Om Ben Anderson dan Arkeologi Persekongkolan dalam Hidup Beta

Om Ben Anderson dan Arkeologi Persekongkolan dalam Hidup Beta

Om Ben Anderson dan Arkeologi Persekongkolan dalam Hidup Beta

Tanpa membaca roman Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, hampir mustahil beta akan ambil studi Sejarah. Namun tanpa membaca Ben Anderson lebih dulu, besar kemungkinan beta akan terlambat mengambil keputusan yang mengubah jalan hidup.

Ponten pelajaran Sejarah dan Bahasa & Sastra Indonesia beta di SMA dan SMP selalu memuaskan. Bersama pelajaran Olahraga alias Pendidikan Jasmani en Kesehatan, trio kwek-kwek pelajaran sekolah itu membuat beta pung reputasi di kelas terjaga lumayan cihuy—setidaknya menyelamatkan kebobrokan dalam urusan perkalian, pembagian, dan pengurangan.

Namun tak pernah terlintas sedikit pun untuk ambil studi Sastra atau Sejarah. Beta pengin betul masuk studi Olahraga dengan alasan sederhana: tak suka berlama-lama di kelas, karena watak pembolos dan begundal sejak SD, en mengira jurusan Olahraga akan membikin beta lebih banyak keluyuran di lapangan untuk main bola (beta dulu pemain bola yang lumayan).

Tapi alamak! Cilaka belasan kali! Beta salah ambil program studi. Jurusan Ilmu Keolahragaan justru yang paling sikit sesi-sesi lapangannya dibanding dua jurusan lain (Pendidikan Guru Olahraga dan Kepelatihan Olahraga). Daftar mata kuliahnya bikin beta pingsan: Anatomi sampai 8 sks, Histologi 4 sks, Kinesiologi 4 sks, Matematika dan Kimia masing-masing sampai 6 sks.

Selidik punya selidik, program studi yang beta ambil masuk ke dalam rumpun ilmu sains. Beta tahu itu semua tepat setelah semua duit pembayaran mahasiswa baru terbayar dan katong samua mendapatkan berbagai buku pegangan, termasuk buku program perkuliahan yang berisi kuabeh daftar mata kuliah.

Koit, dah!

Su bisa ditebak. Semangat studi pun terkewer-kewer. Semester pertama, kalau beta tak lupa, hanya satu mata kuliah di lapangan: Atletik. Sisanya ya elmu-elmu yang bakal bikin beta koit itu tadi. Sungguh tak membikin semangat pergi dari Bantul ke Karang Malang, naik angkutan umum 3 kali (Bangunjiwo ke Jl. Bantul, sambung ke Tamsis, lalu ke Bunderan UGM, disusul jalan kaki 1 km dari Bunderan ke Karangmalang), cuma untuk belajar tulang-belulang.

Beruntung beta kenal Prof. Caly Setiawan. Bliyo seniyor yang provokatif. Hari pertama Ospek, blio mengisi sebuah diskusi yang isinya bikin pusing banyak orang: Budaya Olahraga. Bliyo ada kutip itu Johan Huizinga. Di hari terakhir Ospek, bliyo pimpin semua mahasiswa baru berdemonstrasi. HAH! Fakultas Olahraga demonstrasi di hari Ospek? Ini semacam “djoengkir boewana”, misalken neologisme almukarrom Hadji Misbach boleh disebut. Apalagi salah satu yang didemo justru Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi, persekongkolan mahasiswa yang demen merasa sebagai yang paling progresif se-Karang Malang, yang ironisnya kelak justru jadi tempat ‘pesugihan’ bagi beta.

Caly ini pula yang ajak beta bakudapa berdiskusi pada satu malam, perihal rencana membuat diskusi tentang kekerasan suporter sepakbola. Di akhir diskusi, Caly memberi beta sebuah buku untuk dibaca, buku yang tebalnya masya Allah: Akar Kekerasan, karya Erich Fromm.

