipertimbangkan, belum selesai dianalisir dan dibestudir, belum selesai dibitjarakan setjara onpersoonlijk dan zakelijk. Saja minta publik memandang tulisan saja ini sebagai pembitjaraan sesuatu soal jang maha penting setjara onpersoonlijk dan zakelijk, dan tidak sebagai ‘serangan’ dan ‘pertengkaran’—walaupun orang lain tidak bisa membitjarakan sesuatu hal zonder menjerang dan bertengkar”.
Rupanya, soal co dan non-co. Dari petunjuk frasa itu, jelas sudah perkaranya. Lawan tengkar Soekarno sebelum puasa, sepanjang Ramadan, musim Lebaran, hingga saat bulan Syawal berjalan mengendap-endap, tak lain tak bukan, adalah Mohammad Hatta.
Iya, Hatta, yang bersama sekondannya Sutan Sjahrir, juga di waktu yang sama mengelola koran mingguan Daulat Ra’jat.
Dari judul esai Soekarno di mana kutipan itu berada saja, tampak aroma membara: “Djawab Saja pada Saudara Mohammad Hatta”. Esai itu dimuat di Fikiran Ra’jat dan dimuat kembali di DBR Jilid 1 (1963: 207-214).
Soekarno jengkel betul dengan Hatta dan Sjahrir ini yang bukan hanya menyebut proyek persatuan Soekarno sebagai proyek “per-SATE-an”, tapi juga gaya keduanya menyebut diri sebagai real-politieker.
Artinya, Soekarno dianggap Hatta tak lebih sebagai demagog, si omong besar.
Hatta memandang bahwa masuk lewat perjuangan parlementer Belanda (Tweede Kamer) sebagai usaha menjalankan politik oposisi dan politik obstruksi dan menjadi mimbar pro deo bagi perjuangan.
Soekarno menuding laku politik Hatta macam beginian sebagai “anti azas nationalist-non-cooperator” dan menyebut Tweede Kamer sebagai dewan pertuanan. Yang masuk ke dalamnya adalah politisi budak.
Bagi Soekarno, soal itu bukan perkara siasat perjuangan belaka, tapi soal asas perjuangan.
Tidak ada jalan kompromi. Asas bisa melunak pada taktik jika kepepet, lanjut Soekarno, jika ada force-majeure. Jika tak ada, itu namanya pengkhianatan.
Tweede Kamer di Den Haag itu, tulis Karno, “pendjelmaannja, symbol-nja, belischamingnja, koloniseerend Holland jang mengereh dan mendjadjah kita … [mestinya] kekuatan sendiri kita susun. Kekuatan sendiri ini, tenaga sendiri ini, machtsvorming sendiri ini harus kita utamakan ….”.
Namun, pertengkaran Soekarno-Hatta ini fluktuatif. Soal pendirian partai-partai politik 1937 untuk persiapan terbentuknya negara baru kalau-kalau kolonialisme tumbang, mereka akur. Soal berkolaborasi dengan Jepang, keduanya akur.
Habis akur, mereka bertengkar hebat lagi sejenak dalam rapat-rapat membikin asas negara di antara Mei hingga Juni 1945; Soekarno maunya negara kesatuan, Hatta kukuh negara federal; Soekarno yang didukung 100% Mohammad “Gajah Mada” Yamin ingin Papua harus masuk dalam kekuasaan Indonesia, sedangkan Hatta nggak setuju.
Pertengkaran itu memang nggak lama hingga kita menemukan mereka akur tanpa senyum yang hangat berbagi bingkai di foto hari penuh hikmat saat mengumumkan kemerdekaan dan membubuhkan tanda tangan di teks Proklamasi 17 Agustus 1945 atas nama keduanya. Bahkan, adegan pendahuluan “diculik” bareng di Rengasdengklok, fine-fine aja.
Sampai akhirnya, mereka tampak mesra berdua menjadi pasangan pemimpin dan melayari luka revolusi 1946-1950. Kurang akur gimana coba, Soekarno aja bahkan mencarikan jodoh yang pas bagi Hatta.
Jadi bukan berarti pertengkaran di masa muda awal 30-an itu hanya penyakit para darah muda melewati usia 30-an. Bukan.
Pertengkaran dalam politik itu nggak kenal usia. Kamu kira nama-nama Said Didu, Goenawan Mohamad, Rocky Gerung, Andi Arief, Budiman Sudjatmiko, Ratna Sarumpaet, Tengku Dzul, dan Adian Napitupulu itu pemuda dan pemudi ingusan?
Setelah pemilu tahun 1955, Soekarno dan Hatta yang sudah berusia setengah abad lebih bertengkar lagi. Bahkan makin hebat.
Hatta dari dulu emang nggak tahan dengan gaya demokrasi Soekarno yang “mabok persatuan” dan suka meninju. Hatta mundur dari kursi wakil presiden dan bikin pamflet.
Soekarno memilih menunjukkan kekuasaannya ketimbang membuka pertengkaran lewat media sosial tulisan panjang yang bernas. Pamflet Hatta berjudul Demokrasi Kita dibeslah Soekarno dan gerak-gerik Hatta dibatasi.
Hatta nggak sampai dipenjara—memang. Namun, Hatta sepenuhnya dalam pengawasan aparatus keamanan negara. Pemimpin pendiam itu disegel Soekarno mulutnya untuk nggak boleh banyak bacot atas kekuasaannya yang sedang melaju menuntaskan revolusi yang tak pernah selesai itu.
Sebagaimana hukum tengkar-akur, pertengkaran dalam diam itu kembali akur saat Soekarno dalam tahanan rumah rezim Harto dan menghabiskan hari-hari sekaratnya.
Hatta menggenggam lawan tengkarnya itu erat sekali. Soekarno membalasnya dengan haru sebagai orang yang teraniaya dan kalah sepenuhnya di palagan politik.
Persis, ‘kan. Soal bertengkar, “kita” ini satu lantai dansa dengan leluhur politik negara ini. Dulu, bela si dia, mengongkosi politik si dia untuk merebut tahta ibu kota, namun sekarang menyerang secara spartan.
Dulu, grupisnya menyerang habis-habisan, sekarang aduhai manisnya lini masa media sosialnya. Jenis tengkar-akur model begini Soekarno-Hatta banget. Mari bertempik sorak!
Soekarno teladan kami dalam soal gelombang pertengkaran politik yang nggak ada habisnya hingga satu-satu dipenjara, satu-satu mati.
Jangan lupa, Pak Karno itu lahir di Surabaya pada 6 Juni dan bukan di Blitar. Kalau silap omong, ya nggak apa-apa. Syukuri aja sebagai tambahan amunisi konten untuk bertengkar sampai berminggu-minggu berikutnya.
Nah, atas nama Soekarno-Hatta di dompet, jika belum habis untuk jajan Lebaran, abadikan terus momen pertengkaran tahun ini dengan konten apa saja.
Selamat ulang tahun ke-118, Pak Karno. Semoga sejarah dan kenangan beliau tetap panjang usianya.