MOJOK.CO – Ali bin Abi Thalib adalah salah seorang yang masuk Islam pertama dari kalangan anak-anak. Banyak hal yang bisa kita teladani dari kehidupan beliau.
Pengalaman keislaman Ali bin Abi Thalib (601-661 Masehi) dapat diteroka dari kenyataan bahwa dialah lelaki pertama keluarga Bani Hasyim yang memeluk Islam. Dia pula dari kalangan kanak-kanak yang pertama kali memeluk Islam, yaitu ketika usianya bvvaru sekitar 10 tahun. Pada saat pertama kali diajak memeluk Islam oleh suami-istri Nabi Muhammad saw. dan Khadijah, Ali meminta waktu untuk memohon izin kepada ayahnya, Abu Thalib. Akan tetapi keesokan harinya, Ali mendatangi suami-istri itu dan menyatakan memeluk Islam sambil berkata, “Allah Swt. telah menciptakan aku tanpa harus berunding dengan Abu Thalib. Apa gunanya aku berunding dengan dia untuk menyembah Allah?”
Lantaran sejak kecil tidak pernah menyembah berhala, setiap penyebutan nama Ali biasanya diiringi dengan doa khusus yang tidak pernah diberikan kepada siapa pun selain dia, yakni “Karrama Allahu Wajhahu”. Berbagai perang besar maupun kecil dia lalui bersama Rasulullah saw. yang juga bertindak sebagai orang tua asuhnya sejak kecil, sekaligus kelak menjadi mertuanya. Ali sosok pemberani, dan keberaniannya telah dia tunjukkan sejak muda, yaitu tatkala dia terlibat Perang Badar pada usia sekitar 23 tahun.
Pada Perang Khandaq, ketika berusia sekitar 28 tahun, Ali bin Abi Thalib tampil berduel satu lawan satu (mubarazah) dengan Amr bin al-Wud, seorang ahli menunggang kuda (fursan) Quraisy paling masyhur di seluruh Semenanjung Arabia. Amr mengecimus Ali karena usianya yang masih muda, dan Amr pun meminta agar paman-paman Ali—yang berusia lebih tua—yang menghadapinya. Namun Ali pantang mundur, dan dia berhasil membanat tengkuk Amr dengan pedangnya.
Menurut Tayeb El-Hibri dalam Parable and Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs (2010), selain keberaniannya, sifat liyan Ali bin Abi Thalib yang terkenal adalah akhlaknya. Meskipun pemberani, Ali menghindari perbuatan zalim terhadap lawan-lawannya, apalagi lawan politiknya sesama muslim. Dia berkata kepada putranya, Hassan: “Janganlah kamu menantang orang secara mubarazah. Akan tetapi jika kamu ditantang, hadapilah, sebab orang yang menantang adalah aniaya.” Dia mengetahui pasukan bersenjata Khawarij memisahkan diri dari pasukannya. Ketika pendukungnya mengingatkan: “Sesungguhnya mereka akan menyerangmu, maka dahuluilah mereka sebelum mereka mendahuluimu,” Ali pun menjawab: “Aku tidak akan memerangi mereka sebelum mereka memerangiku.”
Ali bin Abi Thalib juga berwasiat kepada pengikutnya supaya tidak memerangi kaum Khawarij karena menganggap mereka orang-orang yang ikhlas meskipun mereka bersalah dan tetap dalam kesalahan. Ali pernah memiliki kesempatan untuk membunuh musuhnya yang paling berbahaya, Amr bin al-Ash, tatkala telah tersungkur ke tanah dan penisnya dipertontonkan karena cuak. Akan tetapi, Ali justru memalingkan muka dan membiarkan Amr melarikan diri. Dia pun menangisi kematian Thalhah bin Ubaidillah—dan meminta pengikutnya memuliakan jasadnya—yang telah mencabut baiat dan melakukan perlawanan bersenjata kepada Ali. Ali juga pernah meminta keluarga dan sahabat-sahabatnya untuk tidak melakukan mutilasi (mutslah) kepada pembunuhnya.