Ironisnya, diskusi malam-malam itu dilakukan di rumah dinas dosen Anatomi yang killer-nya bukan main: Bu Eka. Beta takut betul dengan dosen itu. Tiap mau masuk kuliah, katong samua dites menyebutkan nama-nama tulang manusia dengan memperlihatkan kerangka manusia betulan. Kalau gagal menyebutkan, katong samua seng bisa ikut perkuliahan. Horornya ganda: melihat tampang sangar Bu Eka dan memelototi tulang belulang manusia betulan. Sampeu!

Bu Eka ini mungkin macam Dr. Kijzer, dosen pembedahan mayat, yang membuat Jacob Slauerhoff (penyair yang dari sanalah Chairil mendapatkan inspirasi untuk menulis sajak-sajak tentang laut) tega nian mendampratnya dengan ungkapan: “Kaisar Bangkai.”

Caly yang selalu memberi tahu kalau ada diskusi-diskusi menarik di Jogja. Bliyo yang membawa beta ke kelompok diskusi yang di penghujung era 1990an amat masyhur di Jogja: Diskusi H-1, nomer rumah sekretariat HMI MPO IKIP Karang Malang. Caly inilah yang bikin beta berkenalan dan akhirnya berkongsi, dengan erat maupun LDR sampai hari ini, dengan Si Brengsek Tukang Kompor, Muhidin M Dahlan.

Diskusi Karl Marx untuk Pemula di Sanata Dharma juga beta ikuti karena ingpo yang bliyo berikan. Di sanalah, dalam diskusi Karl Marx itu, beta banyak sekali dapat oleh-oleh nama untuk dibawa pulang: dari Ali Syariati hingga Hasan Hanafi, dari Engels hingga Plekhanov, dari Gramsci sampai Althusser. Beta pung perut dan otak terpilin-pilin mendengar mahasiswa-mahasiswa seniyor menyebut nama-nama itu semua.

Makin malas saja beta ikut kuliah, toh! Karena perjalanan kampus ke Bantul, beta sering bermalas-malasan pulang dengan singgah-singgah di Shopping Center, kadang untuk cari buku kadang untuk nonton pelem mesum Endonesah di bioskop Senopati yang ada di atas Shopping Center. Beta pernah lihat dua orang berdebat di sebuah lapak Shopping Center soal kata “diskursus” itu bisa diterjemahkan sebagai “wacana” atau tidak. Sebagaimana beta pernah lihat tukang becak mengeluarkan peler dari celana kolornya lalu coli di kursi bioskop karena tak sanggup memelototi Inneke Koesherawati mendesah-desah, atau kalau tidak ya Gitty Srinita. Pokoknya salah satu dari dua orang semlohay itulah yang bikin tukang becak itu ngaceng dan akhirnya coli di bioskop. Beta tentu saja ikutan ngaceng, tapi beta tak cukup nyali untuk baku-coli di sana.

Di masa-masa itu tentu beta sudah dengar nama Pramoedya. Namun beta tak kunjung membacanya. Beta lupa kenapa. Kalau tak salah ingat, masa itu beta memang seng tertarik baca novel. Di tahun pertama itu, tak ada satu pun novel dari sekian buku yang tak banyak-banyak amat beta beli. Padahal beta dulu (terutama di SMP yang perpustakaannya lumayan bagus) terhitung rakus baca roman dan novel, terutama karena andil nyokap. Beta belajar mengeja dari roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, dibimbing nyokap yang seorang guru agama. Mungkin karena lagi ngaceng-ngacengnya dengan buku “wacana” itulah novel jadi terabaikan saat itu.

Sampai kemudian beta menemukan dan memutuskan membeli dua edisi lama Prisma di Shopping Center, sehabis menonton film mesum yang dibintangi Ayu Yohana. Beta ingat benar dua edisi Prisma itu: edisi Manusia dalam Kemelut Sejarah yang sudah koyak-moyak tak bersampul dan sebuah edisi yang setelah dicek di Google berasal dari Prisma no 11 tahun 1982. Beta lupa siapa yang merekomendasikan membaca edisi Prisma itu, yang beta ingat rekomendasinya bukan edisi 1982 itu tapi edisi Manusia dalam Kemelut Sejarah. Beta cuma ingat ada peserta diskusi Jumat malam di H-1, kemungkinan besar dalam diskusi bertajuk Kiri yang Tak Lagi Kere, menyebutkan edisi tersebut.

Edisi 1982 itulah yang mengantarkan beta kepada Om Ben Anderson: di sana ada esai panjang Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa. Ada dua hal yang bikin esai Om Ben itu penting. Pertama, beta merasakan asyik masyuk bener dengan cara doi bercerita, tentang sejarah Indonesia dan Jawa, melalui kutipan-kutipan novel. Loh, bisa dan boleh toh novel dipakai sebagai sumber sejarah? Kira-kira begitu. Kedua, esai itu dibuka, kalau tak salah, dengan fragmen ketika Minke sungkem kepada bokapya yang hendak dilantik sebagai Bupati, dalam Bumi Manusia.

Alasan pertama membikin beta “tercerahkan”, tiba-tiba saja nyaho bahwa sejarah bisa ditulis dengan cara begitu menarik, tak cuma tanggal-tanggal dan nama-nama pahlawan doang (kelak, di hari pelantikan sebagai anggota Pers Mahasiswa Ekspresi di Parangtritis, setahun kemudian, seorang seniyor, Adhe Ma’ruf, bertanya kenapa beta masuk studi sejarah. Beta jawab karena sejarah itu asyik ternyata, bukan cuma hafal-hafalan belaka –dan dengan itu beta sebenarnya sedang mengingat sumbangsih Om Ben). Alasan kedua, yang masih nyangkut dengan alasan pertama, yang jadi pangkal perkara pencarian terhadap roman Bumi Manusia.

Sayang beta tak langsung jumpa itu Bumi Manusia. Beta cuma dapat Rumah Kaca. Jadilah beta membaca Katrologi Buru dengan terbalik: dari roman keempat, bukan dari roman pertama. Kelak Caly mengatakan kepada beta, “Kalau cara bacamu terbalik begitu, kau tak akan merasakan kehilangan sosok Minke. Kalau baca dari Bumi Manusia dulu, begitu sampai Rumah Kaca kau akan merasakan kehilangan dan bertanya: Mana ini Minke-nya?” (Di Rumah Kaca, porsi terbesar diberikan Pram kepada Pangemanann, bukan Minke).

Beta membaca Rumah Kaca, melalui Om Ben sebagai makelarnya, tepat di masa persiapan semester baru. Kala itu beta didapuk sebagai Ketua Panitia Ospek Fakultas Olahraga. Bah! Sudahlah tak betah di kampus, kok malah jadi Ketua Panitia Ospek? Gelisah karena tak yakin bisa bertahan di jurusan tulang belulang.

Rumah Kaca tuntas beta baca tepat sehari sebelum pendaftaran ujian masuk bagi mahasiswa baru jalur khusus. UMPTN sudah berlangsung, namun karena beta bolak-balik kampus dalam urusan persiapan Ospek, beta sempat membaca pengumuman di Rektorat kalau IKIP Karang Malang membuka jurusan baru Ilmu Sejarah dan ujian masuknya terpisah dari UMPTN. Ujian khusus bagi jurusan baru ini berbarengan dengan ujian masuk bagi calon mahasiswa yang sedikit lebih kaya yang ingin masuk kampus negeri melalui jalur non-reguler. Jalan masuk yang lumayan-mlungker-dan-agak-medioker, ya?

Semalaman beta berpikir. Sambil membolak-balik Rumah Kaca. Dan mengingat-ingat banyak hal, salah satu yang terlintas kok ya justru sosok guru Sejarah zaman kelas 2 SMA, namanya Bu L***s, yang cantik dan berkerudung, namun selalu kami tunggu karena alasan yang jauh dari akademik dan ilmiah, alasan yang bener-bener brengsek dan kurang ajar: bliyo pung toket meluber. Malam itu beta ingat-ingat lagi pelajaran-pelajaran sejarah di masa SMP dan SMA, coba ingat-ingat wajah dan nama-nama guru sejarah. Dan yang langsung nyangkut ya Si Ibu itu. Sekarang saya sudah lupa nama-nama guru sejarah di masa SMP dan SMA, dan hanya nama dan wajah Bu L***s saja yang masih nyangkut di otak.