Ali bin Abi Thalib terkenal dengan sikap hidupnya yang zuhud, tidak mementingkan harta. Menurut suatu riwayat, Abu Junub Uqbah bin Alqamah menceritakan: Aku menemui Ali dan aku lihat dihadapannya susu yang masam dan potongan roti yang kering. Lalu aku bertanya, “Hai Amir al-Mu’minin, apakah engkau makan seperti ini?” Ali berkata kepadaku: “Hai Abu Junub, Rasulullah saw. makan roti yang lebih kering dari ini dan memakai pakaian yang lebih kasar dari ini (seraya menunjuk pakaiannya). Jika aku tidak mengikutinya, aku takut tidak akan bertemu dengan dia.” Selain zuhud, Ali siap mengorbankan diri demi kebenaran meskipun merugikan tinimbang dusta walaupun menguntungkan.
Dalam mempertahankan kebenaran, Ali bin Abi Thalib selalu berterus terang dan tidak sudi mengambil muka. Ketika Mughirah mengajukan usul agar Ali mengukuhkan kedudukan Muawiyah sebagai pemimpin wilayah Syam (Suriah) guna memperkuat posisinya sebagai Amir al-Mu’minin dan bukan memecatnya, Ali menjawab, “Dalam agama, aku tidak mau menjilat atau merendah-rendahkan diri.” Ketika Ali didesak agar memberikan posisi penguasa Kufah kepada Zubair dan Basrah kepada Thalhah yang telah membaiat Ali tetapi sambil mengharapkan jabatan itu, Ali berkata: “Kalau aku akan mengangkat seseorang karena melihat untung-ruginya, tentu aku sudah mengangkat Thalhah dan Zubair untuk Basrah dan Kufah serta Muawiyah untuk Syam.” Bagi Ali, sikap demi memperkuat posisinya itu berlawanan dengan moral agama sekaligus moral politiknya.
Hugh Kennedy dalam bukunya, Caliphate: The History of an Idea (2016), menerka bahwa dengan menerima pembaiatan dirinya sebagai pemimpin seluruh kaum muslim, Ali bin Abi Thalib sesungguhnya telah memasuki wilayah politik. Seperti perang, hal ini memerlukan taktik dan strategi, karena politik berkelindan erat dengan kekuasaan. Akan tetapi bagi Ali, posisi Amir al-Mu’minin adalah amanat Allah Swt. yang harus digunakan untuk menciptakan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan bagi umat. Bukan kekuasaan yang semata-mata untuk kekuasaan atau kepentingan pribadi. Sikap yang demikian itu—ditambah dengan sikap zuhud, mementingkan keadilan, berterus terang, dan tanpa kompromi dalam memperjuangkan kebenaran–menimbulkan kesan di kalangan kaum aristokrat keagamaan bahwa zaman Ali akan lebih keras dari zaman Abu Bakar dan bahkan Umar, dan bahwa Ali akan membawa semua orang masuk ke dalam jagat zuhud.
Segala yang diperoleh semasa Utsman, termasuk kebebasan bepergian serta kepemilikan tanah dan harta kekayaan, mungkin tidak akan mereka nikmati lagi di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Semua ini bertentangan dengan prasyarat-prasyarat yang diperlukan bagi penguatan posisi politiknya sebagai Amir al-Mu’minin di tengah situasi yang sedang berubah akibat prahara pembunuhan Utsman, yang tidak pernah jelas si pembunuhnya. Apalagi Ali mengganti para penguasa dari kalangan Quraisy yang diangkat Utsman dengan penguasa anyar dari kalangan Anshar.
Sikap Ali bin Abi Thalib yang tanpa tedeng aling-aling dengan kebenaran dan tidak memperhitungkan strategi untung-rugi demi mengukuhkan posisi politiknya sebagai Amir al-Mu’minin ini tentu saja merugikan dirinya sendiri di tengah perubahan situasi yang demikian dahsyat yang dialami kaum muslim. Namun, Ali tampak tegar tak berubah dari akhlak yang telah melekat kuat menjadi habitusnya. Arkian, tatkala Ali sedang melaksanakan ibadah sembahyang subuh di sebuah masjid di Kufa, seorang pembunuh menikamnya, membuat kekuasaannya yang bergolak itu berakhir dalam kekerasan. Tampak kekhalifahan jatuh pada satu-satunya orang di dunia Islam yang mendapat dukungan luas dan mampu menjadi pemimpin yang efektif: Mu’awiyah.