Lalu beta ambil keputusan: ikut ujian masuk jurusan baru Ilmu Sejarah. Beta termehek-mehek dengan cara Pram bercerita soal zaman pergerakan di Rumah Kaca. Sejarah sungguh mengasyikkan dibaca. Sangat menyenangkan. Betapa!

Pagi itu juga beta mendaftar. Dan lolos. Beta mendapatkan nomer induk mahasiswa nomer 26 dan satu kelas dengan Mevrouw Rhoma Dwi Aria Yuliantri, yang kini sedang studi sejarah di Belanda dan mengerjakan riset tentang Kamerad Njoto.

Beta cukup yakin kalau urusan membaca Pram sebenarnya hanya perkara kalender saja. Namun tanpa menemukan edisi Prisma 1982 itu, yang memperosokkan beta kepada esainya Om Ben, hampir pasti beta akan lebih belakangan membaca Pram. Dan jika itu terjadi, katakanlah telat seminggu saja, maka beta tak akan ambil putusan drastis soal studi dan dengan itulah pusaran hidup beta mungkin tak akan menjungkir seperti kumidi putar macam sekarang.

Bahwa di kemudian hari studi Sejarah itu pun gagal beta tuntaskan, dan menjlentrehkan dengan telengas betapa begundalnya beta dalam urusan duduk manis di kelas, itu perkara lain. Tak ada penyesalan untuk keputusan pindah jurusan itu. Beta terus membaca sejarah, dengan nikmat dan syadap, dengan cara yang acak-acakan, semau aing, samarukna, seturut hawa nafsu keingintahuan, jauh dari metodis. Dengan cara belajar macam itu, sampai hari ini, beta bisa merasa berkelimpahan, sekaligus juga sering merasa kekurangan.

Om Ben menyebut buku Di Bawah Tiga Bendera sebagai percobaan mempraktikkan semacam “astronomi politik” untuk memetakan gaya gravitasi anarkisme di antara gerakan-gerakan nasionalis militan dari ujung ke ujung muka bumi. Jose Rizal, bokap bangsa Filipina itu, ia dudukkan sebagai sosok yang nyangkut ke mana-mana: dari Baudelaire, Mallarme hingga Rimbaud, dari Kropotkin, Bakunin dan Jose Marti hingga Douwes Dekker.

Koitnya Om Ben kemarin, bagi beta, menghidupkan lagi apa yang penginnya sih beta sebut sebagai “arkeologi persekongkolan”: semacam jurit malam untuk merabai lagi fosil-fosil ingatan pribadi tentang orang-orang yang, entah beta kenal langsung maupun tidak, sengaja atau tak, ikut bersekongkol menyungging perjalanan hidup beta. Om Ben, apa boleh bikin, menjadi salah satu orang yang terlibat dalam persekongkolan itu.

Ketika beta harus berhadapan-hadapan dengan nyokap pada satu tengah malam di ruang tamu yang sepi, beta teringat lagi adegan Minke menyembah bokapnya dalam Bumi Manusia—yang beta baca pertama kali dari esainya Om Ben. Beta tidak menyembah, duduk berhadapan dengan nyokap, dalam posisi setara, ketika berkata kepadanya kalau beta tak akan mungkin menyelesaikan studi.

Nyokap hanya diam, walau beta tahu ia sebenarnya kepingin mewek. Dan dalam posisi duduk yang setara itu, pada dasarnya, beta sedang mengapurancang, menyembah sekaligus memohon ampun dan kerelaannya. Jelas tak seperti Minke kepada bokapnya yang patriark ke dalam namun selalu lapan anam kepada Olanda, melainkan seperti Minke kepada Bunda (di hari kedatangan Minke ke kota B menjelang pelantikan si bokap sebagai Bupati). Di momen itulah, juga di hampir setiap perjumpaan Minke dengan Bunda, Si Monyet itu selalu bungkam tak kuasa membantah.

Beta menyembah, dan berharap tak ada sumpah dari nyokap.

Dengan cara yang berputar, dan dalam suasana yang sepenuhnya murung namun melegakan, beta berjumpa lagi dengan esai Om Ben itu: “Sembah-Sumpah”.

Selamat jalan, Om Ben. Kamsia! Danke banyak-banyak!

Exit mobile version